Senin, 13 Agustus 2012

Sinergi Polri dan KPK


Sinergi Polri dan KPK
Aulia Rahman ; Mantan Anggota Komisi Hukum DPR RI dan Pengamat Hukum
SUARA KARYA,  13 Agustus 2012


Sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999-2004, kembali memunculkan simptom bawaan yakni "konflik" antara organ negara. Karena rapuhya kepastian hukum tentang hak, kewenangan, tugas, dan tanggungjawab organ-organ negara. Beberapa hari terakhir, masyarakat menyaksikan "ketegangan" hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam rangka penanganan kasus dugaan korupsi di Korps Lalu-Lintas (Korlantas) Polri.

Sejak awal, Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menkopolhukam agar berkomunikasi dengan pimpinan KPK dan Polri untuk bersinergi. Sinergi kedua lembaga negara dalam memberantas korupsi melalui penegakan hukum bisa saja dilaksanakan. Sebab sudah ada jurisprudensi. Misalnya, Polri dan KPK bersinergi dalam rangka menangani kasus Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat. KPK dan Kejari Sumatera Utara dalam menangani proses hukum dengan tersangka berbeda.

Jurisprudensi itu tampaknya tidak otomatis dapat dijadikan pijakan sinergi Polri-KPK dalam rangka pemberantasan korupsi. Sebab KPK dan Polri, misalnya menetapkan sejumlah tersangka yang sama dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi alat roda dua dan roda empat di Korlantas tahun angaran 2011.

Tanggal 27 Juli 2012, KPK meningkatkan kasus Korlantas ke level penyidikan. KPK menyelidiki kasus ini sejak Januari 2012. Pada 1 Agustus 2012, Polri menetapkan 5 (lima) tersangka dalam kasus yang sama dengan tiga tersangka yang sama dengan versi KPK. Polri juga telah menahan DP, LGM, TR, dan BS. Dalam hal ini, sinergi Polri-KPK tentu sangat diperlukan. Meskipun, dasar yuridisnya masih rapuh.

Sinergi KPK-POLRI

Secara yuridis, Sinergi KPK-Polri tentu memiliki dasar yuridis yang kokoh dan tidak rapuh, jika ada konsiderans yuridis UU tentang KPK, bahwa KPK adalah "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Rumusan ini merupakan bunyi Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang ke-4 tahun 2002.

Untuk mencegah konflik antara organ negara di bidang penegakan hukum pada masa datang di wilayah hukum Negara RI, maka semua lembaga negara yang memiliki kewenangan, tugas, dan tanggungjawab di bidang penegakan hukum mesti merujuk pada ketentuan konstitusional UUD 1945, yakni pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tentang POLRI.

Kepastian hukum tentang hak, kewenangan, tanggungjawab, dan tugas organ negara secara konstitusional dalam rangka penegakan hukum sangat penting. Sebab tidak jarang timbul krisis konstitusional, akibat adanya peraturan lebih rendah dari konstitusi, yang menjadi dasar hukum pembentukan organ negara yang kewenangannya dapat melampaui hak dan kewenangan organ-organ negara yang dibentuk oleh konstitusi.

Kebutuhan mendesak saat ini ialah amandemen UU tentang KPK dengan memasukkan konsiderans yuridis bahwa KPK adalah turunan dari kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945, bukan hanya turunan dari kewenangan DPR dan hak presiden yang sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum menurut UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002. Untuk jangka pendek, Polri-KPK dapat bersinergi dengan merujuk pada jurisprudensi yang ada.

Cacat Yuridis

Secara yuridis, sinergi Polri-KPK bukan perkara mudah. Sebab KPK bukan organ negara yang diatur dalam UUD 1945. Sedangkan Polri, selain kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945), adalah organ negara yang mengemban tugas konstitusional penegakan hukum (Pasal 30 ayat 4 UUD 1945) untuk ketertiban, keamanan negara, dan perlindungan masyarakat. Maka UU mengatur kewenangan Polri di bidang penyelidikan terhadap setiap perbuatan melawan hukum di wilayah hukum Negara RI.

KPK juga memiliki tugas, kewenangan, dan tanggungjawab, dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan, dan monitoring tindak pidana korupsi di Negara RI. Namun, legal basis (dasar hukum) KPK hanya Undang-Undang (UU) No 30 tahun 2002 tentang KPK. UU ini adalah keputusan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden RI. Pasal 3 UU No 30/2002 adalah dasar hukum KPK sebagai lembaga negara dengan tugas, hak, dan wewenang antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan memantau penyelenggaraan pemerintahan negara. Maka Polri lebih berwenang di bidang penegakan hukum, jika dibandingkan dengan kewenangan KPK.

Cacat yuridis pada konsiderans UU pembentukan KPK tersebut di atas muncul karena konsideransnya hanya merujuk pada hak konstitusional Presiden mengajukan RUU (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945) dan kewenangan DPR membuat UU (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945). Kedua organ negara ini sama sekali tidak memiliki kewenangan konstitusional di bidang penegakan hukum. Oleh karena itu, secara yuridis, sebetulnya Polri lebih berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana, termasuk dugaan korupsi di Korlantas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar