|
Ingatan kolektif
bangsa Indonsia terhadap Hari Pahlawan 10 November perlu dan penting untuk
disegarkan kembali.
Pertempuran
di Surabaya tanggal 10 November 1945 penting untuk diingat dan direnungkan
kembali serta diambil hikmah dan keteladanannya, terutama keberanian dan
kerelaan berkorban para pahlawan ketika kekuatan asing kembali mengacam
kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia yang diperjuangkan ratusan tahun
lalu dan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Meskipun
bangsa kita sudah merdeka, tantangan kehidupan yang dihadapi generasi sekarang
justru semakin berat.
Sebut
saja masih banyaknya penindasan pengusaha terhadap para buruh, pemanfaatan
hukum dan aparatnya oleh sebagian kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan
pribadi, masih banyaknya pelanggaran hukum, praktik korupsi merajalela, rakyat
kecil yang hidup sengsara dan menderita juga masih banyak dijumpai.
Jika
kita menilik pepatah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya, bangsa Indonesia sekarang ini seolah terkesan sebagai bangsa besar
karena sudah begitu banyak memberikan penghargaan kepada ratusan pahlawan yang
tercatat dalam lembaran sejarah Indonesia.
Permasalahannya,
apakah menghargai jasa-jasa para pahlawan cukup hanya dengan mencatat nama-nama
mereka dan memberi sertifikat atau tanda penghargaan?Jawabannya tentu tidak.
Ataukah
pemerintah sekarang perlu menambah dan menetapkan ratusan atau bahkan ribuan
nama pahlawan baru sehingga bangsa Indonesia terkesan sebagai bangsa yang besar
karena mempunyai pahlawan yang begitu banyak? Jawabannya juga tentu tidak.
Masih
banyak hal yang jauh lebih penting dari sekadar menghargai jasa para pahlawan,
yaitu mewarisi dan meneladani nilai-nilai yang dimiliki para pahlawan, menjaga
dan melestarikan hasil-hasil perjuangannya, serta mengimplementasi-kan
nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan dan aksi nyata sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai
kepahlawanan itu di antaranya adalah, a. berani membela kebenaran dan keadilan;
b. cinta Tanah Air dan bangsanya; c. rela berkorban demi masyarakat, bangsa,
dan negara; serta nilai-nilai positif lainnya yang melekat pada diri para
pahlawan seperti kejujuran, keikhlasan berkorban, keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan, keteguhan dan kegigihan dalam berjuang, serta lain sebagainya.
Dari
beberapa nilai kepahlawanan, misalnya jika nilai kepahlawanan poin “a” dan “c”
itu ditiru, diteladani, dan dilaksanakan oleh para pemimpin dan pengusaha,
tentu rakyat Indonesia akan segera menjadi jauh lebih baik.
Bukankah
kita sangat mengharapkan adanya pemimpin atau penguasa adil dan bijaksana? Jika
para orang kaya rela mengorbankan atau mendermakan hartanya untuk kemaslahatan
umat, para ilmuwan dan cendekia selalu memikirkan berbagai solusi untuk
kehidupan lebih baik, serta fakir-miskin rela terus berdoa, bersabar, dan
bekerja keras membangun masyarakat, bangsa dan negara, niscaya akan membawa
perubahan bagi masyarakat, bangsa dan negara ke arah yang jauh lebih baik.
Realitas
Sayangnya,
dalam kenyataan hidup sehari-hari, masih banyak pemimpin dan pejabat tinggi
negara yang tidak adil, suka menumpuk harta dengan korupsi, berkolusi dengan
pengusaha yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat tiada tara.
Bahkan, penegakan hukum di level tertinggi pun sudah ternoda, lihat saja kasus
AM, mantan ketua MK dewasa ini.
Di
samping itu, dari pemberitaan di media massa banyak diketahui pengusaha
berusaha menyuap para pejabat dan pemimpin demi mendapatkan proyek miliaran dan
bahkan triliunan rupiah. Banyak ilmuwan yang “melacurkan keilmuwanan dirinya”
demi sekadar mendapatkan jabatan, uang, atau materi dan hal-hal lain yang
sebenarnya tidak kekal.
Padahal
pada prinsip dan hakekatnya, nilai-nilai kepahlawanan adalah kekal kalau mereka
benar-benar berkeyakinan bahwa berjuang, berpikir, dan bekerja keras
semata-mata demi mendapatkan ridho Tuhan.
Bahkan,
berbagai media akhir-akhir ini banyak memberitakan adanya pencurian,
perampokan, dan pembunuhan karena faktor kemiskinan dan tekanan hidup era
global yang semakin berat dan keras.
Jadi,
siapakah yang salah dan paling bertanggung jawab terhadap carut-marutnya
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini? Apakah kita perlu
melahirkan kembali pahlawan-pahlawan baru? Apakah kita perlu memberikan
“penghargaan” setinggi-tingginya—dengan memberi gelar Pahlawan Pemberantasan
Korupsi—atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah menunjukkan
kinerja positif dalam mencegah, mengurangi, dan memberantas tindak pidana
korupsi di berbagai bidang, baik di biang politik, ekonomi, maupun hukum yang
begitu menyengsarakan rakyat.
Untuk
mengakhiri pembahasan masalah ini, ada penulis ingin mengajak para pembaca
merenungkan atau mengkritik pepatah di atas dengan pepatah baru, bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang mampu mewariskan aset sangat besar bagi
kesejahteraan dan kemakmuran generasi berikutnya, bukannya malah mewariskan
utang sangat besar yang sangat memberatkan dan menyengsarakan generasi
berikutnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar