Sinergi Polri
dan KPK
Aulia Rahman ; Mantan Anggota Komisi Hukum DPR RI dan Pengamat
Hukum
SUARA
KARYA, 13 Agustus 2012
Sistem pemerintahan presidensil yang dianut
oleh UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999-2004, kembali memunculkan simptom
bawaan yakni "konflik" antara organ negara. Karena rapuhya kepastian
hukum tentang hak, kewenangan, tugas, dan tanggungjawab organ-organ negara.
Beberapa hari terakhir, masyarakat menyaksikan "ketegangan" hubungan
antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) dalam rangka penanganan kasus dugaan korupsi di Korps
Lalu-Lintas (Korlantas) Polri.
Sejak awal, Presiden RI Soesilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan Menkopolhukam agar berkomunikasi dengan pimpinan KPK
dan Polri untuk bersinergi. Sinergi kedua lembaga negara dalam memberantas
korupsi melalui penegakan hukum bisa saja dilaksanakan. Sebab sudah ada
jurisprudensi. Misalnya, Polri dan KPK bersinergi dalam rangka menangani kasus
Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat. KPK dan Kejari
Sumatera Utara dalam menangani proses hukum dengan tersangka berbeda.
Jurisprudensi itu tampaknya tidak otomatis
dapat dijadikan pijakan sinergi Polri-KPK dalam rangka pemberantasan korupsi.
Sebab KPK dan Polri, misalnya menetapkan sejumlah tersangka yang sama dalam
kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi alat roda dua dan roda empat
di Korlantas tahun angaran 2011.
Tanggal 27 Juli 2012, KPK meningkatkan kasus
Korlantas ke level penyidikan. KPK menyelidiki kasus ini sejak Januari 2012.
Pada 1 Agustus 2012, Polri menetapkan 5 (lima) tersangka dalam kasus yang sama
dengan tiga tersangka yang sama dengan versi KPK. Polri juga telah menahan DP,
LGM, TR, dan BS. Dalam hal ini, sinergi Polri-KPK tentu sangat diperlukan.
Meskipun, dasar yuridisnya masih rapuh.
Sinergi KPK-POLRI
Secara yuridis, Sinergi KPK-Polri tentu
memiliki dasar yuridis yang kokoh dan tidak rapuh, jika ada konsiderans yuridis
UU tentang KPK, bahwa KPK adalah "Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Rumusan
ini merupakan bunyi Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang ke-4 tahun 2002.
Untuk mencegah konflik antara organ negara di
bidang penegakan hukum pada masa datang di wilayah hukum Negara RI, maka semua
lembaga negara yang memiliki kewenangan, tugas, dan tanggungjawab di bidang
penegakan hukum mesti merujuk pada ketentuan konstitusional UUD 1945, yakni
pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tentang
POLRI.
Kepastian hukum tentang hak, kewenangan,
tanggungjawab, dan tugas organ negara secara konstitusional dalam rangka
penegakan hukum sangat penting. Sebab tidak jarang timbul krisis
konstitusional, akibat adanya peraturan lebih rendah dari konstitusi, yang
menjadi dasar hukum pembentukan organ negara yang kewenangannya dapat melampaui
hak dan kewenangan organ-organ negara yang dibentuk oleh konstitusi.
Kebutuhan mendesak saat ini ialah amandemen UU
tentang KPK dengan memasukkan konsiderans yuridis bahwa KPK adalah turunan dari
kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945, bukan hanya turunan dari kewenangan DPR
dan hak presiden yang sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam penegakan
hukum menurut UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002. Untuk jangka pendek,
Polri-KPK dapat bersinergi dengan merujuk pada jurisprudensi yang ada.
Cacat Yuridis
Secara yuridis, sinergi Polri-KPK bukan perkara
mudah. Sebab KPK bukan organ negara yang diatur dalam UUD 1945. Sedangkan
Polri, selain kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945), adalah organ negara yang
mengemban tugas konstitusional penegakan hukum (Pasal 30 ayat 4 UUD 1945) untuk
ketertiban, keamanan negara, dan perlindungan masyarakat. Maka UU mengatur
kewenangan Polri di bidang penyelidikan terhadap setiap perbuatan melawan hukum
di wilayah hukum Negara RI.
KPK juga memiliki tugas, kewenangan, dan tanggungjawab,
dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan, dan monitoring tindak
pidana korupsi di Negara RI. Namun, legal basis (dasar hukum) KPK hanya
Undang-Undang (UU) No 30 tahun 2002 tentang KPK. UU ini adalah keputusan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden RI. Pasal 3 UU No 30/2002
adalah dasar hukum KPK sebagai lembaga negara dengan tugas, hak, dan wewenang
antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi dan memantau penyelenggaraan pemerintahan negara. Maka Polri
lebih berwenang di bidang penegakan hukum, jika dibandingkan dengan kewenangan
KPK.
Cacat yuridis pada
konsiderans UU pembentukan KPK tersebut di atas muncul karena konsideransnya
hanya merujuk pada hak konstitusional Presiden mengajukan RUU (Pasal 5 ayat 1
UUD 1945) dan kewenangan DPR membuat UU (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945). Kedua organ
negara ini sama sekali tidak memiliki kewenangan konstitusional di bidang
penegakan hukum. Oleh karena itu, secara yuridis, sebetulnya Polri lebih
berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana,
termasuk dugaan korupsi di Korlantas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar