|
BEBERAPA minggu ini buku nikah raib.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono menjawab, itu karena
lonjakan jumlah calon pengantin. Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan hal
itu terkait distribusi.
Jelas itu jawaban asal bunyi. Kelangkaan buku nikah bukan isu
baru di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag), tetapi hal tersebut bukan
berarti tak menyimpan gunung masalah.
Dari keterangan para pejabat teras Kemenag di media, problem
ini berpangkal dari keterlambatan persetujuan anggaran yang berbuntut pada
keterlambatan tender untuk cetak dan pengiriman. Sampai titik ini, Kemenag bisa
angkat bahu bahwa muasal masalah ada di lembaga lain, dalam hal ini DPR yang
baru menyetujui anggaran pada Juli.
Di lingkungan aparat pemerintah dikenal satu istilah hambatan
persetujuan anggaran akibat sandera ”gugur bintang”. Ini mengacu pada situasi
rancangan anggaran kena tanda bintang, yang berarti ada hal-hal yang
dipertanyakan dan harus diperbaiki. Pemberian tanda bintang pada mata anggaran
yang bermasalah sebetulnya menunjukkan kehendak pemerintah mewujudkan
pemerintahan bersih.
Namun, proses menggugurkan bintang-bintang itu adalah hal
lain yang di dalamnya tertinggal potensi KKN. Becermin dari korupsi pencetakan
Al Quran, kita bisa menelusuri jejak kongkalikong antara eksekutif (Kemenag)
dan legislatif (oknum Golkar) yang ternyata jadi rekanan pencetakan Al Quran.
Tidakkah dengan mudah orang akan menggunakan logika sama untuk tender
percetakan surat nikah dan distribusinya yang menyebabkan semua jadi terlambat?
Apa pun, yang jelas masalah ini bukan soal kecerobohan
administrasi biasa, tetapi gambaran amburadulnya administrasi negara dalam
pemenuhan hak warga. Dalam hal ini patut dicurigai adanya perang ”gugur
bintang”. Kehebohan akibat penelantaran rakyat untuk dapat akta nikah digunakan
sebagai senjata penekan agar anggaran tak (lagi) ditelisik dan segera
disetujui. Di pihak lain, itu jadi alat penekan, yaitu bintang tak begitu saja
bisa digugurkan tanpa imbalan. Perang gugur bintang telah menyandera
kepentingan rakyat.
Dampak
Kelangkaan buku nikah memang bukan hal baru. Ini bisa dilihat
dari data statistik permintaan isbat nikah di peradilan agama. Isbat nikah,
dalam KHI, diatur bukan hanya karena perkawinan berlangsung di bawah tahun
1974—setelah UU Perkawinan ditetapkan—tapi karena surat nikah raib. Dampak
langsung dari ketiadaan surat nikah: perkawinan jadi tak memiliki legalitas
hukum (KHI Pasal 7) dan anak yang dilahirkan bisa dianggap tak punya hubungan
perdata dengan ayah biologisnya. Data Susenas 2010, anak tanpa akta kelahiran
di Indonesia mencapai 35 persen. Bahkan, menurut survei PEKKA, di daerah
kepulauan seperti Adonara di Nusa Tenggara Timur, 67 persen masyarakat tak
punya salah satu dari tiga dokumen terkait dengan legalitas hukum: akta nikah,
akta kelahiran, dan akta cerai.
Bappenas dan MA bersama jajaran perangkat hukum lain
mengatasi problem ini dengan menyelenggarakan sidang keliling untuk penetapan
anak sebagai hasil perkawinan agar kantor catatan sipil bisa mengeluarkan akta
kelahiran. Keluarnya Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun secara
Kolektif mempermudah masyarakat mendapat akta kelahiran. Berdasarkan SEMA,
orangtua tak perlu lagi mendapatkan penetapan perkawinan melalui sidang
keliling atau isbat nikah, cukup syarat-syarat yang bisa membuktikan anak lahir
dari pasangan yang mengajukan permohonan akta kelahiran.
Hasil survei PEKKA di beberapa daerah menunjukkan, banyak
pasangan tak memiliki surat nikah bukan lantaran nikah gelap, melainkan karena
negara absen.
Pada masa konflik di Aceh, misalnya, perkawinan dilakukan
tanpa dihadiri petugas KUA. Tak sedikit pasangan yang membayar buku nikah,
tetapi buku tak kunjung datang. Atau petugas KUA meminta pasangan menjemput
buku di kantor KUA dan di sana mereka tak terhindar dari pemalakan atas nama
pemberian gaji bagi karyawan honorer. Di tingkat kebijakan, Kemenag meminta KUA
menyerahkan buku nikah. Namun, di daerah, praktik itu tak biasa. Pasangan tetap
harus menjemputnya dan tentu tak hanya perlu ongkos, tetapi juga uang sogok.
Ini keterlaluan jika mengingat Kemenag merupakan departemen yang anggarannya
paling gemuk, meningkat dari Rp 14,9 triliun pada 2008 menjadi Rp 45,4 triliun
pada 2013.
Bersama Dirjen Badan Peradilan Agama, beberapa kali saya pernah
mengikuti sidang keliling yang diselenggarakan pemerintah kecamatan, kantor
catatan sipil, pengadilan negeri, dan LSM PEKKA sebelum keluar SEMA No 6/2012.
Program Justice for the Poor Bappenas itu sungguh membantu rakyat
miskin mendapatkan kepastian hukum. Anak bisa masuk SD tanpa hambatan karena
tak punya akta. Mereka bisa membuat paspor untuk bekerja di luar negeri dan
seterusnya, dan yang lebih penting eksistensi mereka diakui negara.
Kelangkaan surat nikah bukan soal administrasi biasa.
Telunjuk tak hanya diacungkan ke Kemenag, tetapi juga lembaga lain. Kelangkaan
buku nikah ini memberi catatan bahwa upaya clean governance tanpa perspektif keberpihakan kepada rakyat
miskin hanya membuat rakyat, terutama rakyat miskin, tersandera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar