Selasa, 12 November 2013

Vamos Bosnia-Herzegovina

Vamos Bosnia-Herzegovina
Toriq Hadad  ;   Redaktur Senior TEMPO
TEMPO.CO,  11 November 2013
  

KEJUTAN besar sudah terjadi kendati Piala Dunia 2014 di Brasil masih tujuh bulan lagi. Bosnia-Herzegovina meraih satu tiket ke pentas akbar sepak bola dunia itu. Banyak rekor dicatat negeri yang berdiri di atas puing peperangan ini. 

Pecahan Yugoslavia ini merupakan satu-satunya negara yang pertama kali menembus putaran final di Piala Dunia Brasil-sampai sekarang, karena masih 11 negara yang sedang berebut tiket. Bosnia merupakan negara paling mini di Piala Dunia. Luasnya sedikit lebih besar dibanding Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduknya juga paling sedikit, 3,8 juta. 

Baru memisahkan diri dari  pendudukan Federasi Yugoslavia pada 1991, Bosnia adalah anggota termuda FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional), tercatat sejak 2000.

Masih ada "rekor" lain. Bosnia terlama diamuk perang. Sejak kelompok Utsmaniyah dari Turki meraih kemenangan atas Serbia dalam Perang Kosovo pada 1389, perang sudah akrab dengan Bosnia. Bahkan Perang Dunia I dimulai dari Sarajevo, ibu kota Bosnia. Sejak 1918, Bosnia dan Herzegovina dikuasai Yugoslavia, yang kemudian memberikan status daerah otonom pada 1971. 

Namun konflik antaretnis-terutama etnis Bosnia melawan Serbia-terus berkecamuk. Inti soalnya, etnis Serbia ingin membentuk negara Serbia Raya, dan tak ingin pecahan Yugoslavia itu berdiri sendiri-sendiri. Perang meletus, puncaknya sejak 1991 sampai 1993. Serbia berniat membersihkan etnis Bosnia. Lebih dari seratus ribu orang tewas. Ribuan perempuan diperkosa. Kuburan massal di mana-mana. Pada Juli 1995, pembantaian etnis terburuk di masa modern ini pecah lagi: Tragedi Srebrenica, sekitar 8.000 orang Bosnia dibantai.

PBB turun tangan dan menyatakan Serbia bersalah melakukan pembersihan etnis. Presiden Serbia Slobodan Milosevic dan dua jenderalnya ditetapkan sebagai penjahat perang oleh Mahkamah Internasional.

Negara luka itulah yang lolos ke piala dunia sepak bola. Setelah kemenangan dramatis 1-0 atas Lituania, Oktober lalu, Sarajevo berdansa sampai pagi. Adnan Hadzic, penduduk Sarajevo, berkata, "Setelah selalu melihat kehancuran, kami membutuhkan kegembiraan. Kemenangan ini seakan mimpi." Adnan seorang penganggur, seperti juga 25 persen penduduk Bosnia.

Bila ingin mengikuti jejak Bosnia, Indonesia harus mengakhiri "perang" di tubuh asosiasi sepak bolanya. Pertikaian, antara pendukung Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Prima Indonesia (LPI), sementara ini menunjukkan keunggulan LSI. Niat LPI mereformasi sepak bola Indonesia boleh dikata kandas. Kelompok LSI-sebutlah demikian-yang bertahun-tahun menguasai Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, kembali pegang kendali. Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai wakil pemerintah kelihatannya nyaman-nyaman saja dengan keadaan ini.

Anehnya lagi, FIFA dan Asosiasi Sepak Bola Asia (AFC), yang semula mengakui kelompok LPI, belakangan "berpaling" kembali pada kelompok LSI. Pengurus PSSI, yang semula dikuasai kelompok LPI, perlahan juga dikuasai kelompok LSI. Bahkan, dalam kompetisi 2014 nanti, besar kemungkinan posisi LPI kalah telak. Kabarnya, PSSI akan menentukan, dari 22 klub peserta, hanya 4 klub yang berasal dari LPI. Sisanya klub LSI.  

Padahal, bila website FIFA dibuka, sampai tulisan ini diturunkan, National League atawa Liga Nasional Indonesia, yang diakui FIFA, masih Liga Prima Indonesia. Keadaan memang pelik: di atas kertas FIFA mengakui LPI, tapi di lapangan justru LSI yang diakomodasi. 

Perang Bosnia telah berakhir. Vamos Bosnia, ayo Bosnia. Di Indonesia, "perang" di tubuh asosiasinya belum berakhir dengan win-win solution. Sebelum hal ini beres, tiket piala dunia hanya tinggal ilusi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar