|
MENGAPA
masyarakat Indonesia berkembang seperti sekarang? Idealnya, kita berkembang
dengan merujuk ke falsafah bangsa ini. Itu yang menyebabkan banyak opini
menyesalkan mengapa kita tidak mengindahkan falsafah yang ditetapkan founding
fathers, yang disarikan dari budaya masyarakat kita. Mungkin perkembangan zaman
dan pengaruh luar berpengaruh besar. Antara lain, tiba-tiba semua menjadi
komoditas. Jabatan menjadi komoditas. Wewenang menjadi komoditas. Ikut dengar
menjadi komoditas. Ini semua barangkali limpahan dari semangat dagang yang
dimungkinkan orientasi bisnis dan pasar.
Gejala
itu tampaknya mulai berkembang sejak sekitar seperempat abad yang lalu; dimulai
ketika terjadi banjir US dolar ke Indonesia berkat sukses penjualan minyak
kita. Waktu itu elite pedagang belum sebesar sekarang dan spiritnya belum
merambah ke manamana. Mungkin kesuksesan elite pedagang menimbulkan kecemburuan
sosial. Banyak yang ingin ikut menikmati kesuksesan mereka, walau pun
profesinya tidak di sana. Mungkin itu yang membuat kalangan nondagang mulai
membuat segalanya menjadi komoditas. Ada pengaburan nilai-nilai. Kekuasaan dan
prestise saja tidak lagi cukup. Untuk merasa sukses, perlu atribut tambahan.
Kita
menjadi abai terhadap ajaran lama nenek moyang yang lebih mengusung
spiritualisme daripada materialisme. Dunia sudah takluk pada materialisme yang
secara berangsur menyusup ke segenap masyarakat bangsa-bangsa. Bidang
pendidikan, industri, dan pemerintahan telah disusupi. Begitu pula kehidupan
keluarga dan antarkolega. Secara terorganisasi, materialisme bergerak maju
secara kolosal, menancapkan kekuasaan sekaligus membawa kekacauan terhadap
tradisi yang bercokol sejak lama. Sikap dan sifat manusia berubah pelan-pelan. Suatu
dilema.
Rekam jejak sejarah
Lembar-lembar
budaya menceritakan betapa dahulunya masyarakat kita berlapislapis. Ada perkiraan
situasi itu akibat falsafah Hindu yang masuk ke wilayah ini sejak abad dua,
berbarengan dengan masuknya kaum pedagang yang mengusung ajaran tersebut;
termasuk di dalamnya sistem kasta yang menempatkan kalangan brahmana dan
kesatria di atas, disusul kalangan waisya/dagang, kemudian kalangan sudra
terdiri dari orang kebanyakan, dan paria terdiri dari kaum miskin. Namun,
kalangan cerdik pandai Hindu modern menyanggah bahwa sistem kasta merupakan
bagian dari ajaran Hindu.
Dari
mana pun asal sistem kasta, kenyataan sosial menunjukkan pelapisan atau
pengotakan dalam masyarakat masih ada sampai sekarang. Bahkan masyarakat Jawa
yang menganut tradisi lama, misalnya, masih menganggap kalangan `priayi'
menempati urutan tinggi, berpadanan dengan lapisan kesatria. Bahwa kemudian
bidang dagang/bisnis memiliki daya tarik, perkembangan itu dianggap sebagai
gejala modern yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir, bersamaan dengan
kemajuan bisnis dan ekonomi serta globalisasi.
Selain
itu, asas demokrasi yang menjadi ciri manusia modern di mana-mana secara
berangsur kita yakini. Kita memproklamasikan kemerdekaan juga berdasarkan keyakinan
tersebut. Namun, merombak sistem pemerintahan raja-raja dan kaum penjajah
menjadi sistem republik memerlukan revolusi sikap dan perilaku oleh semua.
Bahkan setelah kita menjalankan sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan di
tangan rakyat pun kita terus-menerus mengalami cobaan.
Pertanyaannya,
apakah penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang merajalela menggambarkan
cobaan-cobaan yang harus kita hadapi?
Cobaan menghadapi Pemilu 2014
Pekan
lalu, Dr Komaruddin Hidayat meluncurkan buku terbarunya, Life's Journey, terdiri dari rangkaian esai yang mengajak kita
berhenti sejenak dan menyelami diri lebih dalam. Intelektual Islam yang
mendapat gelar MA dan PhD bidang falsafah dari Middle East Technical University, Ankara, Turki, itu pernah menjadi
Rektor UIN sampai 2010.
Berbeda
dari bukunya, Psikologi Kematian yang menjadi bestseller nasional dan terutama bersifat spiritual, buku
terbarunya banyak mengomentari gejala-gejala sosial-politik yang meminta
perhatian dan perenungan kita bersama, terutama menjelang Pemilu 2014. Misalnya
ada esai tentang Bangsa yang tidak Serius; yang dipertanyakan apakah tinggal di
negara tropis dan subur membuat rakyatnya bersikap tidak serius; tidak seperti
sikap masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki empat musim? Dalam esai
Masyarakat Gerombolan, penulis mengatakan, “Tanpa
pemerintahan yang kuat dan didukung oleh pendidikan dan ekonomi yang bagus
serta merata, kohesi keindonesiaan ini sangat rapuh.... Alih-alih komitmen
memperkuat etika berbangsa dan bernegara, yang mengemuka adalah gejala
munculnya masyarakat gerombolan yang selalu heboh tidak jelas arahnya de ngan
dalih kebebasan berekspresi dan berserikat dalam iklim demokrasi dan payung hak
azasi manusia....“
Tentang
politik menuju Pemilu 2014, ada esai yang terutama memberi fokus pada situasi
yang memungkinkan berkembangnya sarana untuk manipulasi pendapat. Di situ
dikatakan, bahwa di dunia politik, seperti halnya di dunia bisnis, manipulasi
semakin masif dilakukan. Ada yang secara halus, ada yang secara vulgar, dan
semuanya memerlukan dana besar. Seperti yang dilakukan di dunia bisnis,
tujuannya ialah memengaruhi masyarakat agar membeli atau memilih partai dan
tokoh tertentu tanpa pemahaman yang mendalam. Itulah teknologi periklanan
sebagai sarana manipulasi; ditiru kalangan politisi untuk mencari dukungan.
Yang
sebaiknya menjadi perhatian bersama, manipulasi tidak akan melahirkan loyalitas
karena ada bujuk rayu dan penipuan. Dengan berjalannya waktu, orang yang
melakukan sesuatu karena pengaruh manipulasi pada akhirnya akan kecewa, bahkan
berbalik memusuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar