Sabtu, 09 November 2013

Perlu Berapa Pahlawan Nasional?

Perlu Berapa Pahlawan Nasional?
Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan di LIPI
KOMPAS, 09 November 2013


PEMBERIAN gelar pahlawan nasional merupakan hak Presiden seperti diatur pada Pasal 15 UUD 1945. Sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1959, sampai 2012 sudah diangkat 156 pahlawan nasional. Yang dibutuhkan sebetulnya berapa orang?

Jumlah ini tidak sama pada semua negara. Thailand yang tidak pernah dijajah agak repot sehingga seorang yang berperang melawan Burma—tidak ada hubungannya dengan kemerdekaan—pada masa lalu diangkat sebagai pahlawan nasional.

Di Perancis barangkali ”pahlawan nasional” bisa dibandingkan dengan tokoh yang dimakamkan (kembali) pada Pantheon, Paris. Jumlah ”penghuni” Pantheon sekarang tidak lebih dari 80 orang, di antaranya ilmuwan peraih Nobel, Pierre Curie dan Marie Curie, serta penulis Voltaire, Rousseau, Emile Zola, dan Victor Hugo. Alexandre Dumas baru dipindahkan makamnya ke sini tahun 2002, 132 tahun setelah kematiannya.

Nilai kepahlawanan

Kita bangsa yang besar, berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa yang memiliki beragam etnis dan agama serta kepercayaan. Jika dianggap satu pahlawan itu menjadi contoh atau teladan untuk sejuta orang, mungkin 200 pahlawan nasional masih bisa diterima. Asal saja semua merupakan tokoh yang betul-betul berjasa besar dan perjuangannya berdampak secara nasional.

Di Indonesia, rata-rata setiap tahun diangkat tiga orang menjadi pahlawan walaupun jumlahnya turun naik. Tahun 1964 terjadi pengangkatan tokoh yang cukup banyak mewakili aliran ”Nasakom” (dua jenderal, Alimin dari PKI, dua dari Muhammadiyah, dua dari NU—kakek dan ayah Gus Dur), tiga tokoh perempuan. Ada pula tahun-tahun tanpa pengangkatan pahlawan nasional.

Dari daftar pahlawan nasional terdapat tiga pasang suami-istri (Ahmad Dahlan-Nyi Ahmad Dahlan, Tjut Nyak Dien-Teuku Umar, dan Soekarno-Fatmawati) serta ayah-anak, yaitu Hasyim Ashari dan Wahid Hasyim. Inggit Garnasih sebetulnya sangat berjasa dalam mengantar Soekarno ke gerbang kemerdekaan, tetapi andai kata ia diangkat, dua istri Soekarno terdapat dalam daftar pahlawan nasional. 
Apakah ”nilai poligami” ini yang akan disampaikan ke tengah masyarakat? Bila Abdurrachman Wahid menjadi pahlawan nasional, keluarga ini memecahkan hattrick: tiga generasi.

Pertanyaan mengenai jumlah pahlawan ini sebetulnya terkait dengan pengajaran nilai kepahlawanan mereka. Dari 156 orang itu, berapa yang dikenal luas masyarakat? Soekarno, Hatta, Sudirman, Kartini, Tjut Nyak Dien, Diponegoro tentu saja dikenal luas. Tetapi, tahukah Anda siapa Pong Tiku dan Garamata? Yang ada saja belum sempat disosialisasikan, apa perlu ditambah terus dan dalam jumlah banyak?

Pertanyaan berikut mengenai kapan seseorang sebaiknya diangkat dan berapa lama prosesnya. Soekarno menjadi pahlawan tahun 1986, 16 tahun setelah kematiannya. Bung Tomo konon ditolak dua kali semasa Orde Baru. Etnis Tionghoa perlu menunggu 50 tahun agar ada wakil mereka, yakni John Lie, yang diangkat tahun 2009.

Terdapat beberapa keanehan dalam proses pengusulan pahlawan. Ada yang lama, tetapi ada pula yang cepat, seperti Ny Tien Soeharto dan Jenderal Basuki Rachmat yang berjasa menyerahkan Supersemar kepada

Soeharto. Tahun 2007 Anak Agung Gde Agung diusulkan dari Yogyakarta, bukan dari daerah asalnya, Bali. Setelah diangkat menjadi pahlawan nasional, muncul protes dari Legiun Veteran Republik Indonesia cabang Bali.

Berbeda dengan tentara, tidak ada polisi yang menjadi pahlawan nasional kecuali Karel Sasuit Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana Menteri Leimena yang bernasib naas tertembak pada 1 Oktober 1965. Saya tak pernah mendengar dari kalangan polisi upaya mencalonkan Jenderal Hoegeng sebagai pahlawan nasional.

Album perjuangan

Kalau kita menganggap daftar pahlawan nasional itu sebagai album perjuangan bangsa di mana semua golongan dan etnis mendapat tempat, tentu aspek representasi dapat dipertimbangkan walaupun ”kadar” perjuangannya pada tingkat lokal. Dalam rangka konteks perimbangan daerah, tebersit pertanyaan, berapa ”kuota” sebuah provinsi agar daerah lain dapat pula memiliki pahlawan nasional? Pada era reformasi ini, jumlah provinsi di Indonesia meningkat dari 27 menjadi 34, belum semuanya memiliki pahlawan nasional.

Unsur minoritas juga perlu dipertimbangkan. Etnis Tionghoa telah diwakili dengan pengangkatan John Lie. Namun belum ada tokoh keturunan Arab yang menjadi pahlawan nasional walau AR Baswedan telah diusulkan sejak beberapa tahun silam.

Untuk menghindari kesan bahwa pahlawan nasional hanya mereka yang berjuang dalam bidang politik dan militer (bersenjata), telah diangkat seniman musik, seperti Ismail Marzuki. Namun, sampai hari ini tidak ada pahlawan nasional dari lingkungan olahraga. Kenapa Ir Suratin, pendiri PSSI tahun 1930, tidak dijadikan pahlawan nasional?

Dari 156 pahlawan nasional, hanya 12 perempuan. Apakah kaum ini tidak berjuang untuk merebut dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan? Yang lebih tepat adalah pemerintah kurang peduli karena sudah ada calon pahlawan nasional perempuan, seperti Rohana Kudus, tetapi tak kunjung diangkat Presiden. SK Trimurti adalah tokoh perempuan yang layak dinobatkan menjadi pahlawan nasional.
Pengusulan mantan presiden, seperti Soeharto dan Abdurrahman Wahid, menimbulkan polemik. 
Persoalannya, apakah semua mantan presiden perlu diangkat menjadi pahlawan nasional dan kapan? 

Dengan UU No 20/2009, presiden otomatis memiliki 14 tanda jasa dan tanda kehormatan di bawah pahlawan nasional, sedangkan wakil presiden setelah dilantik mempunyai tujuh tanda jasa dan tanda kehormatan di bawah pahlawan nasional. Jadi kehormatan yang diberikan negara kepada mereka sangat tinggi, hanya seranting di bawah pahlawan nasional. Agar tidak menimbulkan kontroversi, saya kira sebaiknya seorang tokoh baru bisa diusulkan dan diangkat menjadi pahlawan nasional, paling tidak 15 tahun setelah dia meninggal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar