Sabtu, 09 November 2013

Kesiapan Menyikapi Manipulasi

Kesiapan Menyikapi Manipulasi
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 08 November 2013

MENGAPA masyarakat Indonesia berkembang seperti sekarang? Idealnya, kita berkembang dengan merujuk ke falsafah bangsa ini. Itu yang menyebabkan banyak opini menyesalkan mengapa kita tidak mengindahkan falsafah yang ditetapkan founding fathers, yang disarikan dari budaya masyarakat kita. Mungkin perkembangan zaman dan pengaruh luar berpengaruh besar. Antara lain, tiba-tiba semua menjadi komoditas. Jabatan menjadi komoditas. Wewenang menjadi komoditas. Ikut dengar menjadi komoditas. Ini semua barangkali limpahan dari semangat dagang yang dimungkinkan orientasi bisnis dan pasar.

Gejala itu tampaknya mulai berkembang sejak sekitar seperempat abad yang lalu; dimulai ketika terjadi banjir US dolar ke Indonesia berkat sukses penjualan minyak kita. Waktu itu elite pedagang belum sebesar sekarang dan spiritnya belum merambah ke manamana. Mungkin kesuksesan elite pedagang menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak yang ingin ikut menikmati kesuksesan mereka, walau pun profesinya tidak di sana. Mungkin itu yang membuat kalangan nondagang mulai membuat segalanya menjadi komoditas. Ada pengaburan nilai-nilai. Kekuasaan dan prestise saja tidak lagi cukup. Untuk merasa sukses, perlu atribut tambahan.

Kita menjadi abai terhadap ajaran lama nenek moyang yang lebih mengusung spiritualisme daripada materialisme. Dunia sudah takluk pada materialisme yang secara berangsur menyusup ke segenap masyarakat bangsa-bangsa. Bidang pendidikan, industri, dan pemerintahan telah disusupi. Begitu pula kehidupan keluarga dan antarkolega. Secara terorganisasi, materialisme bergerak maju secara kolosal, menancapkan kekuasaan sekaligus membawa kekacauan terhadap tradisi yang bercokol sejak lama. Sikap dan sifat manusia berubah pelan-pelan. Suatu dilema.

Rekam jejak sejarah

Lembar-lembar budaya menceritakan betapa dahulunya masyarakat kita berlapislapis. Ada perkiraan situasi itu akibat falsafah Hindu yang masuk ke wilayah ini sejak abad dua, berbarengan dengan masuknya kaum pedagang yang mengusung ajaran tersebut; termasuk di dalamnya sistem kasta yang menempatkan kalangan brahmana dan kesatria di atas, disusul kalangan waisya/dagang, kemudian kalangan sudra terdiri dari orang kebanyakan, dan paria terdiri dari kaum miskin. Namun, kalangan cerdik pandai Hindu modern menyanggah bahwa sistem kasta merupakan bagian dari ajaran Hindu.

Dari mana pun asal sistem kasta, kenyataan sosial menunjukkan pelapisan atau pengotakan dalam masyarakat masih ada sampai sekarang. Bahkan masyarakat Jawa yang menganut tradisi lama, misalnya, masih menganggap kalangan `priayi' menempati urutan tinggi, berpadanan dengan lapisan kesatria. Bahwa kemudian bidang dagang/bisnis memiliki daya tarik, perkembangan itu dianggap sebagai gejala modern yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir, bersamaan dengan kemajuan bisnis dan ekonomi serta globalisasi.

Selain itu, asas demokrasi yang menjadi ciri manusia modern di mana-mana secara berangsur kita yakini. Kita memproklamasikan kemerdekaan juga berdasarkan keyakinan tersebut. Namun, merombak sistem pemerintahan raja-raja dan kaum penjajah menjadi sistem republik memerlukan revolusi sikap dan perilaku oleh semua. Bahkan setelah kita menjalankan sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan di tangan rakyat pun kita terus-menerus mengalami cobaan.

Pertanyaannya, apakah penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang merajalela menggambarkan cobaan-cobaan yang harus kita hadapi?

Cobaan menghadapi Pemilu 2014

Pekan lalu, Dr Komaruddin Hidayat meluncurkan buku terbarunya, Life's Journey, terdiri dari rangkaian esai yang mengajak kita berhenti sejenak dan menyelami diri lebih dalam. Intelektual Islam yang mendapat gelar MA dan PhD bidang falsafah dari Middle East Technical University, Ankara, Turki, itu pernah menjadi Rektor UIN sampai 2010.

Berbeda dari bukunya, Psikologi Kematian yang menjadi bestseller nasional dan terutama bersifat spiritual, buku terbarunya banyak mengomentari gejala-gejala sosial-politik yang meminta perhatian dan perenungan kita bersama, terutama menjelang Pemilu 2014. Misalnya ada esai tentang Bangsa yang tidak Serius; yang dipertanyakan apakah tinggal di negara tropis dan subur membuat rakyatnya bersikap tidak serius; tidak seperti sikap masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki empat musim? Dalam esai Masyarakat Gerombolan, penulis mengatakan, “Tanpa pemerintahan yang kuat dan didukung oleh pendidikan dan ekonomi yang bagus serta merata, kohesi keindonesiaan ini sangat rapuh.... Alih-alih komitmen memperkuat etika berbangsa dan bernegara, yang mengemuka adalah gejala munculnya masyarakat gerombolan yang selalu heboh tidak jelas arahnya de ngan dalih kebebasan berekspresi dan berserikat dalam iklim demokrasi dan payung hak azasi manusia....“

Tentang politik menuju Pemilu 2014, ada esai yang terutama memberi fokus pada situasi yang memungkinkan berkembangnya sarana untuk manipulasi pendapat. Di situ dikatakan, bahwa di dunia politik, seperti halnya di dunia bisnis, manipulasi semakin masif dilakukan. Ada yang secara halus, ada yang secara vulgar, dan semuanya memerlukan dana besar. Seperti yang dilakukan di dunia bisnis, tujuannya ialah memengaruhi masyarakat agar membeli atau memilih partai dan tokoh tertentu tanpa pemahaman yang mendalam. Itulah teknologi periklanan sebagai sarana manipulasi; ditiru kalangan politisi untuk mencari dukungan.

Yang sebaiknya menjadi perhatian bersama, manipulasi tidak akan melahirkan loyalitas karena ada bujuk rayu dan penipuan. Dengan berjalannya waktu, orang yang melakukan sesuatu karena pengaruh manipulasi pada akhirnya akan kecewa, bahkan berbalik memusuhi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar