Minggu, 10 November 2013

Pahlawan pada Beku Monumen

Pahlawan pada Beku Monumen
Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
TEMPO.CO, 09 November 2013

TUJUH tahun setelah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan kata pahlawan: ''Orang jang sangat gagah berani; pedjuang jang gagah berani atau terkemuka.'' Kita mungkin tidak perlu kamus untuk memperingati Hari Pahlawan, dari tahun ke tahun. Indonesia memang bukan negeri kata, negeri bereferensi kamus. Pahlawan ada sejak zaman dulu, diingat melalui upacara dan pidato pejabat. Lho!

Kita mungkin juga tidak mengenang atau mengimajinasikan pahlawan melalui novel. Siapa bakal membaca ulang novel Surabaya (1947) garapan Idrus? Novel itu berisi tokoh-tokoh ganjil, mulai prajurit sampai bandit. Mereka hadir dalam peristiwa perang, mengobarkan kehendak berindonesia dengan tumpahan darah dan pekik. Tokoh-tokoh itu tidak harus sesuai dengan pengertian di kamus susunan Poerwadarminta. Mereka ada di novel, tapi mencirikan adanya hal-hal tak tersampaikan di buku pelajaran atau pidato. Kisah kepahlawanan juga berarti kisah-kisah ganjil. Bandit dalam novel Idrus terlalu sulit diakui pahlawan oleh negara. Duh! 

Ingatan pahlawan melalui kamus dan novel jarang dilangsungkan di Indonesia. Peringatan Hari Pahlawan justru bercorak teater dan dramatisasi. Penguasa dan publik menjalani rutinitas beraroma teater saat berkunjung ke taman makam pahlawan. Di Jakarta dan pelbagai kota, kita menemukan taman makam pahlawan. Peristiwa tabur bunga di makam pahlawan adalah ritus beraroma militer dan kesenduan sejarah. Para pahlawan tentu telah mati, ada di dalam tanah. Mereka berperang pada masa berbeda dan kota berbeda. Negara cerdik dan politis. Para pahlawan tetap harus berkumpul di lokasi pilihan berjuluk taman makam pahlawan. Negara bermaksud menciptakan memori kolektif , mengajak publik menilik nisan adalah bukti dari kepahlawanan. Orang berziarah di taman makam pahlawan mirip teater sejarah di lahan kematian.

Dulu, keinginan orang untuk dikuburkan di taman makam pahlawan adalah kelaziman. Mereka berbekal lencana, piagam, jabatan, dan pangkat. Penguburan jenazah di taman makam pahlawan tentu kehormatan, memunculkan pesona heroisme. Keganjilan itu pernah terjadi di Indonesia. Pahlawan adalah julukan terhormat. Nama yang tercantum di nisan adalah prestasi, meski gagasan pahlawan di Indonesia sering rancu, berpihak ke politik dan militer. 

Kita pantas merenungkan pengakuan Kartono Mohamad (Tempo, 15 September 2013) mengenai taman makam pahlawan. Kartono menolak jenazah ayahnya dimakamkan di taman makam pahlawan, meski pantas setelah ada bukti peran selama masa revolusi. Pengakuan ganjil: ''Mungkin ini juga semacam keangkuhan bahwa kami tidak mau ayah dicampur dengan 'pahlwan' yang tidak jelas perjuangannya.'' Hoegeng dan Hatta juga menolak dimakamkan di taman makam pahlawan. Padahal, kurang pahlawan apa dua tokoh berintegritas itu? 

Indonesia juga memiliki tradisi heboh berkaitan dengan selebrasi Hari Pahlawan. Para penguasa, sejak Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono, berlomba membangun monumen berdalih menghormati jasa-jasa para pahlawan. Monumen adalah bangunan megah dan agung, mengandung misi sejarah, politik, militer, biografis. Soekarno menjadi tokoh penting dalam propaganda nasionalisme, patriotisme, dan heroisme melalui pembangunan monumen dan patung. Monumen bukan cuma tatanan batu. Monumen adalah tokoh dan peristiwa berlatar sejarah. Monumen menghendaki pengekalan ingatan, realisasi gagasan, dan pengukuhan narasi pahlawan. 

Agenda pembangunan monumen semakin besar pada masa Orde Baru. Soeharto ''mencipta'' pahlawan-pahlawan dengan monumen dan patung. Hasrat fantastis dan politis ditonjolkan agar publik terpana. Monumen pun menjadi alat indoktrinasi, narasi dari penguasa tanpa bantahan atau gugatan. Monumen seolah puncak simbol kepahlawanan, melintasi masa demi masa, dipertontonkan ke publik sebagai keagungan. Benedict Anderson dalam buku Kuasa Kata mengingatkan bahwa pembangunan monumen adalah pengumuman sejarah dan narasi untuk anak cucu. 

Warisan monumen paling fantastis dari Orde Baru adalah Monumen Pancasila Sakti. Seoharto sengaja memunculkan narasi Pahlawan Revolusi mengacu malapetaka 1965. Para jenderal diabadikan di monumen. Patung-patung mereka mengesankan keberanian dan kegagahan dalam membela Pancasila. Penciptaan sejarah justru dilakukan dengan monumen dan patung. Soeharto menginginkan publik menerima ideologisasi atas Pancasila dan peran militer di arus sejarah politik. 

Johny A. Khusyairi (2013) menjelaskan: ''Ibarat cermin, monumen memantulkan beragam penafsiran atas keberadaannya sepanjang masa. Monumen tidak hanya menjadi penjaga memori, namun menjadi ajang perebutan makna atas pendiriannya. Monumen kerapkali menjadi titik temu antara pandangan resmi dan pandangan alternatif atas masa lalu.'' Bermula dari Soekarno dan Soeharto, publik perlahan menerima klaim besar: monumen mengisahkan pahlawan. 

Rutinitas peringatan Hari Pahlawan sering memusat ke upacara, ziarah di makam pahlawan, atau kunjungan ke monumen. Publik jarang mendapat rangsangan menilik sejarah dan mengenali pahlawan melalui agenda literasi. Imajinasi tentang pahlawan tampak muram di makam dan beku di batu. Ajakan untuk membuka dan membaca kamus, novel, cerpen, atau puisi adalah bisikan lirih saat Indonesia melangsungkan upacara akbar dengan pidato, pekik, lagu, dan tembakan. Dor! ?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar