Selasa, 12 November 2013

Wacana Revisi UU Otsus Papua

Wacana Revisi UU Otsus Papua
Paskalis Kossay  ;   Ketua Kaukus Papua di Parlemen RI
SINAR HARAPAN,  11 November 2013
  

Awal bulan Februari 2013, Gubernur Papua Lukas Enembe menghadap Presiden SBY di Istana Negara Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Gubernur Lukas Enembe melaporkan kepada presiden, terkait pemilihan dirinya sebgai Gubernur Papua periode 2013-2018, serta melaporkan pula kebijakan baru yang akan dijalani selama lima tahun kepemimpinannya ke depan.

Hal yang menarik dalam pertemuan tersebut adalah tercetusnya gagasan baru Gubernur Lukas Enembe bahwa ingin merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) menjadi Undang-Undang Pemerintahan Papua.

Presiden SBY juga melontarkan gagasan baru bahwa ingin meningkatkan kapasitas Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi Otonomi Khusus Plus.

Gagasan Gubernur Lukas Enembe maupun gagasan Presiden SBY tertuju pada objek yang sama, tetapi tidak saling bertemu pada satu simpul, sepertinya satu pihak berkiblat ke barat dan pihak lain berkiblat ke timur. Muatan gagasan Otonomi Khusus Plus belum diketahui umum apalagi belum disosialisasikan kepada rakyat Papua.

Penekanan Otonomi Khusus Plus rupanya dititikberatkan pada pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah. Namun, objek kewenangan yang akan dilimpahkan itu semakin tidak jelas, bahkan terkesan saling tumpang-tindih dengan amanat UU Otsus Papua yang sudah ada.

Rakyat Papua sedang bertanya-tanya, apakah dengan Otonomi Khusus Plus sebagaimana dikehendaki Presiden SBY itu, akan menyerahkan seluruh kewenangan pemerintah pusat, termasuk lima kewenangan yang masih ditangani pusat selama ini, seperti kewenangan bidang politik luar negeri, bidang pertahanan dan keamanan, peradilan, fiskal dan moneter, agama, serta kewenangan di bidang lain yang ditentukan pemerintah pusat.

Gagasan pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Papua, dikhawatirkan akan kehilangan roh dan jiwa awal pembentukan Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001.

Hal ini sudah tergambar jelas dalam konsep rancangan pembentukan UU Pemerintahan Papua yang dipersiapkan sekarang telah terindikasi kuat terjadi copy paste dari UU Pemerintahan Aceh. Padahal semangat pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh jauh berbeda dengan konten UU Nomor 21 Tahun 2001 yang bertumpuh pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal.

Jika semangat pembentukan pemerintahan Aceh diadopsi dan dipaksakan masuk dalam proses revisi UU Otsus Papua, sangat dikhawatirkan dalam implementasinya nanti akan berbenturan dengan sistem dan tatanan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Papua. Dengan demikian, tidak akan tercapai hasil yang maksimal dalam menyejahterakan rakyat Papua.

Kita semua sadar dan tahu kalau titik berat semangat UU Otsus yang berlaku sekarang terletak pada adanya penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat orang asli Papua.

Hak-Hak dasar itu meliputi perlakuan khusus dalam memperoleh pekerjaan, perlakuan khusus dalam pemberdayaan SDM, pengakuan khusus atas hak-hak adat dan pengelolaan lingkungan, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan penegakan hukum.

Hak-hak dasar yang merupakan amanat penting dari otsus tersebut, ternyata selama satu dasawarsa ini tidak konsisten diimplementasikan.

Akhirnya masyarakat Papua merasa kecewa dan dianggap telah dibohongi Negara, seolah-olah Negara sudah berpihak pada rakyat untuk mengangkat derajat kesejahteraannya. Namun sebaliknya, pelaksanaan otsus itu jauh melenceng dari apa yang diharapkan dan belum berpihak kepada kepentingan rakyat.

Cukup Tambah Pasal

Kenyataan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua. Masyarakat menilai, otsus gagal karena tidak mampu menyejahterakan kehidupan rakyat. Masyarakat beramai-ramai menolak pemberlakukan otsus itu.

Sementara pemerintah menilai otsus masih relevan diberlakukan kemudian mencari format baru untuk mendorong efektivitas pelaksanaan otsus tersebut agar hasilnya segera menyentuh kebutuhan dasar rakyat.

Hal ini memunculkan beberapa paket kebijakan baru, seperti Inpres Nomor 5 Tahun 2007, Perpres Nomor 65, dan Nomor 66 Tahun 2011, kemudian muncul lagi sekarang adanya gagasan Otonomi Khusus Plus.

Kalau kita mau jujur, sesungguhnya gagasan Otonomi Khusus Plus dan juga Undang-Undang Pemerintahan Papua cukup membingungkan rakyat. Oleh karena itu, kedua gagasan ini perlu dipertegas apa makna maupun muatan supaya jelas dipahami rakyat. Kalau diterjemahkan secara bebas makna, Otonomi Khusus Plus tidak persis sama dengan makna UU Pemerintahan Papua.

Otonomi Khusus Plus berarti tidak diperlukan adanya perubahan mendasar terhadap konstruksi dari UU Otonomi Khusus yang sudah ada, tetapi cukup menambah muatan pada pasal-pasal tertentu yang dipandang sangat mendesak dan strategis. Tentu dengan merevisi secara terbatas batang tubuh UU Otonomi Khusus itu.

Gagasan UU Pemerintahan Papua, berarti pemerintah akan merevisi secara total konstruksi dari UU Otonomi Khusus yang sudah ada. Langkah perubahan total ini bisa fatal, apabila dalam proses revisi tidak dipertimbangkan baik landasan berpikir dari perpektif filosofis dan sosiologis yang mendasari awal pembentukan sebuah undang-undang.

Namun, pemerintah akhirnya ingin merevisi UU Otonomi Khusus Papua dengan mengubah nomenklatur yang juga dengan dua versi berbeda satu sama lain dan tidak saling bertemu; yang satu disebutnya sebagai Otonomi Khusus Plus dan yang lainnya disebut UU Pemerintahan Papua.

Perbedaan nomenklatur ini menunjukkan bahwa ternyata antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan amanat otonomi khusus selama ini tidak berjalan dalam satu koordinasi yang harmonis, kompak, dan sinergis. Akhirnya selama ini banyak mengorbankan pelayanan publik.

Mencermati perbedaan gagasan tadi, sebaiknya sudah waktunya pemerintah mengevaluasi menyeluruh kinerja pelaksanaan Otsus Papua selama satu dasawarsa ini untuk menyatukan persepsi dan memastikan titik-titik kelemahan serta kelebihannya.

Sesudah itu, direvisi undang-undangnya untuk menyempurnakan konten dengan menambah atau mengurangi hal-hal yang dipandang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi riil saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar