Selasa, 05 November 2013

Negaralah Pemicu Upah Murah

Negaralah Pemicu Upah Murah
M Hadi Shubhan  ;   Ahli Hukum Perburuhan FH Unair,
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kota Surabaya
JAWA POS, 04 November 2013



GELOMBANG unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah melanda, terutama di kota besar seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Surabaya (Jawa Pos, 31/10 dan 1/11). Perlu diurai, siapa yang salah atas pengupahan murah terhadap buruh selama ini. Apakah karena produktivitas rendah buruh? Ataukah karena kemampuan keuangan pengusaha yang rendah? Ataukah justru karena kesalahan negara?

Perbaikan upah buruh memang harus dilakukan. Selama 20 tahun terakhir ini terjadi penurunan nilai riil dari upah buruh meskipun secara nominal naik. Pada 1990-an, UMR di kisaran Rp 200 ribu. Sedangkan pada 2013, UMK lebih dari Rp 1,5 juta. Sebaliknya, nilai riil kemampuan beli UMR 1990-an justru lebih tinggi daripada UMK 2013. Ilustrasi sederhananya, upah Rp 200 ribu pada 1990-an bisa digunakan untuk membeli beras lebih dari 300 kg (waktu itu harga beras Rp 650 per kg), sementara upah Rp 1,7 juta pada 2013 hanya bisa untuk membeli tidak lebih dari 200 kg beras (harga Rp 8.500 per kg). 

Ada dua kesalahan besar negara sehingga upah buruh sangat rendah. Kesalahan itu terjadi secara kumulasi dari pemerintahan presiden satu ke presiden yang lain, dari menteri tenaga kerja (menaker) yang satu ke menaker yang lain.

Kesalahan pertama, negara membuat sistem pengupahan yang menghasilkan upah buruh murah. Itu tecermin dari kebijakan melalui perundang-undangan yang dikeluarkan baik oleh presiden maupun oleh menteri tenaga kerja. Penghitungan nilai UMK didasarkan kepada survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dalam permenakertrans terdiri atas ''hanya'' 60 komponen. 

Jika KHL tetap didasarkan kepada 60 komponen itu, disurvei seribu kali pun akan menghasilkan indeks yang tetap minim. KHL pun rendah dan belum merefleksikan kebutuhan hidup layak. Berdasar kajian akademik, diperlukan tidak kurang dari 100 komponen yang masuk KHL agar benar-benar layak. 

Wali kota dan gubernur, rupanya, menyadari hasil survei KHL itu sangat minim. Karena itu, dapat dipahami jika tahun lalu gubernur DKI menambah tidak kurang 30 persen dari KHL, wali kota Surabaya yang menambah 10 persen dari KHL dalam mengusulkan UMK Surabaya, dan gubernur Jatim menambah 20 persen dari usul para bupati/wali kota dalam menetapkan UMK/UMP.

Diskresi para gubernur dan wali kota tersebut tahun ini dicoba dihadang oleh presiden dan Menakertrans. Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja. Menakertrans juga ikut-ikutan menghadang dengan Permenakertrans Nomor 7/2013 tentang Upah Minimum. Dalam dua beleid tersebut ditentukan bahwa upah minimum yang sudah melebihi KHL, gubernur dilarang menetapkan UMP/UMP di atas KHL dan kenaikan itu harus disepakati secara bipartit.

Hadang-menghadang itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan menurunkan wibawa negara. Dari aspek perusahaaan, hal itu juga menyulitkan pengusaha dalam membuat rancangan anggaran, khususnya terkait dengan beban upah buruh.

Hadang-menghadang tidak berhenti di situ. Di Jawa Timur, Gubernur Sukarwo dalam dialognya dengan buruh menyatakan tidak akan menggunakan Inpres 9/2013. Bagaimana mungkin seorang gubernur terang-terangan menolak instruksi presiden? Kalau bukan di Indonesia, itu tidak akan pernah terjadi. Tetapi, itu terjadi karena memang instruksi presiden tersebut bertentangan dengan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Dalam pasal 89 ayat (1) huruf a UU tersebut ditentukan bahwa gubernur menetapkan UMP atau UMK. Artinya, itu bersifat alternatif, bukan kumulatif. Gubernur tidak harus, bahkan tidak perlu, menetapkan UMP jika setipa kabupaten/kota sudah ada UMK-nya. UMK harus lebih tinggi daripada UMP. Itu berarti, jika sudah ada UMK, UMP tidak ada gunanya. Tetapi, dalam inpres, sebelum menetapkan UMK, gubernur harus menetapkan UMP dahulu. Itu menunjukkan pemerintah, terutama Menakertrans, tidak paham hukum perburuhan.

Kesalahan negara yang lain adalah implementasi kebijakan secara umum yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Infrastruktur masih kurang memadai. Berapa banyak perusahaan di Sidoarjo, Pasuruan, dan Malang yang gulung tikar gara-gara rusaknya infrastruktur karena lumpur Lapindo. Semua infrastuktur yang jelek memicu biaya tinggi.

Lamanya bongkar muat barang di pelabuhan juga sangat membebani pengusaha. Kalau di Singapura, bongkar muat diselesaikan dalam hitungan jam, sedangkan di Indonesia bisa lebih dari 12 hari. Itu memakan biaya tidak kurang dari 10 persen dari total biaya produksi. Belum lagi adanya biaya-biaya siluman perusahaan, baik untuk upeti haram oknum maupun biaya perizinan yang seharusnya bebas biaya. 

Akibatnya, upah buruh menjadi tergerus. Ketika negara melakukan kesalahan yang mengakibatkan upah buruh tidak layak, sementara pada sisi lain pengusaha juga termehek-mehek membayar upah jika dinaikkan secara drastis, tanggung jawab ada pada negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar