Sabtu, 09 November 2013

Memaknai Nilai Kepahlawanan

Memaknai Nilai Kepahlawanan
Amin Rahayu  ;  Sejarawan Lulusan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 08 November 2013


Ingatan kolektif bangsa Indonsia terhadap Hari Pahlawan 10 November perlu dan penting untuk disegarkan kembali.

Pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945 penting untuk diingat dan direnungkan kembali serta diambil hikmah dan keteladanannya, terutama keberanian dan kerelaan berkorban para pahlawan ketika kekuatan asing kembali mengacam kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia yang diperjuangkan ratusan tahun lalu dan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Meskipun bangsa kita sudah merdeka, tantangan kehidupan yang dihadapi generasi sekarang justru semakin berat.

Sebut saja masih banyaknya penindasan pengusaha terhadap para buruh, pemanfaatan hukum dan aparatnya oleh sebagian kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi, masih banyaknya pelanggaran hukum, praktik korupsi merajalela, rakyat kecil yang hidup sengsara dan menderita juga masih banyak dijumpai.

Jika kita menilik pepatah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, bangsa Indonesia sekarang ini seolah terkesan sebagai bangsa besar karena sudah begitu banyak memberikan penghargaan kepada ratusan pahlawan yang tercatat dalam lembaran sejarah Indonesia.
Permasalahannya, apakah menghargai jasa-jasa para pahlawan cukup hanya dengan mencatat nama-nama mereka dan memberi sertifikat atau tanda penghargaan?Jawabannya tentu tidak.

Ataukah pemerintah sekarang perlu menambah dan menetapkan ratusan atau bahkan ribuan nama pahlawan baru sehingga bangsa Indonesia terkesan sebagai bangsa yang besar karena mempunyai pahlawan yang begitu banyak? Jawabannya juga tentu tidak.

Masih banyak hal yang jauh lebih penting dari sekadar menghargai jasa para pahlawan, yaitu mewarisi dan meneladani nilai-nilai yang dimiliki para pahlawan, menjaga dan melestarikan hasil-hasil perjuangannya, serta mengimplementasi-kan nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan dan aksi nyata sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai-nilai kepahlawanan itu di antaranya adalah, a. berani membela kebenaran dan keadilan; b. cinta Tanah Air dan bangsanya; c. rela berkorban demi masyarakat, bangsa, dan negara; serta nilai-nilai positif lainnya yang melekat pada diri para pahlawan seperti kejujuran, keikhlasan berkorban, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, keteguhan dan kegigihan dalam berjuang, serta lain sebagainya.

Dari beberapa nilai kepahlawanan, misalnya jika nilai kepahlawanan poin “a” dan “c” itu ditiru, diteladani, dan dilaksanakan oleh para pemimpin dan pengusaha, tentu rakyat Indonesia akan segera menjadi jauh lebih baik.

Bukankah kita sangat mengharapkan adanya pemimpin atau penguasa adil dan bijaksana? Jika para orang kaya rela mengorbankan atau mendermakan hartanya untuk kemaslahatan umat, para ilmuwan dan cendekia selalu memikirkan berbagai solusi untuk kehidupan lebih baik, serta fakir-miskin rela terus berdoa, bersabar, dan bekerja keras membangun masyarakat, bangsa dan negara, niscaya akan membawa perubahan bagi masyarakat, bangsa dan negara ke arah yang jauh lebih baik.

Realitas

Sayangnya, dalam kenyataan hidup sehari-hari, masih banyak pemimpin dan pejabat tinggi negara yang tidak adil, suka menumpuk harta dengan korupsi, berkolusi dengan pengusaha yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat tiada tara. Bahkan, penegakan hukum di level tertinggi pun sudah ternoda, lihat saja kasus AM, mantan ketua MK dewasa ini.

Di samping itu, dari pemberitaan di media massa banyak diketahui pengusaha berusaha menyuap para pejabat dan pemimpin demi mendapatkan proyek miliaran dan bahkan triliunan rupiah. Banyak ilmuwan yang “melacurkan keilmuwanan dirinya” demi sekadar mendapatkan jabatan, uang, atau materi dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak kekal.

Padahal pada prinsip dan hakekatnya, nilai-nilai kepahlawanan adalah kekal kalau mereka benar-benar berkeyakinan bahwa berjuang, berpikir, dan bekerja keras semata-mata demi mendapatkan ridho Tuhan.
Bahkan, berbagai media akhir-akhir ini banyak memberitakan adanya pencurian, perampokan, dan pembunuhan karena faktor kemiskinan dan tekanan hidup era global yang semakin berat dan keras.

Jadi, siapakah yang salah dan paling bertanggung jawab terhadap carut-marutnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini? Apakah kita perlu melahirkan kembali pahlawan-pahlawan baru? Apakah kita perlu memberikan “penghargaan” setinggi-tingginya—dengan memberi gelar Pahlawan Pemberantasan Korupsi—atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah menunjukkan kinerja positif dalam mencegah, mengurangi, dan memberantas tindak pidana korupsi di berbagai bidang, baik di biang politik, ekonomi, maupun hukum yang begitu menyengsarakan rakyat.

Untuk mengakhiri pembahasan masalah ini, ada penulis ingin mengajak para pembaca merenungkan atau mengkritik pepatah di atas dengan pepatah baru, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewariskan aset sangat besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran generasi berikutnya, bukannya malah mewariskan utang sangat besar yang sangat memberatkan dan menyengsarakan generasi berikutnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar