Selasa, 20 Mei 2014

Agenda Kebumian

Agenda Kebumian

Admiral Musa Julius Sipahutar ;   Bekerja di BMKG Jakarta
KORAN JAKARTA,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tanggal 9 Juli dilaksanakan pemilu presiden. Para kandidat tidak pernah mengagendakan sektor yang sangat vital seperti pengembangan kualitas manajemen kebumian Indonesia, terutama pada subsektor bencana.

Calon presiden kini dirasa kurang bisa mendefinisikan persoalan-persoalan vital yang sedang dialami dan akan terus dialami. Mereka seakan hanya memandang korupsi, penegakan hukum, pengangguran, liberalisasi perdagangan, dan human trafficking sebagai persoalan. Disadari atau tidak, ancaman bencana kebumian Indonesia di masa mendatang bakal menjadi mesin penghancur kesejahteraan banyak penduduk. Pemimpin di masa mendatang tidak boleh menutup mata akan fakta ini.

Bencana alam tidak bisa dihindari seperti banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, erupsi gunung api, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan lainnya. Mereka akan terus menjadi pencuri di malam hari. Tidak ada ilmuwan yang dapat memastikan Indonesia aman dari bencana sehari saja. Fakta ini membuktikan bahwa bencana alam, mau tidak mau, harus diminimalkan dengan manajemen yang terpimpin dan terfokus.

Statistik sederhana menunjukkan setiap tahun Indonesia ditimpa dua kali gempa kuat. Tsunami besar setiap sepuluh tahun. Gunung api aktif masih berdiri tegak di seluruh provinsi. Mereka juga mampu memberi shock therapy pada waktu yang tidak bisa diprediksi.

Banjir tahunan Jakarta juga masih sulit diatasi. Megaproyek modifikasi cuaca, perbaikan saluran air, dan pembangunan waduk penampungan masih menjadi wacana. Namun, masyarakat jangan selalu membebankan pemerintah dalam penanggulangan banjir. Sebagai penduduk negara dua musim, hujan lebat tidak layak lagi dilupakan dan tidak diantisipasi efek buruknya. Perlu digarisbawahi, kandidat presiden sangat naif bila bencana dijadikan keuntungan untuk aksi politiknya.

Khusus banjir, informasi instansi terkait dimanfaatkan untuk antisipatif meliputi adaptasi dan mitigasi bencana hidrometeorologis. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sering memberi informasi cuaca hingga peta-peta potensi bencana banjir yang dapat diakses secara langsung di website. Setelah mendapat informasi, banyak yang dapat dilakukan. Pemerintah daerah dan masyarakat harus memperhatikan bangunan pengendali banjir (bendungan, dam, atau sumur resapan) serta kondisi sungai. Untuk jangka pendek, lakukan pengerukan atau pelebaran sungai sebagai langkah antisipatif.

Energi

Ancaman faktor kebumian tidak hanya memberi persoalan bencana alam, tapi juga memengaruhi krisis energi dan kemandirian pangan. Tanpa disadari, kini Indonesia sudah memasuki masa pendahuluan krisis energi, misalnya beberapa tempat selalu mengalami pemadaman listrik bergilir. Begitu juga sumber energi minyak dan gas bumi segera menipis. Industri minyak dan gas bumi lebih banyak dikuasai investor asing. Ini diperburuk dengan korupsi birokrat dan teknokratnya seperti kasus Kepala SKK Migas.

Sebenarnya ini bisa disolusi dengan mengembangkan energi terbarukan berupa potensi panas bumi (geotermal). Indonesia sangat mampu mewujudkan pengembangan tersebut karena memunyai sumber daya raksasa berupa begitu banyak gunung api aktif yang bisa menjadi sumber geotermal. Sayangnya, riset, regulasi, dan investasi belum mampu memandirikan pasokan energi. Undang-Undang Minerba bisa memperbarui sektor energi, namun belum dirasakan masyarakat bawah. Kesalahan regulasi juga dirasakan bidang kehutanan dan kelautan.

Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada tantangan krisis ketahanan pangan akibat perubahan iklim global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama 10 tahun terakhir Indonesia terus mengimpor pangan. Diperkuat lagi dengan pernyataan Economics Intelligence Unit (EUI) dalam Dupont Media Forum di Singapura, indeks ketahanan pangan Indonesia di posisi kelima dari tujuh negara. Data yang sangat memprihatinkan untuk disematkan pada negara kaya, subur, dan melimpah sumber daya alam. Fakta ini harus disikapi serius karena ke depan makin rawan pangan.

Satu lagi, peredaran udara global sangat memengaruhi Indonesia karena secara geografis berada di antara Samudra Hindia dan Pasifik. Posisi ini dapat memicu sirkulasi massa udara di atmosfer dan sirkulasi air laut sehingga dapat menyebabkan migrasi ikan di laut pada waktu tertentu. Indonesia juga diapit Benua Asia dan Australia yang menjadikan sebagai acuan pengamatan perubahan arah angin musim. Kemudian negeri ini juga terletak pada garis ekuator sehingga mengalami pemanasan maksimum sepanjang tahun. Cuaca bisa berubah cepat. Tambah lagi, 70 persen wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga memicu penguapan yang membentuk awan-awan berpotensi hujan.

Dari segi morfologi, Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan beragam ketinggian yang menandakan dominannya efek topografi. Nusantara juga memiliki banyak teluk dan selat yang dapat menimbulkan konvergensi atau pertemuan udara pada skala lokal yang memicu angin kencang dan turbulensi. Lebih menarik lagi, posisi pulaunya membujur dan melintang sehingga dapat menimbulkan sirkulasi angin timur serta barat. Garis pantai yang panjang di seluruh wilayah turut mendominasi pengaruh angin laut terhadap daratan.

Pemanasan global sebagai salah satu dari sekian banyak unsur perubahan iklim telah banyak memengaruhi pertanian. Perubahan iklim menimbulkan musim kemarau lebih panjang dan kekeringan ekstrem di sejumlah tempat. Data Kementerian Pertanian, tahun 2012, menunjukkan bahwa 272.925 hektare lahan padi kering serta 43.726 hektare di antaranya gagal panen. Kerugian ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan impor besar yang justru berpotensi makin memperburuk kualitas pangan.

Agenda kebumian tidak lagi dapat dipandang sebelah mata oleh presiden terpilih. Konsep kebumian tersebut juga masih belum mewakili seluruh persoalan bencana yang mengancam Ibu Pertiwi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, beragam bencana alam baru juga harus menjadi tinjauan khusus. Badai magnet dan penurunan kualitas udara menjadi bencana terbaru di abad ke-21. Rangkaian bencana tersebut kini belum terlalu dirasakan dampaknya, namun akan menjadi destruktif besar bila tidak diwaspadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar