Rabu, 01 Agustus 2012

Quo Vadis Kasus Hambalang?


Quo Vadis Kasus Hambalang?
Romli Atsasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)  
SINDO, 01 Agustus 2012


Kasus Hambalang telah memeriksa 70 orang saksi, tetapi baru satu yang ditetapkan menjadi tersangka yaitu selaku pejabat pembuat komitmen proyek. Pemeriksaan saksi sebanyak itu mungkin baru pertama dalam sejarah pemeriksaan perkara korupsi sejak diundangkan UU RI No 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

Dalam kasus ini KPK tampak menggunakan pepatah lebih baik lambat asal selamat daripada tergesa-gesa apalagi dengan syahwat menahan yang tinggi akhirnya tersangka dibebaskan pengadilan. Pertanyaannya, mengapa KPK berlarut-larut dan amat hati-hati dibandingkan dengan perkara Nazaruddin atau perkara cek pelawat yang melibatkan petinggi partai lain?

Pertanyaan dan keraguan masyarakat dapat dijawab dengan dua hal yaitu karena UU KPK memandatkan agar KPK sangat hati-hati menetapkan seseorang menjadi tersangka dengan tidak diperbolehkannya menghentikan penyidikan (SP3) atau menghentikan penuntutan (SKPP). Hal kedua, sangat bergantung komitmen, integritas, dan keberanian pimpinan KPK yang akhir-akhir ini menampakkan keragu-raguan atau mungkin ketidakkompakkan dalam mengambil suatu putusan seperti dalam kasus Miranda Goeltom dan Angelina Sondakh.

Sejatinya kasus dugaan korupsi di kementerian tidaklah sesulit kasus pencucian uang yang melibatkan korporasi baik domestik maupun asing. Hal ini disebabkan aturan main dalam perkara korupsi telah ditentukan jelas dalam UU RI No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aliran dana hasil korupsi dapat ditelusuri melalui UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan begitu, KPK telah memiliki dua senjata tajam, satu pedang Sophocles dan satu lagi badik tajam. Jika laporan PPATK dalam kasus Hambalang diikuti dengan teliti oleh KPK, sesungguhnya memudahkan penyidikan KPK untuk menemukan tersangkanya karena dengan undang-undang pencucian uang, KPK akan dapat menemukan alat bukti lain selain keterangan saksi saja.

Dengan UU Pencucian Uang, KPK dapat mengetahui jelas dan pasti dana Rp1,5 triliun mengalir kepada siapa dan dipergunakan untuk keperluan apa. Namun, pimpinan KPK tidak bergeming dan terburu-buru menggunakan laporan PPATK karena laporan PPATK secara yuridis belum menjadi bukti petunjuk (baru tahap mencurigakan) dugaan suatu tindak pidana.

Kendati demikian, dengan UU Pencucian Uang, setidaknya aparatur hukum termasuk penyidik KPK dapat meminta pelapor (penyedia jasa keuangan bank); dan pelapor wajib membuka harta kekayaan setiap orang yang diduga berasal dari tindak pidana (Pasal 72). Jika langkah hukum ini dilakukan KPK, dua alat bukti yang cukup tentu telah lama diperoleh dalam kasus Hambalang dan siapa saja yang dapat ditetapkan menjadi tersangka.

Masalahnya, pimpinan KPK lebih mengikuti prinsip kerja memakan “bubur panas” alias dari pinggiran kemudian menuju ke pusat kekuasaan. Prinsip kerja tersebut keliru digunakan terhadap korupsi yang termasuk kejahatan luar biasa dan cara kerja tersebut hanya cocok untuk kejahatan biasa. Kedua UU yang luar biasa tersebut justru merupakan terobosan terhadap prinsip kerja tersebut yang lazim dipraktikkan kepolisian dan kejaksaan.

Seperangkat ketentuan luar biasa sengaja dimasukkan sebagai bagian di UU Tipikor dan UU Pencucian Uang dengan maksud mempermudah aparatur hukum membongkar kasus megaskandal korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dengan nilai sangat fantastis (Rp1 triliun). Tidak digunakannya laporan PPATK dan BPK RI sebagai bukti petunjuk dalam kasus Hambalang sama saja dengan menunda-nunda langkah hukum yang seharusnya dilakukan. Hal itu juga dapat diartikan semakin jauh dari keberhasilan demi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan eksistensi dua undang-undang yang sangat luar biasa tersebut.

Mengapa demikian? Keberhasilan KPK mengungkap kasus Hambalang adalah bukan hanya dengan pencekalan semata-mata, melainkan juga dengan segera melakukan perintah pemblokiran (Pasal 12 UU KPK) terhadap sejumlah rekening bank pemilik mereka yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sekalipun dalam proses penyelidikan.

Termasuk juga pihak ketiga yang diduga turut menikmati hasil dari tindak pidana korupsi tersebut. Kelambanan dalam mengambil keputusan untuk menerapkan langkah pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan yang diduga terkait kasus Hambalang sama saja dengan memberikan celah hukum untuk meloloskan harta kekayaan dan diri yang bersangkutan dari jangkauan hukum dari dua undang-undang yang sangat canggih tersebut.

Fokus KPK pada dugaan mark-up nilai proyek dari Rp250 miliar sampai Rp1,5 triliun sudah benar dan tidak sulit dilakukan jika KPK mau memanfaatkan laporan audit investigasi BPK RI atau BPKP dilengkapi oleh pemeriksaan ahli konstruksi bangunan perumahan. Karena hanya pada institusi itu dan keahlian merekalah, dugaan tersebut dapat menambah keyakinan akan terpenuhinya dua alat bukti.

Saat ini bahkan sudah ada lebih dari dua alat bukti yang diperlukan yaitu keterangan saksi (70 orang); keterangan ahli; hasil audit investigatif BPK RI atau BPKP, dan keterangan ahli hukum pidana ditambah bukti surat berupa dokumen-dokumen yang telah diperoleh dari hasil penggeledahan dan keterangan saksi atau tersangka dari hasil penyadapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar