Sabtu, 09 November 2013

Pemimpin yang Pahlawan

Pemimpin yang Pahlawan
M Alfan Alfian ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN SINDO, 09 November 2013


Dalam Seminar Bidang Politik Nasional Puslit Politik (P2P) LIPI ”Kepemimpinan Politik dan Problematik Demokratisasi Pasca-Soeharto”, di Jakarta, 10 Oktober 2013 yang lalu, sebagai salah satu narasumber, saya sampaikan kisah lucu Nasruddin Hoja yang pernah dikutip Presiden Lyndon Johnson. 

Pada bulan purnama Nasruddin melihat ke sumur dan sangat kaget melihat rembulan berada di dasarnya. Nasruddin mengira dunia dalam bahaya besar. Bagaimana mungkin rembulan jatuh di dasar sumur, bumi pasti akan keberatan dan sebentar lagi pasti guncang. Bak politisi, Nasruddin mendadak terpanggil melakukan aktivitas yang bertujuan menyelamatkan keadaan. Caranya dengan mengambil dan mengangkat rembulan untuk dikembalikan ke tempat asalnya. 

Tapi ketika timba dikasih pemberat, agar mampu ambil rembulan itu dengan tepat, Nasruddin malah terjungkal ke dasar sumur. Sambil megap-megap, Nasruddin menengadah ke atas. Betapa bahagia dirinya melihat rembulan telah melesat dan bertengger kembali ke posisinya. Ia merasa pengorbanannya tak sia-sia. Ia penyelamat dunia. Bagi politisi atau calon pemimpin, ”mental untuk menyelamatkan dunia” itu penting. Setidaknya ia punya motivasi mulia. Politisi memang harus gelisah melihat keadaan sekitar, dan berupaya memperbaiki keadaan. 

Kendatipun demikian, tafsir lain dari kisah Nasruddin di atas, mungkin saja begini: betapa kita sering memahami sesuatu secara serampangan dan memandang masalah hanya dari satu perspektif, sehingga upaya keras kita sia-sia. Begitu pun kita anggap diri kita berhasil. Kita merasa kita pahlawan penyelamat dunia,dan memiliki kebesarankebesaran yang kita lekatkan pada baju-baju dan tampilan kita: seperti Don Quixote. 

Tokoh karangan sastrawan klasik Spanyol Miguel de Cervantesyang merasa dirinya ksatria hebat, ksatria dari La Mancha, dan melakukan petualangan-petualangan konyol. Misalnya ketika Don Quixote mengira kincir angin sebagai raksasa jahat lawannya. Dengan sekuat tenaga dan semangat mengalahkan lawan, ia dekati kincir angin itu. 

Sang raksasa menantang-nantang dengan angkuhnya. Inilah kesempatan bagi Sang Ksatria dari La Mancha untuk menunjukkan kesaktiannya. Ia terus mendekati sasaran, mengeluarkan jurus-jurusnya, sementara sang raksasa tenang-tenang saja. Atau ketika Don Quixote mengira segerombolan domba sebagai barisan pasukan musuh yang gegap gempita. 

Hal yang Fatal? 

Dalam alam pikiran normal kita, apa yang dilakukan Nasruddin atau Don Quixote itu sama-sama fatal. Nasruddin berangkat dari logika yang sepertinya benar, tetapi ternyata salah. Pasalnya, rembulan yang ada di dasar sumur itu hanyalah bayangan dari aslinya. Lagi pula, Nasruddin tergesa-gesa untuk melakukan tindakan penyelamatan, suatu aksi kepahlawanan yang tidak pada tempatnya. Orang Jawa bilang, Nasruddin ”kuduk wani kurang dedhuga” alias asal berani tanpa pertimbangan, terutama atas keselamatan dirinya. 

Sementara dalam kasus Don Quixote, ia mengidap waham kebesaran. Ia sepertinya menderita schizophrenia akut, sehingga tak dapat membedakan alam nyata dan halusinasi. Bukan soal fatalnya yang kita ambil, melainkan jiwa kepahlawanannya. Tindakan kepahlawanan itu sering kali tanpa ukuran pertimbangan rasio, apalagi kalau rasio kita berkepentingan untuk diri pribadi. Kepahlawanan sesungguhnya merupakan sikap hidup yang wajar, sebagai cermin manusia makhluk sosial.

Kepahlawanan selalu seiring sejalan dengan kemanusiaan. Dan, sesungguhnya ini persoalan simpel. Abraham Lincoln berkata, ”Whatever you are, be a good one.” Apa pun Anda, jadilah orang yang baik. Orang yang baik itu orang yang wajar-wajar saja dalam hidupnya. Ketika menyapa tetangga kiri-kanan itu adalah kewajaran hidup, maka itulah peristiwa kepahlawanan sehari-hari. Orang yang baik adalah orang yang wajar-wajar saja dalam hidupnya. 

Kalau kita refleksikan ke dunia politik, pesan sederhana itu lazim sebagai dalih bahwa politisi yang baik ialah yang berupaya memperjuangkan visi yang baik, dengan berbagai tindakan yang baik dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kendatipun, untuk itu tidak mudah, dan bahkan suatu ketika kita dituding sebagai orang atau politisi yang tidak baik. Don Quixote merasa menjadi ksatria yang siap-siap untuk berperang, ketika sekawanan domba, ia kira pasukan musuh yang berbaris, berderap sedemikian rupa. 

Don Quixote sangat waswas dan sekaligus siap-siap untuk menghadapi musuh sebanyak itu. Sikap politiknya sudah demikian jelas: mereka adalah musuh, dan musuh harus dilawan. Memang banyak peristiwa malang bagi si tokoh malang, tetapi dalam politik, sebagaimana kata Benjamin Disraeli, tiada yang hina. In politics nothing is contemptible. 

Kita bisa menafsirkan apa yang dikatakan Disraeli itu begini: politik selalu membutuhkan pembenaran atau legitimasi. Yakni, bagaimana cara meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ketika kekuasaan ada di genggaman, timbullah upaya-upaya memperkuat pembenaran. Sejarah politik, nyaris selalu ditentukan pihak yang menang, dan mereka punya seribu dalih untuk membenarkan tindakan-tindakannya. 

Warisan 

Katakan misalnya, Nasruddin menjadi pemimpin formal di negaranya, Don Quixote panglima perangnya, maka apa yang akan terjadi? Soal ini, bahkan Miguel de Cervantes pun tak pernah mengimajinasikannya. Kita punya imajinasi masing-masing. Antara lain begini, setelah naik dari sumur itu ia dikerubuti para menterinya, dan segeralah malam itu juga diadakan sidang kabinet. 

Nasruddin memimpin sidang dengan penuh semangat. Intinya ia menegaskan bahwa sesungguhnya ia pahlawan sejati penyelamat dunia. Para menterinya tahu kalau Nasruddin tengah membuat kesimpulan yang keliru. Tetapi sayangnya, tidak ada yang berani mengatakan yang sesungguhnya. Mereka takut dipecat mendadak. Pada kesempatan itu Don Quixote, sebagai panglima perang, mengusulkan agar Nasruddin menyetujui usulannya untuk membuat pasukan khusus penjaga rembulan. 

Don Quixote sesumbar bahwa siapa pun yang berani memindahkan rembulan itu ke sumur atau ke tempat lain, akan segera berhadapan dengan pasukannya. Dari imajinasi sederhana ini terdapatlah penggambaran bahwa semua orang, apalagi pemimpin, ingin dicatat dalam sejarah. Nasruddin ingin dicatat sebagai pahlawan besar, demikian pula Don Quixote sebagai ksatria agung. Frase ”ingin dicatat dalam sejarah” itu identik dengan warisan (legacy). 

Setiap orang yang sudah menjadi pemimpin, tentu ingin punya warisan alias sesuatu yang manis dikenang oleh rakyatnya. Bangsa yang besar ialah yang memberi tempat bagi para pahlawannya untuk dikenang. Tetapi, karena hidup adalah dinamika, tidak semua tokoh pemimpin dipandang pahlawan bagi yang lain. Bahkan satu tokoh versinya berbeda-beda. 

Maka itu, warisan kepemimpinan yang dimaksud bukanlah dalam bentuk patung-patung fisik, melainkan juga kalkulasi kebijakan dan kearifan yang ditinggalkan. Warisan itu yang bisa menilai adalah rakyat atau orang biasa, yang secara objektif bisa menimbang-nimbang mana pemimpin yang sejati, mana yang tidak. Mana yang pahlawan, mana yang tidak. Dan inilah mahkamah sejarah itu. Wallahua’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar