Rabu, 21 Mei 2014

Politik dan Selebrasi Simbolis

Politik dan Selebrasi Simbolis

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HARI Kebangkitan Nasional sering diperingati dengan upacara, pidato, dan seminar. Sekarang peringatan itu bisa berwujud tebar iklan di pelbagai koran dan majalah. Selebrasi dengan iklan tentu memiliki pesan, dimaksudkan "mengajar" publik secara masif. Iklan bermisi politik memberikan rangsangan bagi pembaca untuk memikirkan dan mengimajinasikan tokoh, bahasa, institusi, dan peristiwa. Iklan politik dalam selebrasi hari-hari nasional di Indonesia adalah kelaziman, representasi berkomunikasi secara efektif dan efisien.

Di Jawa Pos, 20 Mei 2014, kita dapati iklan di halaman muka. Lihatlah, ada foto Joko Widodo dan puisi! Iklan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Ada slogan "Jokowi adalah kita". Kita ingat puisi tenar dari Hartojo Andangdjaja berjudul Rakjat (1964). Sang pujangga menulis: Rakjat ialah kita/ djutaan tangan jang mengajun dalam kerdja/ di bumi tanah tertjinta ... Rakjat ialah kita/ darah di tubuh bangsa/ debar sepandjang masa... Kita tidak bakal menuduh tim sukses Joko Widodo mengacu ke puisi gubahan pujangga asal Solo. Kita cuma menemukan ada kemiripan dalam permainan kata meski memiliki perbedaan telak dalam pemaknaan dan pemahaman tokoh.

Dulu, kita mengenal idiom "rakjat ialah kita". Ada kesan menemukan identitas kolektif. Sebutan "kita" mengesankan kebersamaan, senasib, sekaum, solidaritas, ikatan. Pemaknaan berlatar sosial, kultural, politik menentukan pengaruh sebutan "rakjat" dan "kita". Penggunaan kata "rakjat" dan "kita" perlu dilacak dalam perkamusan. Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952) mengartikan "rakjat" adalah "anak buah, tentera, orang ketjil." Istilah "kita" berarti "djamak dari pada aku, saja, hamba dengan tidak mengeluarkan orang lawan berkata, djadi jang berkata dengan kontjoh-kontjohnja serta orang lawan berkata termasuk semuanja kedalam." Petikan puisi gubahan Hartojo Andangdjaja memberikan pengertian gamblang, pembuatan kesetaraan antara "rakjat" dan "kita".

Hari demi hari berlalu. Orang-orang tetap memaknai "rakjat" sesuai situasi sosial-politik dan perubahan rezim. Sekarang kita diperkenalkan dengan slogan baru, slogan puitis dan politis. Persaingan untuk meraih jabatan presiden memerlukan permainan bahasa dan imajinasi populis. Joko Widodo tampil dengan iklan: kehendak berkomunikasi dengan publik secara simbolik. Sang capres tak cuma ditampilkan melalui gambar atau foto. Di iklan kita menemukan slogan fantastis, tapi mengandung arti pelik: "Joko Widodo adalah kita." Istilah "rakjat" dalam puisi gubahan Hartojo Andangdjaja berganti tokoh tunggal bernama Joko Widodo. Tokoh diinginkan menjadi pemimpin. Penghilangan istilah "rakjat" tentu bermaksud penciptaan imaji ketokohan dan popularitas. Publik diajak semakin mengakrabi dan memiliki Joko Widodo. Penggunaan "kita" mengesankan penjamakan diri atau kepribadian Joko Widodo sama dengan publik.

Aksentuasi pemaknaan "kita" berlanjut ke puisi berjudul Catatan Kebangkitan Kita. Ada empat istilah "kita" dalam dua bait. Puisi bernuansa seruan: Untuk maju, kita harus bangkit/ Bangkit dari diam untuk bergerak... Pengulangan istilah "kita" berefek penguatan imaji dan makna. Publik diajak memiliki pengakuan "kita" agar berada di kubu Joko Widodo. Siasat berbahasa memungkinkan propaganda bisa membujuk publik berpihak ke Joko Widodo. Di bawah puisi ada keterangan si penggubah bernama Joko Widodo.

Kehadiran iklan politik puitis bersamaan dengan pemberitaan deklarasi Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai capres-cawapres. Deklarasi berlangsung di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, 19 Mei 2014. Permainan simbol dimunculkan lagi dan menguat. Pemilihan tempat sengaja mempertimbangkan referensi sejarah dan efek imaji politik ke publik. Tempat mengandung jejak sejarah revolusi. Rieke Diah Pitaloka menerangkan, Gedung Joang 45 pernah menjadi tempat kaderisasi politik oleh Soekarno dan Hatta. Joko Widodo justru mengartikan tempat sebagai simbol untuk "berjuang".

Iklan dan berita hadir bersamaan, rangsangan bagi publik memberi apresiasi atas Joko Widodo. Politik Indonesia mutakhir memang mengandalkan iklan dan berita meski tak absolut. Kesanggupan mengolah pesan melalui iklan tentu menentukan efek peraihan suara. Jumlah dan kualitas berita bersumber dari capres-cawapres pun mengimbuhi sebaran pesan. Joko Widodo tampak memiliki "keuntungan" dari siasat iklan dan berita. Agenda politik mulai bergerak dengan kata-kata dan gambar-foto. Deskripsi dan narasi adalah acuan struktur pembentuk kesadaran bagi publik agar mengafirmasi Joko Widodo.

Produksi simbolik juga dilakukan dengan lagu. Acara deklarasi Joko Widodo-Jusuf Kalla diiringi tiga lagu nasional: Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, Padamu Negeri. Lantunan lagu oleh massa bisa menggetarkan kalbu, menghubungan situasi kini dengan masa silam. Lagu pun menandai semangat atau kehendak. Imajinasi Indonesia mengental dalam lagu-lagu. Politik berlagu adalah siasat lawas, tapi berketerusan dimanfaatkan sampai sekarang.

Politik adalah produksi simbol. Selebrasi demokrasi di Indonesia pun mengumbar simbol-simbol, mengaitkan episode-episode sejarah ke situasi politik mutakhir. Selebrasi simbolik menjelaskan bahwa politik tak pernah lugas dan gamblang. Politik selalu berlapis. Tafsir dan pemaknaan menempuhi jalan bercabang untuk kepastian makna. Selisik simbol rawan memunculkan ambiguitas politik. Sekarang kita sudah masuk ke rimba politik simbolik demi kemunculan sang presiden baru. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar