Transformasi
Kuasa dengan Cinta
Yudi Latif ; Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS,
07 Agustus 2012
Bulan puasa hadir menandai
retakan imaji sejarah bangsa. Dalam tradisi Islam, ibadah puasa adalah tanda
kemenangan; diwajibkan setelah pertempuran Badar, saat pasukan kecil dengan
komitmen kebenaran dan keadilan bisa mengalahkan pasukan besar dengan jiwa
penindasan dan keangkuhan. Puasa sebagai tanda kemenangan juga mewarnai sejarah
bangsa.
Kemerdekaan Republik
Indonesia sebagai tanda kemenangan atas penjajahan diproklamasikan pada bulan
puasa. Waktunya dipilih secara saksama oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus
(1945), bertepatan dengan 17 Ramadhan yang dipercaya oleh umat Islam sebagai
hari keramat, awal turunnya Al Quran sebagai Al-Furqon (pembeda antara
kebenaran dan kebatilan).
Berbeda dengan imaji puasa
pada awal kemerdekaan, bulan puasa tahun ini membiaskan imaji keterpurukan.
Tradisi perolehan medali emas di olimpiade berhenti. Kegagalan ini lebih
tercoreng oleh memudarnya nilai sportivitas. Lembaga penegak hukum justru
sarang pelanggar hukum; institusi kepolisian yang mestinya memuliakan imperatif
hukum (right) justru mengedepankan
logika kekuatan (might)—ngotot
menangani sendiri kasus korupsi yang menimpa institusinya. Keterpurukan bangsa
ini nyaris sempurna bahkan Al Quran sebagai Al-Furqon dijatuhkan nilai
kesuciannya oleh tangan-tangan kebatilan korupsi yang tak lagi mengenal batas.
Setelah 14 tahun reformasi,
politik menjadi berisik sebagai ”komedi omong” di sepanjang perubahan prosedural
dalam skala masif. Sebegitu jauh, belum ada tanda bahwa pelbagai perubahan itu
kian mendekatkan bangsa ke jalur kemenangan. Berbagai perubahan yang terjadi
tidak membawa transformasi dalam watak kekuasaan. Watak penyelenggara negara
tetap bersifat narsistik; lebih melayani kepentingan sendiri dan kelompoknya
ketimbang kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Faktor pemimpin memang
selalu memainkan peran penting dalam transformasi watak kekuasaan. Pada masa
krisis, pemimpin harus bisa mengatasi kelemahan institusional lewat kekuatan
personal. Pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme,
dengan mengobarkan tekad, kehendak, dan tindakan bersama, melalui keteladanan
yang memberikan inspirasi kepada rakyatnya untuk meraih kemuliaan hidup lewat
kesediaan bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Yang diperlukan memang
pemimpin kuat yang berani mengambil keputusan sulit. Namun, tidaklah berarti
kita harus memalingkan imaji kita kembali kepada pemimpin yang kekuatannya
bersifat represif. Yang diperlukan adalah pemimpin transformatif yang
mengandalkan kekuatannya pada keteguhan menjalankan hukum dan etika kekuasaan.
Gerak lurus keteguhan
kepemimpinan dalam mengemban nomokrasi (rule
of law) tidak hanya bergantung pada kudanya, tetapi juga kekuatan
pelananya. Rekayasa pelana institusional harus dirancang ketat untuk memastikan
agar kuda bisa bergerak terus di jalan yang benar. Prinsip-prinsip pemilu yang
murah, perekrutan kepemimpinan yang lebih menekankan daya otoritatif ketimbang
daya beli, penyelenggaraan pemerintahan yang melayani publik secara transparan
dan akuntabel harus diinkorporasikan ke dalam desain institusi politik.
Dalam buku Why Nations Fail (2012), Daron Acemoglu
dan James A Robinson menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan betapa pentingnya
rancangan institusi politik dalam membentuk perekonomian, perilaku kolektif
(budaya) dan watak kekuasaan yang pada gilirannya menentukan keberhasilan dan
kegagalan suatu bangsa.
Namun, betapapun kuatnya
pelana kendali yang kita siapkan, tidak ada jaminan pemimpin dapat mengemban
tugasnya secara benar. Banyak di antara krisis dan kesulitan yang kita hadapi
menyembunyikan krisis spiritual yang dalam.
Agama yang seharusnya
membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan
(khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman
dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Untuk itu, selain menyiapkan
pelana yang kuat, kita memerlukan transformasi spiritual yang mengarahkan warga
bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini,
seperti ditekankan oleh Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama bukan soal apa
yang kita percaya, melainkan apa yang kita perbuat.
Untuk itu, agama tidak perlu
meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan
pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan
spiritualitas. Satu-satunya cara meraih kasih ”Yang di Langit” adalah dengan
mengasihi ”apa-apa yang ada di bumi”.
Kuasa dan agama harus
ditransformasikan dari alat perampasan dan kekerasan menjadi wahana belajar
melayani dan mengasihi. Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun
penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat
menunaikan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak
mereka, akan kuatlah kebenaran di antara mereka dan berdiri tegak
prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar