Rabu, 06 November 2013

Hijrah dan Nasib Keadaban Kita

Hijrah dan Nasib Keadaban Kita
Muh Arief Rosyid Hasan  Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
KORAN SINDO, 05 November 2013


Michael Hart, seorang ilmuwan Amerika Serikat, pernah mencengangkan publik dunia ketika ia menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama dalam bukunya, The 100; a Ranking of the Most Influential Persons in History. 

Menurut Hart, alasan penilaian dan pilihan itu antara lain didasarkan kepada dampak luar biasa karena kehadiran Nabi dan ajaran Islam di jazirah Arab yang mampu mengubah wajah kemanusiaan hingga saat ini. Nabi bukanlah seorang beruntung yang lahir di pusat peradaban manusia yang berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa, melainkan di wilayah yang terbelakang— tandus, tak beradab (jahiliah), dan tertinggal dari pusat peradaban lain di dunia. 

L Stoddard dalam bukunya, The Rising Tide of Colours, mengatakan bahwa Nabi seolah telah mengubah padang pasir Timur Tengah menjadi mesiu yang dia sulut dari Madinah dan meledakkan seluruh Timur Tengah. Tidak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah, ia mengubah jazirah Arab yang terbelakang menjadi bangsa beradab dan mampu menaklukkan Persia dan Romawi timur, serta membentuk salah satu imperium terbesar sepanjang sejarah peradaban. 

Momentum terbesar dalam perjuangan Nabi adalah peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah merupakan titik balik bagi perjuangan kenabian. Ketika di Mekkah, Nabi mendapat banyak cemooh dan sedikit pengikut, namun setelah pindah ke Madinah, beliau mendapatkan dukungan luas sekaligus kesempatan untuk mewujudkan pesan kenabian. Dari sudut pandang ini, tepat tindakan Khalifah Umar bin Khattab untuk memilih peristiwa hijrah Nabi sebagai titik permulaan penghitungan kalender Islam (Hijriah), bukan memilih peristiwa kelahiran Nabi. 

Tindakan Umar ini perubahan besar karena penghargaan dalam masyarakat jahiliah selalu berdasarkan keturunan, sedangkan penghargaan dalam masyarakat Islam berdasarkan prestasi kerja. Ini menirukan jargon yang sering muncul dalam masyarakat bahwa salah satu inti makna hijrah ialah semangat mendahulukan penghargaan kepada seseorang karena kemampuannya, bukan karena pertimbangan relasi yang sekadar memberi gengsi dan prestise seperti keturunan, kedaerahan, kebangsaan, bahasa, dan sebagainya. 

Fazlur Rahman, guru tokoh cendekiawan muslim Indonesia, yang semasa hidupnya mengabdikan diri sebagai guru besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago, AS, menyebut peristiwa hijrah bukan sekadar tanda dari dimulai kalender Islam, melainkan lebih dari itu. Hijrah merupakan titik mula sekali terbentuknya masyarakat Islam. Perjuangan Nabi di Mekkah merupakan periode penanaman keimanan kepada Allah SWT, selain penanaman kesadaran dan moral para sahabat yang sifatnya individual. 

Sementara penataan masyarakat Islam dengan akhlaknya yang mulia dan agung baru dilakukan setelah hijrah ke Yatsrib. Karena itu, Nabi mengganti nama Yatsrib menjadi Madinatun-Nabi. Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa Madinah berarti ”kota par excellence”, tempat madaniah atau tamadun, peradaban. Di Madinah ini Nabi menegakkan pola kehidupan menetap yang berbudaya dan berperadaban sebagai lawan dari badawah, pola kehidupan nomad yang kasar. 

Nabi di tempat barunya Madinah ini kemudian membangun sebuah masyarakat berperadaban (civic society), sebuah polis atau city-state yang kelak menjadi contoh bagi masyarakat politik yang dibangun umat Islam. Inilah rahmat yang dibawa beliau untuk seluruh umat manusia, melalui pelaksanaan tugas menyampaikan risalah suci dari Allah SWT. 

Setelah mempersatukan kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah) dan kaum Anshar (para menolong), yang dilakukan Nabi setelah hijrah adalah dibuat berbagai kesepakatan antara penduduk muslim dan selain muslim (Yahudi) Madinah yang disebut sebagai Piagam Madinah. Di antara isi Piagam Madinah yang penting misalnya: jaminan kebebasan beragama, larangan saling mengganggu satu sama lain, saling membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, dan kewajiban membela Madinah jika ada serangan dari bangsa lain. 

Menurut Syafi’i Maa’rif, apa yang dituangkan dalam Piagam Madinah adalah penjabaran prinsip-prinsip kemasyarakatan yang diajarkan Alquran meski wahyu itu belum lagi rampung diturunkan. Dengan kata lain, Piagam Madinah adalah satu bentuk pembumian ajaran Alquran dengan tujuan ideal tercapainya tatanan sosial politik yang ditegakkan atas landasan keimanan, tapi dengan menjamin hak kebebasan setiap golongan untuk mengembangkan budaya yang mereka pilih sesuai keyakinannya. 

Dalam perspektif ini, tatanan masyarakat Islam yang terbuka terhadap keberagaman telah dirumuskan Nabi sejak awal abad ke-7 M. Prinsip-prinsip ini dapat dikembangkan kembali oleh masyarakat kita bagi kepentingan rekonstruksi sosial yang berkeadaban. Peristiwa hijrah Nabi ke Madinah membawa pesan pembentukan tatanan masyarakat Islam yang berkeadaban, terutama jika dilihat dari isi Piagam Madinah. 

Ini menunjukkan, ajaran Islam telah meletakkan dasar-dasar etika pergaulan antarumat beragama, bahumembahu, saling membantu, dan bekerja sama saat menghadapi tantangan bersama. Peristiwa hijrah tentu dapat menjadi inspirasi yang tak kunjung kering bagi kita untuk menghadapi segala permasalahan kemasyarakatan hari ini. Menjadi tugas kesejarahan umat Islam untuk selalu membaca ulang pesan kenabian, merumuskannya kembali dalam ungkapan kekinian dan membumikannya agar Islam selalu hidup, menjadi cahaya bagi peradaban, serta menjadi rahmat bagi semesta alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar