Senin, 13 Agustus 2012

Transformasi Ritus Mudik

Transformasi Ritus Mudik
Munawir Aziz ; Mahasiswa Center For Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
SUARA MERDEKA,  13 Agustus 2012


DI negeri ini, mudik menjadi perayaan agung untuk mengenal kembali citra diri yang sebenarnya. Ritual mudik tidak sekadar pulang ke rumah asal, kampung halaman, atau kenangan masa kecil. Mudik menjadi orkestrasi kultural warga negeri ini, untuk menikmati diri menjadi manusia sebenarnya, yang tanpa topeng kebohongan. Tradisi mudik memungkinkan manusia mengenal kembali esensi kehidupan yang sebelumnya terpenggal oleh egoisme, keserakahan, dan hasrat kuasa.

Tradisi mudik merupakan fenomena kultural yang menjadi ciri khas bangsa ini. Warna kebudayaan yang kental dalam tradisi mudik, merupakan simpul rasa kemanusiaan bangsa Indonesia. Di puncak rutinitas pekerjaan, tanggung jawab dan lingkaran kuasa yang dimiliki, manusia merindukan ’’oasis’’ untuk merenungi kembali hakikat kehidupan. Tradisi mudik menjadi gerbang untuk menjenguk kembali kesegaran toleransi, fitrah kemanusiaan, dan ungkapan-ungkapan nurani yang sebelumnya tercemar oleh kedengkian dan kelicikan persaingan hidup.

Di selasar mudik dan arus balik, manusia akan tergerak untuk merayakan kemenangan personal. Walaupun biaya yang diperoleh untuk melakukan mudik, tersusun dari remah-remah keringat dan endapan hasil pekerjaan yang melelahkan, hal ini tetap saja dilakukan dengan suka cita. Pulang ke kampung halaman bukan sekadar menjenguk masa lalu, yang sudah terpendam dalam ingatan kehidupan melainkan lebih didasarkan untuk menumpahkan rasa kemenangan, keinginan untuk survive dan mencari solusi kegelisahan nurani yang tak didapatkan di perantauan.

Walaupun tertindas di perantauan, menjalani hidup dengan napas tersengal, dan bekerja dengan kemerdekaan yang kering. Akan tetapi, mudik menjadi tradisi untuk merayakan kemenangan personal di tengah kekalahan struktural. Kekalahan struktural di perantauan akan digulirkan menjadi kemenangan personal di kampung halaman.

Kalau dihitung secara matematis dalam sektor ekonomi, tentu biaya yang dikeluarkan tak terhitung. Untuk sekadar pulang kampung, menjenguk orang tua, dan keluarga besar, biaya yang dikeluarkan tentu tak sebanding. Tetapi nikmat dan kesegaran rohani ketika dapat bercengkerama dengan keluarga tak dapat dinilai dengan materi. Kedamaian inilah yang dapat mengobati dahaga nurani dan kegelisahan hidup di perantauan.

Mudik menghadirkan berbagai ekspresi kebudayaan yang tergali dari kesadaran manusia untuk mengenal sesamanya. Dalam tradisi mudik, usaha untuk melintasi sekat geografis dan kebudayaan merupakan energi kreatif yang berorientasi pada nilai-nilai kearifan.

Oasis Budaya

Menurut Abdul Munir Mulkhan (2003), tradisi mudik mencerminkan kemampuan manusia melintasi berbagai sistem budaya namun tetap memelihara budayanya sendiri. Orang Jawa tak kehilangan kearifan Jawa-nya, walaupun hidup dalam cengkeraman tradisi lain, ataupun batas geografi lintas benua.

Atau, dalam tradisi warga Minangkabau, mudik menjadi agenda penting untuk membuktikan diri sebagai generasi yang sukses dan dapat diandalkan oleh keluarga. Lelaki Minang, menggenggam tradisi mengejar sukses dengan merantau ke daerah lain. Dengan demikian, mudik tak sekadar ekspresi kerinduan pada kampung halaman. Lebih dari itu, sebagai ekspresi survival manusia terhadap komunitas asalnya.

Keinginan untuk menggapai esensi kemerdekaan hidup, mengalahkan rasa sakit dan biasa besar yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan mudik. Rasa kemerdekaan dan kemenangan tak dapat diukur dengan uang dan patokan materi apapun. Lalu, bagaimana cara menghadirkan rasa kemerdekaan yang utuh ketika mudik?

Hasrat menggapai rasa kemerdekaan merupakan tujuan mudik yang sebenarnya. Impian untuk merayakan kemenangan di tengah keluarga besar, mam-pu menghasilkan energi kreatif untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. Tetapi kemerdekaan yang diimpikan tak sepenuhnya tergapai. Driyarkara (1980), menyebut bahwa kemerdekaan merupakan sayap yang terluka.

Mudik juga menjadi oasis untuk melakukan refleksi kemanusiaan dan keindonesiaan atas berbagai problem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Kasus-kasus rumit dalam ranah politik dapat menjadi bagian dari refleksi keindonesiaan itu. Tradisi mudik dan arus balik merupakan oasis budaya dan ekspresi kemanusiaan dalam rangka menempuh pendidikan kemanusiaan yang sebenarnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar