Minggu, 05 Agustus 2012

Rohingya dan Gagalnya Multikulturalisme

Rohingya dan Gagalnya Multikulturalisme
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog Aceh; Juli lalu diundang ke Mae Sot, Thailand, sebagai pemateri tema demokrasi dan perdamaian untuk aktivis muda Myanmar dari etnik minoritas
MEDIA INDONESIA, 04 Agustus 2012


SETELAH menghadapi tekanan dari dunia internasional, termasuk negara-negara ASEAN, pemerintah Myanmar melalui kementerian luar negeri mereka mengeluarkan pernyataan resmi pada 30 Juli 2012.

Dalam pernyataan yang dirilis ASEAN Update, pemerintah Myanmar mengatakan tak lelah-lelah mengupayakan untuk meredakan kerusuhan di Negara Bagian Rakhine. Dalam rilis tersebut, mereka memberikan kronologi konflik dan ‘data-data’ korban agar dunia internasional memiliki pemahaman utuh tentang konflik Rohingya.

Mereka menyebutkan konflik dipicu kasus perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan seorang gadis muda etnik Arakan (atau Rakhine) di Kota Yanbye pada 28 Mei 2012. Pelakunya ditengarai tiga pemuda muslim Rohingya. Kejadian itu melahirkan kebencian dan rasa sakit hati dari etnik Arakan sehingga membalas dengan membunuh 10 muslim Rohingya yang menjadi penumpang bus di Kota Taungup. Aksi saling balas yang merebak menjadi konflik di antara dua etnik yang berbeda agama itu semakin sporadis dan massal.

Masih dari rilis itu disebutkan, konflik kemudian meluas ke kota-kota di Negara Bagian Rakhine, yang menyebabkan 77 orang meninggal dari kedua pihak, 109 terluka, 4.822 rumah terbakar, termasuk 17 masjid, 15 wihara, dan 3 sekolah hancur.
Untuk meredakan situasi itu, pemerintah membuat 89 tenda pengungsian bagi 14.328 pengungsi etnik Arakan dan 30.740 muslim Rohingya. Pemerintah juga menyatakan telah bekerja sama dengan UNHCR--lembaga PBB untuk masalah pengungsian--dan WFP--lembaga dunia yang mengurusi masalah pangan--untuk mengurangi derita para pengungsi selama masa transisi itu.

Pemerintah Myanmar juga menolak politisasi kasus itu sebagai konflik agama. ‘Perdamaian dan stabilitas adalah hal yang sangat diperlukan untuk mengembangkan demokratisasi dan proses reformasi di Myanmar. Myanmar adalah negara multiagama tempat Budha, Kristen, Islam, dan Hindu telah hidup bersama dengan damai dan harmonis selama berabad-abad', demikian akhir bunyi pernyataan resmi mereka.

Negara Rasialis

Terlepas dari argumen dan statement yang disampaikan, kali ini pemerintah Myanmar memakai pendekatan `kehumasan yang lebih baik' dalam menangani kasus rasialisme tersebut. Pada kasus yang menimpa etnik Rohingya di masa lalu, tidak ada klarifikasi resmi yang dikeluarkan pemerintah kepada dunia luar. Pemerintahan junta militer Myanmar memang terkenal sebagai pemerintahan yang tertutup dan membatasi akses informasi atas kasus internal negara mereka.

Namun statement yang disampaikan itu tidak mengungkap masalah rasialisme, status kewarganegaraan (citizenship), dan hak atas tanah yang menjadi motif utama penderitaan etnik Rohingya selama puluhan tahun. Mereka lebih fokus pada penyelesaian darurat kemanusiaan yang muncul akibat konflik etnik itu.

Pemerintah Myanmar sebenarnya dapat mengklaim tidak terlibat pada kasus itu karena posisi mereka yang pasif. Namun jika melihat latar belakang historis hubungan antaretnik dan agama yang buruk dan hubungan mayoritas-minoritas yang diskriminatif selama bertahun-tahun, pemerintah Myanmarlah yang sebenarnya menjadi `pelaku' kejahatan kemanusiaan yang berulang-ulang itu.

Myanmar (dulunya bernama Burma) merupakan eksemplar negara yang memiliki hubungan buruk pada masalah etnisitas dan rasialisme sejak negara itu lahir. Sejak merdeka dari Inggris pada 1948, negara tersebut dapat dikatakan hanya milik etnik Burma yang merupakan populasi terbesar (70%).

Hubungan etnik yang buruk itu melahirkan pemberontakan di kalangan etnik minoritas-mereka lebih senang menyebutnya ‘bangsa-bangsa etnik’ (ethnic nationalities). Ada delapan grup etnik besar di Myanmar dari 130-an subetnik lainnya. Kelompok pemberontak bersenjata seperti Karen National Liberation Army (KNLA), The Arakan Liberation Party (ALP), Wa National Army (WNO), Pa-O National Liberation Army, dan Chin National Army (CAN) terus melakukan gerakan bersenjata untuk menuntut hak-hak mereka hingga saat ini (Khin Ohmar, 2010).

Kelompok-kelompok minoritas itu menolak sistem politik Myanmar yang hanya menguntungkan mayoritas dan menyubordinasikan etnik minoritas dalam representasi etnik Burma. Sejak pemerintahan militer Ne Win memimpin Myanmar melalui kudeta pada 1962, pendekatan militeristis dan diskriminatif semakin dirasakan etnik-etnik minoritas (Martin Smith, 1999).

Munculnya gerakan demokrasi melalui National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi ternyata tidak bersinergi dengan gerakan etnik minoritas. Gerakan oposisi nasional memiliki agenda gerakan sosial, sedangkan gerakan etnik dilihat sebagai gerakan separatisme sehingga tidak pernah menjadi aksi kolektif.

Di sisi lain, politik diskriminatif yang diberlakukan rezim militer tidak hanya membuat gerakan konsolidasi demokrasi semakin lemah, tapi juga memainkan politik devide et impera di kalangan etnik-etnik minoritas. Rohingya yang kebetulan etnik minoritas dan Islam, berbeda dengan mayoritas Myanmar, menjadi bulan-bulanan. Mereka distigmakan sebagai bukan etnik asli Myanmar, tidak diberi status kewarganegaraan, mengalami pengusiran dari tanah kelahiran (kejadian monumental pada 1978, 1982, 1993, dan 2009), dan dianggap sebagai kelompok kriminal dan pengacau liar.

Politik Diskriminatif

Kasus kerusuhan di Rakhine barat sejak awal Juni lalu merupakan buah dari kebijakan politik diskriminatif Myanmar. Maka sebenarnya, baik kelompok etnik Buddha Arakan maupun muslim Rohingya merupakan korban dari sistem politik yang tidak simetris menjalankan politik kesejahteraan dan berlakunya politik penindasan selama bertahun-tahun.

Jika dilihat dari pemantiknya, kasus di Rakhine juga pernah terjadi di Indonesia pada awal reformasi. Apa yang terjadi di Ambon (1998), Sampit (1999), dan Poso (2000) dimulai dari kasus `sepele' yang kemudian merebak menjadi kerusuhan SARA yang memakan ribuan korban jiwa dan menimbulkan kehancuran yang luar biasa.

Hulu dari semua masalah tersebut ialah tidak berjalannya politik pluralisme dan multikulturalisme akibat pemerintahan otoriter di masa lalu. Pendekatan Soeharto yang menawarkan politik eksklusivisme (di masa akhir kekuasaannya ia mencoba memanjakan kelompok Islam), keseragaman, dan pendekatan represif ketika menangani konflik telah berbuah menjadi gemintang konflik di awal reformasi akibat kegagalan masyarakat meresolusi konflik secara mandiri.

Namun, kalau Indonesia telah melewati kasus kelam itu berkat belajar bersama waktu, Myanmar masih menunggu waktu lama untuk menyelesaikan masalah internal mereka. Sepanjang junta militer masih belum mengubah watak pemerintahan mereka menjadi lebih adil, multikultural, dan demokratis, kasus seperti Rohingya hanya akan menunggu waktu untuk kembali berulang.

1 komentar:

  1. Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Teuku Kemal Fasya yang (demi memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada publik) telah ‘berani’ menyampaikan kronologi ‘genosida muslim Rohingya’ dan data tentang korban dan kerusakan bangunan versi pemerintah Myanmar. Walaupun informasi tersebut, sama halnya dengan informasi yang cenderung mempolitisasi kasus tersebut sebagai konflik agama, sebenarnya tetap terbuka untuk diuji dan dibuktikan sejauhmana kebenarannya. Walaupun dalam tulisan tersebut Teuku Kemal Fasya bersikukuh bahwa pemerintah Myanmar(yang rasialis dan diskriminatif)-lah yang telah menyebabkan terjadinya konflik etnis Arakan-Rohingya tersebut, bukan hal ‘sepele’ seperti “kasus perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan seorang gadis muda etnik Arakan (atau Rakhine) di Kota Yanbye pada 28 Mei 2012 lalu” yang sekadar merupakan pemicu.

    Saya sependapat dengan Teuku Kemal Fasya bahwa masalah etnisitas dan rasialisme di Myanmar harus diselesaikan secara tuntas. Tetapi (mengingat kompleksitas permasalahan) itu adalah untuk jangka menengah dan jangka panjang. Untuk saat ini, yang diperlukan pemerintah Myanmar (dengan dukungan lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN dan OKI) adalah fokus pada ‘penyelesaian darurat kemanusiaan’ akibat konflik tersebut dan segera padamkan bara-bara konflik yang masih tersisa. Dan saya kira, itu juga yang dulu kita lakukan untuk memadamkan dan menyelesaikan konflik-konflik yang berbau SARA di Indonesia.

    BalasHapus