McKinsey Global Institute memprediksi tahun 2030 ekonomi
Indonesia akan menjadi nomor tujuh dunia bila mampu mengatasi berbagai
tantangan pembangunan. Saat ini (Friedman, 2005), efek globalisasi
mengakibatkan negara-negara miskin dan berkembang berusaha memperbaiki diri
agar tidak diserbu gelombang tenaga kerja dan produk konsumsi dari luar
negeri. Regionalisasi ASEAN salah satu efeknya, dan reformasi birokrasi
sebagai langkah internalnya.
Seperti dikutip Koran Jakarta (Jumat, 15
November 2013), Wakil Menteri PAN & RB, Eko Prasojo, menyatakan perlu
teknologi, inovasi, dan kreativitas serta birokrasi yang efektif. Kultur
birokrasi harus berubah dengan menghadirkan inovasi riset dan teknologi.
Sains, teknologi, dan inovasi (STI) yang dijadikan
sebuah sistem (National Innovation System) menjadi kunci kompetisi.
Indonesia harus mampu berubah dari "negara konsumen" menjadi
produsen barang dan jasa. Selanjutnya, Indonesia haru mampu menguasai pasar
internasional di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Bangsa Indonesia juga harus dapat
memanfaatkan TIK untuk menggandakan produktivitas pertanian dan perbaikan
kualitas produk barang ekspor unggulan. Dengan begitu, kelak, pemanfaatan
TIK bisa menyejahterakan rakyat.
Mendiang Alice Amsden, dalam dua master piece
terakhirnya, yaitu Asia’s Next Giant
(1989) dan The Rise of the Rest
(2001), membuktikan bahwa kebijakan yang sama berhasil diterapkan di Asia
Timur seperti Taiwan dan Korea. Tak hanya milik dunia Barat, dan tak melulu
gagal seperti hipotesis Prebisch-Singer yang mengobservasi Amerika Latin
dalam kaitannya dengan dependensi pada Amerika Serikat dekade yang sama di
saat "ketertinggalan" negara-negara Asia timur. Korea Selatan,
misalnya, membangun perekonomian dengan kluster-kluster teknologi dan
inovasi, science & technology park secara konsisten.
Berasal dari negara yang tergolong miskin di
tahun 1960 dengan GDP per kapita kurang dari 100 dollar AS, ekonomi Korea
secara fantastis berubah menjadi leading
middle-income country hanya dalam rentang satu generasi (20.000
dollarAS tahun 2011). Sukses ini erat kaitannya dengan budaya tradisional,
lingkungan sosiopolitik modern, termasuk kebijakan Korea dalam bidang
penguasan STI sehingga memunculkan negeri ginseng yang hebat. Begitu pun
negara-negara lain sebagai "the rest" dan "next giant"
yang disebut Amsden dalam karyanya.
Indonesia
Di Indonesia, telah ada inisiatif dasar dari
sisi kebijakan untuk memperbaiki ketertinggalan dalam STI. Peran Komite
Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk Presiden pada Mei 2010 lalu memainkan
peran penting dalam arah sistem inovasi nasional yang implementasinya
menjadi tanggung jawab Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset
Nasional serta institusi terkait lainnya.
Saat ini, KIN telah membuat road map untuk
mencapai visi Indonesia sebagai ekonomi berbasis inovasi tahun 2025 dengan
pendorong utamanya teknologi. Restrukturisasi dan perbaikan Pusat
Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong sebagai science & technology park juga
merupakan salah satu jalan menuju kompetisi dalam inovasi.
Penelitian dan pengembangan (litbang) yang
direpresentasikan melalui lembaga-lembaga riset tadi memainkan peranan
penting proses inovasi ini sehingga menghasilkan output berguna bagi bangsa
secara ekonomi.
Di Indonesia, pendanaan pemerintah masih
menjadi andalan litbang. Investasi riset dan pengembangan masih rendah, dan
kalangan bisnis pun lebih berkonsentrasi di sektor manufaktur dengan
karakter industri teknologi rendah. Litbang Indonesia memang masih sangat
kurang.
Proyek-proyek pusat inovasi usaha kecil
menengah (UKM) sebagai perusahaan start-up juga memerlukan lebih banyak
perhatian pemerintah dan dunia usaha. Selain itu, pembentukan triple-helix
unit litbang di universitas perlu didorong agar dapat menjadi kawah
candradimuka yang menghasilkan perusahaan start-up baru.
Komersialisasi hasil riset masih tertinggal
jauh karena tidak paham akan kesadaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI).
Ini membuat banyak pembajakan dan sedikit paten yang didaftarkan. Jaringan
riset dan inovasi internasional antaruniversitas juga sangat kurang.
Padahal "international co-authorship" dan "international
co-patenting" sangat membantu mengatasi tantangan inovasi global.
Kesenjangan infrastruktur, seperti Internet,
antara negara Timur dan Barat terjadi karean geografis. Padahal, penerapan
e-government yang sangat bergantung pada kepemimpinan daerah menghambat
perkembangan STI Indonesia.
Transformasi institusi litbang sebenarnya
sudah dimulai tahun 2002 melalui terbitnya UU No 18 Tahun 2002 tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
serta Teknologi (UU Sisnas Litbang Iptek). Namun, pada praktiknya, masih
banyak kendala seperti sumber daya manusia dan pengorganisasian litbang
nasional hingga daerah. Pendanaan APBN dan APBD menyebabkan konsep litbang
kadang hanya "menghabiskan anggaran" dan membuat laporan
seadanya.
Secara sosiologis, paradigma tradisional di
mana SDM peneliti dianggap PNS biasa mungkin menjadi salah satu penyebab.
Status PNS membuat mereka bekerja hanya sesuai dengan jam kantor sehingga
litbang tak berkembang.
Budaya meneliti kalah dengan "budaya
proyek" karena tujuan utamanya mencari dana. Dibutuhkan penguatan
kelembagaan yang konkret sebagai tindak lanjut UU Sisnas Litbang Iptek
tersebut. Juga diperlukan kultur organisasi yang mendukung budaya
penelitian.
Kuantitas dan kualitas SDM litbang yang
berperan untuk inovasi menjadi salah satu determinan kunci dalam sistem
STI. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN harus mampu membentuk
kultur intelektual. Peningkatan intelektual riset harus lebih banyak dilakukan
secara sistematis dan masif agar terbentuk kultur "budaya
prestasi". Ini antara lain dapat ditempuh dengan beasiswa pendidikan
maupun pelatihan.
"Triple-Helix"
Secara institusional, kerja sama antara
universitas (akademis), industri (bisnis), dan pemerintah yang sering
disebut pendekatan triple-helix (Etzkowitz, 2007) saling bersinergi.
Universitas memerlukan berbagai upaya agar kualitas pendidikan meningkat.
Demikian juga dengan kualitas riset dan pengabdian masyarakat.
Pemerintah juga mendanai triple helix bagi
universitas. Perguruan tinggi, selain meriset murni, menjadi pusat
pengembangan produk, inkubasi UKM berbasis inovasi teknologi dengan
dukungan finansial pemerintah dan industri. Dengan begitu, usaha-usaha
litbang universitas kelak berkembang independen, menjadi start-up
companies, dan menghasilkan produk inovatif berdaya saing serta berdaya
jual tinggi.
Insentif pemerintah berupa dana riset
baru-baru ini kepada lima perguruan tinggi negeri dalam pengembangan mobil
listrik sebagai mobil nasional merupakan salah satu contoh.
Tantangan Indonesia ke depan adalah
meningkatkan kapabilitas litbang dari sisi SDM, investasi, dan
infrastruktur. Ini demi upaya bangsa menggerakkan perekonomian berbasis
inovasi. Tujuan akhirnya tentu demi kesejahteraan rakyat. Kalau bisa, lebih
singkat dari prediksi McKinsey. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar