Selasa, 05 November 2013

Tingkatkan Daya Saing

Tingkatkan Daya Saing
Edy Purwo Saputro  ;   Mahasiswa Program Doktor, Dosen FEB Univ Muh Solo
KORAN JAKARTA, 04 November 2013



Peringkat kemudahan bisnis Indonesia menurun seperti dilansir Bank Dunia tentang peringkat Doing Business 2014. Indonesia berada di peringkat 120. Sebelumnya di posisi 116 dari 180 negara yang disurvei. Hal ini mengindikasikan bahwa orientasi bisnis bagi pelaku usaha tampaknya perlu diperbaiki sehingga investasi meningkat, terutama dari asing. 

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya kembali memetakan faktor-faktor yang menghambat kemudahan bisnis. Ini penting karena persaingan terhadap daya tarik investasi semakin tinggi dan yang dapat memastikan kemudahan bisnis akan semakin menarik bagi realisasi penanaman modal. Selain itu, pusat dan daerah harus bersinergi dalam mengupayakan tersebut sehingga tidak terjadi konfl ik regulasi. 

Jika dicermati, sebenarnya aspek penting globalisasi setiap negara memang harus meningkatkan daya saing dan kemudahan bisnis. Daya saing terkait kemampuan produk memasuki pasar ekspor yang berpengaruh terhadap neraca perdagangan. Maka, pada era globalisasi, acuan meningkatkan kualitas produk, bukan semata-mata kuantitas. Esensi peningkatan kualitas produk tidak bisa terlepas dari indikator nilai ekspor. Artinya, kualitas produk yang baik berpengaruh pada keunggulan kompetitif. Akhirnya, ini dapat meningkatkan kinerja ekspor sehingga penerimaan devisa naik. Persoalan muncul ketika dunia mengalami krisis sehingga ekspor meredup dan berpengaruh pada neraca perdagangan sehingga memicu defisit. 

Ancaman Aspek kemudahan bisnis juga menjadi faktor penting pada era global karena terkait dengan daya tarik terhadap realisasi investasi. Dalam jangka panjang harus banyak yang dibenahi agar proses perizinan tak lagi berbelit. Pembenahan juga pada regulasi agar kooperatif, serta aspek keamanan supaya kondusif. Tanpa pembenahan pada aspekaspek tersebut tak ada investor datang. Setiap negara perlu meningkatkan jaminan kemudahan bisnis pelaku usaha. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa upah buruh murah ternyata tidak menjamin daya tarik investasi dan kemudahan bisnis. Relevan dengan isu daya saing dan kemudahan bisnis, untuk perdagangan ASEAN ternyata defi sit neraca perdagangan kian tinggi. 

Dengan Brunei saja defi sit 282 juta dollar AS. Demikian juga dengan Malaysia (511), Singapura (708), Th ailand (721), dan Vietnam (158). Indonesia hanya surplus dengan Kamboja (234 dolar AS), Laos (18), Myanmar (239), dan Filipina (249). Yang juga perlu dicermati terkait kasus defi sit neraca perdagangan dalam 3 bulan terakhir, kecenderungan defisit terhadap sejumlah negara mitra dagang. Defi sit terbesar terjadi dengan China (5,8 miliar dolar AS). Demikian juga dengan Jepang (1,33 miliar), Th ailand (1,28), dan Prancis (0,263). Terkait kasus ini tentu ada banyak faktor yang mendasari dan karenanya harus dianalisis secara saksama. Dengan demikian, dapat menekan defi sit neraca perdagangan. Kalau bisa malah mengupayakan surplus, termasuk ancaman dari krisis akhir semester tahun 2013 yang kemungkinan berlanjut tahun depan. 

Apalagi, tahun depan ada perhelatan pilpres sehingga ancaman krisis sangat rawan memicu gejolak sosial, ekonomi, dan politik. Maka, jika defi sit anggaran terus berlanjut, keadaannya bisa semakin gawat. Indikasi awal dari kasus defi sit, tren impor bahan bakar mencapai 2,1 miliar dollar AS karena akumulasi konsumsi dalam negeri cenderung meningkat. Sementara itu, polemik kenaikan atau pembatasan subsidi sempat memanas dan memicu gejolak sosial politik. Selain itu, juga dibayangi krisis Eropa yang berlarut sampai tahun 2013. Maka, kajian prospek perdagangan bilateral dan multilateral penting. Ini termasuk prospek perdagangan dengan China pada 3 tahun pelaksanaan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Oleh karena itu, daya saing menjadi isu strategis, termasuk juga aspek kemudahan bisnis karena terkait dengan investasi jangka panjang. Maka, ACFTA perlu menjadi pembelajaran dalam memperbaiki daya saing dan kemudahan bisnis. 

Hal ini menunjukkan bahwa ACFTA menyisakan tantangan untuk memacu daya saing. Karena itu, beralasan jika kemudian Indonesia minta perundingan ulang terkait ACFTA. Meski ini tidak bisa lagi dihindari karena bagian liberalisasi perdagangan. Namun, ancaman pemberlakuan ACFTA tetap harus diwaspadai, terutama terhadap sejumlah komoditi unggulan nasional yang kalah bersaing dengan produk Beijing. Dari sejumlah komoditi unggulan tersebut, salah satunya yang sangat rentan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Fakta ini menunjukkan bahwa krisis menurunkan daya saing produkproduk ekspor. Ketika daya saing makin melemah, kinerja ekspor menurun, tentu berpengaruh pada penerimaan negara melalui neraca perdagangan. Ironisnya, daya saing melemah, diikuti kemudahan usaha yang payah pula. Ini menghambat arus investasi.

TPT nasional kalah bersaing dengan produk China. Terkait ini, sejumlah pelaku usaha pernah berharap pemerintah menunda pemberlakuan ACFTA untuk komoditi TPT. Kekhawatiran ini beralasan sebab pasca-ACFTA pasar domestik dibanjiri produk tirai bambu yang rata-rata lebih murah 10 persen dari produk TPT nasional. Di balik kekhawatiran ini memang diakui pada 5 tahun terakhir pasar TPT nasional dikepung produk TPT China. Bahkan, batik untuk lebaran ternyata banyak juga buatan Beijing pada 2 tahun terakhir. Oleh karena itu, ancaman ACFTA harus diwaspadai sebagai tantangan guna memacu daya saing. 

Hal ini harus menjadi perhatian serius agar globalisasi mampu memberi manfaat kepada masyarakat melalui usaha produktif yang dilakukan termasuk naiknya ekspor. Implikasi defi sit neraca perdagangan secara tak langsung menunjukkan, daya saing produk nasional semakin lemah, sekalipun dengan negara-negara yang semestinya bisa kita kuasai pasarnya. Artinya, kumulatif penduduk Indonesia yang lebih dari 230 juta pada akhirnya justru dimanfaatkan negara lain sebagai pasar ekspor mereka. Apalagi, di sisi lain, impor nasional kian meningkat. Bahkan, kedelai untuk tahu dan tempe saja harus impor. 

Ini membuat Indonesia terjebak dan para pengusaha kecil industri berbasis kedelai kelimpungan. Maka, perlu reorientasi pemikiran terhadap kemampuan ekonomi domestik terutama untuk mengantisipasi penurunan daya saing.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar