Kamis, 07 November 2013

Menyikapi Penyadapan



Menyikapi Penyadapan
Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
KOMPAS, 07 November 2013

DER Spiegel dan The Sydney Morning Herald berdasarkan dokumen yang diserahkan Edward Snowden mengungkap sejumlah negara dan petingginya telah menjadi target penyadapan oleh Amerika Serikat dan Australia. Indonesia salah satunya.

Menlu Marty Natalegawa telah bereaksi keras dengan menyampaikan protes ke kedua negara dan menuntut penjelasan. Perwakilan Pemerintah AS dan Australia telah dipanggil ke Kemlu RI, tetapi belum diketahui apa hasil dari pertemuan tersebut.

Sikap Indonesia

Pemerintah tentu tidak dapat bersikap lunak atas penyadapan yang dilakukan kedua negara itu. Penyadapan merupakan pelanggaran serius atas etika hubungan internasional dan norma hukum internasional. Ada dua alasan mengapa pemerintah tak dapat bersikap lunak. Pertama, negara lain, seperti Perancis, Jerman, dan Brasil, sudah menunjukkan sikap yang sangat keras. Di samping memanggil kepala perwakilan AS, kepala pemerintahan negara itu telah menelepon langsung Obama. Mereka menunjukkan ketidaksenangan mereka karena AS selama ini melakukan hubungan yang tidak didasarkan pada kepercayaan.

Bahkan, Jerman dan Brasil telah mengajukan secara resmi draf resolusi atas hak privasi untuk mencegah penyadapan ke PBB.

Saat ini Pemerintah China dan Malaysia sudah melayangkan protes keras dan memanggil kepala perwakilan dari dua negara itu. Apabila Pemerintah Indonesia bersikap business as usual pascaprotes keras Menlu RI, maka terlihat janggal. Bahkan publik akan menganggap aneh. Jika pemerintah tidak bersikap keras dan tegas, kemarahan publik di Indonesia akan beralih dari AS dan Australia menjadi kemarahan terhadap pemerintahan, bahkan, Presiden SBY. Mereka akan mempertanyakan sikap pemerintah yang adem ayem saja.

Kemarahan publik akan semakin menjadi jika respons SBY terkait penyadapan ini tak sebanding dengan responsnya menanggapi isu Bunda Putri. Presiden harus paham publik Indonesia merupakan konstituennya sehingga kemarahan publik harus terwakili dalam menyikapi masalah penyadapan ini kepada AS dan Australia.

Tingkatan

Dalam menyikapi penyadapan, pemerintah tak perlu berkelit bahwa tak ada bukti atau perlu waktu untuk pembuktian sebelum bersikap lebih tegas. Masalah penyadapan sulit dibuktikan. Kepolisian Negara RI, bahkan Badan Intelijen Nasional sekalipun tak mungkin melakukan verifikasi ke kedutaan besar dua negara yang diduga punya instrumen penyadapan. Ini mengingat wilayah kedubes memiliki kekebalan.

Jika pemerintah mengemukakan alasan pembuktian, sementara negara-negara lain tak melakukan proses pembuktian, publik Indonesia justru akan menganggap pemerintah sekadar mengada-ada dan hendak melindungi kedua negara tersebut.

Sikap keras pemerintah tentunya tak perlu langsung ditanggapi dengan memutus hubungan diplomatik dengan kedua negara. Secara diplomatik, pemerintah dapat melakukan sejumlah langkah. Pemerintah dapat melakukan pengusiran (persona nongrata) terhadap sejumlah diplomat AS dan Australia. Pemerintah dapat pula memanggil Dubes RI untuk AS dan Australia. Bahkan jika perlu, pemerintah menunda pengisian posisi Dubes RI untuk AS yang akan segera ditinggalkan oleh Dino Pati Djalal. Pemerintah pun dapat memperkecil kekuatan kedubes di kedua negara.

Ini opsi yang bisa dilakukan pemerintah dalam menyikapi penyadapan yang dilakukan AS dan Australia. Bahkan jika perlu pemerintah turut serta dengan Jerman dan Brasil memperjuangkan resolusi PBB untuk mencegah penyadapan di masa yang akan datang. Satu hal yang pasti, pemerintah perlu berhati-hati ketika berhubungan dengan AS dan Australia. Para pejabat harus memiliki kecurigaan yang tinggi ketika berhadapan dengan pejabat dan diplomat dari kedua negara. Kita harus curiga setiap gerakan yang dilakukan oleh kedua negara karena kemungkinan besar tindakan tersebut didasarkan pada informasi hasil sadapan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar