Senin, 11 November 2013

Birokrasi Mental “Ndoro”

Birokrasi Mental “Ndoro”
Benny Susetyo  ;   Permerhati Masalah Sosial
KORAN JAKARTA, 11 November 2013


Survei bertajuk "Easy Doing Business 2014" yang dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) melaporkan bahwa dalam aspek kemudahan bisnis, peringkat Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga (ASEAN). 

Indonesia bahkan berada di peringkat 120 dari 189 negara yang disurvei. Singapura ada di posisi pertama dalam hal kemudahan berbisnis, Malaysia di posisi ke-6, dan Thailand di peringkat 18. 

Dengan Filipina pun Indonesia masih kalah. Menurut IFC, untuk memulai bisnis, rata-rata pengusaha di Indonesia membutuhkan waktu 48 hari, Malaysia 6 hari, dan Singapura dua jam saja. Ada banyak faktor yang menyebabkan begitu lambatnya birokrasi di sebuah negara dalam mendorong percepatan usaha. Di negeri ini, birokrasi tidak sigap, bertele-tele, dan bermental "ndhoro" menyebabkan rumitnya seseorang memulai usaha. Mental birokrat "ndhoro" menunjukkan mereka hanya ingin dilayani, bukan melayani masyarakat. 

Karena ingin dilayani maka budaya suap dalam proses merintis sebuah usaha pun tak dapat dielakkan. Harga pelayanan publik pun tidak sama. Mereka yang berani memberi upeti kepada "ndoro" akan dilayani cepat. Sebaliknya, mereka yang menggunakan jalur dan prosedur normal, pelayanannya justru menyedihkan. 

Itulah profil dan mental birokrasi nasional. Diakui atau tidak, ini merupakan tantangan tidak ringan dalam membangun kemajuan ekonomi bangsa. Birokrasi yang seharusnya menjadi faktor pendorong, justru malah menghambat. Birokrasi bahkan dianggap sebagai momok menakutkan.

 

Birokrasi tidak perlu bersusahpayah menjadi pendorong kesejahteraan ekonomi rakyat. Bila mereka tidak merecoki urusan rakyat sudah bagus dan kemajuan ekonomi masyarakat akan tumbuh pesat. Kelakar itu menunjukkan birokrasi lebih berperan "menghambat" daripada mendorong. Mentalitas "ndhoro" masih melekat dan menjadi orientasi dalam birokrasi. 

Seorang "ndhoro" ingin menjad tuan: dilayani, dihormati layaknya juragan besar. Birokrasi belum bisa berperan profesional, apalagi mengabdi pada kepentingan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, budaya birokrasi selalu menunda- nunda pekerjaan dan mempersulit perizinan agar mendapat upeti. 

Kultur ini terus berjalan tanpa ada perubahan karena bangsa kering visi dalam kepemimpinan. Pejabat dan politisinya seolah melanggengkan budaya yang menguntungkan secara pribadi. Meski birokrasi dan pelayanan publik berusaha bekerja menurut prinsip-prinsip keadilan, kenyataannya korupsi dan malapraktik yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetap saja terjadi. Meski manajemen publik tidak selalu berorientasi profit, nyatanya keuntunganlah yang dikejar. 

Sebab organisasi publik tidak berkompetisi dengan lainnya dalam melayani sehingga menjadi monopolistik dan kerap bertindak semaunya. Realitas selama ini birokrat terlalu menjaga jarak (social distance) dengan masyarakat dan menyebabkan ketidakberdayaan warga. Padahal, untuk menuju good governance, pemerintah melalui unit-unitnya harus mampu menjamin keterbukaan (transparancy), pertanggungjawaban publik (public accountability), dan pengawasan pelayanan. 

Pelayanan pemerintah yang buruk bukan rahasia lagi. Korupsi di tingkat paling rendah sampai tinggi bahkan telah dianggap sebagai tradisi wajar yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap negara, apa pun bentuk pemerintahannya, harus ada pelayanan publik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelayanan birokrat Indonesia sangat rumit, prosedural, berbelit-belit, boros, tidak efisien, serta menyebalkan karena adanya struktur dan fungsi birokrasi yang overlapping. 

Thoha (2002) menguraikan harus ada perubahan sistem politik bila menginginkan restrukturisasi dan reposisi birokrasi yang bertanggung jawab. Selanjutnya harus diikuti perubahan pola pikir (mindset) pemimpin politik yang banyak mewarisi sikap dan perilaku Orde Baru sebagai "ndhoro." Sekarang birokrasi kehilangan fungsinya sebagai sebagai alat katalisator yang netral, lepas dari partai politik. Kemandirian birokrasi yang amat penting dalam menjalankan roda pemerintahan demokratis dilalaikan hanya untuk kepentingan sesaat demi kekuasaan yang dicapai secara tidak jujur. 

Tujuan kekuasaan birokrasi mengalahkan kepentingan publik. Inilah yang oleh para pakar disebut sebagai politisasi birokrasi yang banyak terjadi masa Orde Baru. 

Namun, ternyata politisasi juga masih berjalan hingga kini yang diklaim sebagai era demokrasi. Birokrasi dipelintir untuk kepentingan orang per orang dan demi tentu saja demi uang dan kekuasaan. Birokrasi telah kehilangan mata hati untuk melindungi kaum lemah karena hanya membela penguasa dan yang berduit! Itulah cermin birokrasi Indonesia yang lebih banyak dikuasai kepentingan politik untuk mempertahankan status quo. 

Akibatnya, birokrasi tidak memihak rakyat dan hasil-hasil pengolahan kekayaan negara tidak sampai ke masyarakat miskin, melainkan demi kepentingan politik bersangkutan. Tak disadari bahwa cara berpikir ini merupakan kultur penjajahan Orde Baru yang begitu dominan dalam mengatur sebuah sistem pemerintahan. 

Siapa pun pemenangnya kelak mereka akan mewarisi pola-pola berpikir VOC yang mengeksploitasi kekayaan alam, intelektual, dan rakyat sebagai subordinasi bagi kekuasaan. Selama sistem ini berjalan, korupsi, kolusi, dan manipulasi akan terus tumbuh secara pesat dalam birokrasi pemerintahan. Untuk menghentikan cara berpikir demikian sudah saatnya birokrasi dipisahkan dari kepentingan kekuasaan semata-mata. 

Dibutuhkan visi baru mengenai birokrasi sebagai penggerak roda pemerintahan yang bisa diaudit publik. Keaktifan publik sangat diharapkan untuk mengawasi dan mengontrol danadana birokrasi secara profesional agar tidak diselewengkan untuk kepentingan mobilisasi massa. Ini hanya akan terjadi bila publik diberi akses informasi seluasluasnya memperoleh data akurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar