Kamis, 07 November 2013

Formulasi Kebutuhan Hidup Layak



Formulasi Kebutuhan Hidup Layak
Fahrul Riza  ;   Universitas Bunda Mulia
KOMPAS, 07 November 2013

MERUJUK data Apindo, rata-rata upah minimum di Asia Timur pada 2013 mencapai 70-270 dollar AS. Upah terendah adalah Vietnam di kisaran 70 dollar AS. Thailand terendah kedua dengan 200 dollar AS. Indonesia menjadi negara dengan upah yang tinggi, hampir mencapai 250 dollar AS.

Walau memiliki upah lebih tinggi, buruh masih tidak puas dengan besaran upah minimum provinsi (UMP) tersebut karena dirasa belum memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Menakertrans diinstruksikan merumuskan dan menetapkan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional, antara lain berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) serta produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja/buruh lajang untuk hidup layak, baik secara fisik maupun nonfisik dan sosial, untuk kebutuhan satu bulan. Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil kegiatan (output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk mewujudkan hasil tersebut (input) (Dornbusch, 2004 p.61).

Salah satu input adalah biaya tenaga kerja yang menjadi upah pekerja. Produktivitas tenaga kerja adalah salah satu ukuran perusahaan dalam mencapai tujuannya. Peningkatan produktivitas kerja hanya mungkin dilakukan manusia

Tarikan kepentingan

Perusahaan dalam hal ini berkepentingan untuk menghasilkan laba dan memberikan keuntungan kepada pemegang sahamnya. Pada sisi yang berseberangan, buruh berkepentingan memperoleh imbalan yang cukup guna memenuhi KHL diri dan keluarganya. Sementara pemerintah berkepentingan melindungi keduanya dengan tetap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai yang ditargetkan.

Harus dipahami bahwa upah yang kurang dari standar kebutuhan hidup layak dapat menurunkan produktivitas buruh. Sebab mereka masih harus kerja ekstra untuk mencari tambahan pendapatan guna menutupi kekurangan pendapatannya. Demikian juga produktivitas yang rendah juga menjadi daya tolak bagi pengusaha untuk menginvestasikan kembali dananya untuk pengembangan perusahaan.
Bagaimanapun perbedaan kepentingan ini harus dapat diakomodasi sehingga kebutuhan ketiga pihak ini perlu dicarikan jalan tengahnya.

Produktivitas-gaya hidup

Produktivitas buruh harus dilibatkan sebagai salah satu basis penghitungan upah minimum di luar komponen kebutuhan hidup layak. Langkah memasukkan komponen tersebut dalam penghitungan upah minimum merupakan langkah perbaikan yang akan memberikan rasa adil kepada buruh dan pengusaha. Komponen produktivitas akan menjadi faktor penimbang pertama yang tegas untuk menentukan mana yang menjadi hak dan kewajiban dari para pekerja dan pengusaha.

Penentuan tingkat upah minimum menjadi makin rumit karena adanya inflasi. Secara praktik perusahaan telah menyesuaikan tingkat upah dengan produktivitas. Namun, terjadinya inflasi mengakibatkan kenaikan tersebut menjadi kecil, atau bahkan minus, bila ternyata inflasi yang terjadi melebihi kenaikan upah. Akhirnya upah yang diterima mengalami penurunan daya beli dari waktu ke waktu meskipun secara nominal upah yang diterimakan mengalami kenaikan

Oleh karena itu, inflasi juga harus diperhitungkan dalam penentuan upah minimum sesuai KHL, dan menjadi faktor penimbang kedua. Tuntutan buruh terhadap kenaikan upah minimum guna menyesuaikan dengan kebutuhan yang semakin naik diakibatkan oleh inflasi tersebut kiranya perlu dipertimbangkan.

Mudahnya mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga keuangan untuk pembelian perangkat elektronik, kendaraan bermotor, rumah, dan produk-produk papan lainnya diduga menjadi salah satu penyebab membengkaknya pengeluaran seseorang akibat harus membayar cicilan kredit di luar kemampuan wajar. Kebijakan pemerintah untuk meregulasi kembali syarat penyaluran kredit dari lembaga keuangan untuk tujuan konsumtif merupakan langkah yang tepat guna meminimalisasi terjadinya arus kas yang besar pasak daripada tiang.

Secara teori, kenaikan upah bagi tenaga kerja berpendapatan menengah ke bawah akan memicu kenaikan permintaan terhadap produk sekunder yang bersifat cenderung mewah. Oleh karena itu, yang menjadi faktor penimbang ketiga adalah besaran tuntutan KHL dari para buruh juga sudah harus disterilkan dari pengeluaran untuk produk-produk yang bersifat konsumtif ini.

Faktor penimbang keempat adalah kebiasaan gaya hidup untuk mengonsumsi pangan yang bersifat tidak perlu, seperti rokok. Data yang dilansir BPS menyebutkan, rokok menjadi salah satu komponen pengeluaran rumah tangga harian paling tinggi setelah beras.

Data statistik menunjukkan, alokasi pengeluaran rumah tangga yang batas miskinnya dipatok pada angka Rp 271.626 per kapita per bulan (Maret 2013) 8,82 persen (pada masyarakat perkotaan) dan 7,48 persen (pada masyarakat pedesaan) merupakan pengeluaran untuk rokok. Dengan adanya pengeluaran untuk rokok tersebut, dapat dipastikan kesejahteraan seseorang akan lebih rendah dibandingkan orang yang tak merokok pada tingkat pengeluaran yang sama.

Jalan damai

Keempat faktor penimbang tersebut kiranya perlu diperhitungkan dalam mencari jalan damai penghitungan tingkat KHL yang akan memberikan win-win solution kepada tiga pihak, yakni pemerintah, pengusaha, dan buruh.

Akhirnya, dalam kaitan ini, pemerintah harus mampu mengendalikan inflasi, para pengusaha harus terbuka dalam menilai produktivitas karyawan, dan para buruh juga harus memahami apa yang dimaksud dengan tingkat kebutuhan hidup layak. Kapan saat yang tepat untuk meminta kenaikan? Apakah tepat jika dilakukan saat ini, pada saat perekonomian sedang babak belur?

Kalaupun upah dinaikkan sesuai tuntutan yang belum dinetralisasi dari faktor-faktor di atas, mekanisme ekonomi secara otomatis akan melakukan pengurangan jumlah tenaga. Kalaupun tetap dipaksakan, akhirnya perusahaan akan mengalami kerugian dan bangkrut, lalu terjadi PHK, buruh pun akan merasakan akibatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar