Biaya
Operasional Mahasiswa
Darmaningtyas ; Penasihat di Asosiasi
Badan Penyelenggara PTS Indonesia
KORAN
TEMPO, 01 Agustus 2012
Ada kabar gembira bagi mahasiswa
perguruan tinggi negeri karena, mulai 2013, pemerintah cq. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mematok biaya kuliah maksimal Rp 2 juta per tahun.
Untuk itu, seperti ditegaskan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Djoko Santoso
kepada wartawan (17 Juli 2012), pemerintah akan menanggung seluruh biaya
operasional perguruan tinggi negeri (PTN) dengan alokasi Rp 5-6 triliun per
tahun yang akan diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Mahasiswa (BOM).
Sepintas, ini adalah kabar
gembira karena memberi harapan kepada masyarakat mengenai kemungkinan biaya
kuliah yang semakin murah. Kebijakan ini untuk menjawab kritik masyarakat
mengenai makin mahalnya biaya pendidikan di PTN terkemuka selama satu dekade
terakhir, terutama setelah perguruan tinggi tersebut berubah status menjadi
perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Perubahan status itu identik
dengan perubahan jumlah pembayaran, menjadi sangat mahal.
Penegasan Dirjen Pendidikan
Tinggi Djoko Santoso itu dimaksudkan untuk meredam gejolak mahasiswa yang
menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjadi
undang-undang baru (13 Juli 2012 lalu). Penolakan mahasiswa tersebut didasarkan
pada kekhawatiran akan makin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri,
terutama yang berstatus PT BHMN. Hal itu amat wajar karena keberadaan
Undang-Undang Perguruan Tinggi memang untuk memberi payung hukum yang kuat bagi
keberadaan PT BHMN setelah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010.
Masih Diskriminatif
Kita patut mengapresiasi niat
baik pemerintah tersebut. Sebab, bila hal itu dapat terwujud, termasuk untuk
biaya kuliah di Fakultas Kedokteran, sungguh merupakan terobosan perbaikan
akses terhadap pendidikan tinggi secara signifikan. Tahun ajaran baru 2013/2014
sebagai awal permulaan pemberian BOM karena jelas bahwa itu terkait dengan masa
pemberlakuan Undang-Undang Perguruan Tinggi, yang tidak bisa seketika. Dengan
dimulai pada tahun 2013, berarti masih ada waktu bagi pemerintah untuk
memasukkan anggaran tersebut ke dalam APBN 2013.
Dasar hukum pemberian BOM untuk
mahasiswa PTN itu adalah Pasal 89: ayat (1) Dana pendidikan tinggi yang
bersumber dari APBN dan/atau APBD dialokasikan untuk: a. PTN sebagai biaya
operasional, dosen, dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan;
dan butir c. Mahasiswa sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan; serta
ayat (5) "Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari
anggaran fungsi pendidikan".
Jadi, landasan hukumnya sudah
jelas, tidak perlu diperdebatkan. Yang perlu diperdebatkan adalah mengapa hanya
untuk PTN? Bukankah mahasiswa di perguruan tinggi swasta kecil lebih
memerlukan? Ini mengingat yang kuliah di perguruan-perguruan tinggi swasta
kecil itu anak-anak orang miskin. Sedangkan 96 persen yang kuliah di perguruan
tinggi negeri/PT BHMN adalah anak-anak golongan mampu. Karena kemampuan orang
tuanya, maka sejak SD hingga SMA mereka ikut les ini-itu, ikut bimbingan
belajar, sehingga pada saat UN nilainya bagus dan lolos tes ke PTN/PT BHMN.
Tapi anak-anak golongan miskin, karena kemiskinannya, tidak bisa ikut les ini-itu,
juga tidak ikut bimbingan belajar. Akhirnya, saat UN, nilai mereka jelek dan
tidak bisa lolos masuk ke PTN/PT BHMN. Mereka tidak masuk ke perguruan tinggi
swasta terkenal karena tidak mampu membayar. Satu-satunya cara untuk bisa
kuliah adalah ke PTS kecil, yang SPP-nya murah, tidak peduli kualitas, yang
penting bisa kuliah. Mayoritas di antara mereka bisa kuliah karena sambil
bekerja. Ironis sekali bila mereka justru tidak memperoleh BOM. Sebaiknya BOM
menyasar ke mereka, tidak diskriminatif.
Bukan Pepesan Kosong?
Persoalan lain yang perlu dicatat
adalah apakah BOM ini bukan sekadar pepesan kosong? Pertanyaan ini relevan
terutama bila dikaitkan dengan postur anggaran pendidikan yang riilnya untuk
operasional pendidikan yang amat kecil. Bagi yang tidak mengetahui, anggaran
pendidikan setiap tahun amat besar, karena mencapai 20 persen lebih dari APBN.
Dalam APBN 2012, misalnya, anggaran pendidikan mencapai Rp 289,9 triliun (20,2
persen). Tapi, ketika kita melihat perinciannya, ternyata yang dikelola oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya Rp 64,350 triliun untuk mengurusi
pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, baik formal maupun nonformal.
Penyerapan anggaran pendidikan yang terbesar justru transfer ke daerah (Rp
186,439 triliun) dalam bentuk DAU dan DAK. Salah satu fungsi DAU adalah untuk
keperluan gaji guru.
Selebihnya adalah alokasi untuk Kementerian Agama (Rp
32,007 triliun), kementerian lain yang menyelenggarakan pendidikan (Rp 6,159
triliun), dan 18 kementerian lain namun tidak disebutkan secara terperinci.
Anggaran tersebut mengalami
kenaikan Rp 18,134 triliun (6,3 persen) pada APBN-P 2012 atau menjadi Rp
308,957 triliun. Namun pemanfaatan tambahan anggaran pendidikan dalam RAPBN-P
tahun 2012 diarahkan untuk: merespons arahan Presiden guna menjawab keluhan
masyarakat terkait dengan pendidikan; perluasan sasaran dan peningkatan unit cost untuk subsidi siswa miskin agar siswa
tidak putus sekolah dan mengurangi beban biaya pendidikan yang harus ditanggung
orang tua siswa untuk mendukung program kompensasi pengurangan subsidi BBM;
menuntaskan rehabilitasi gedung SD/MI dan SMP/MTs yang rusak; peningkatan
kualitas pendidikan; serta penguatan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, jelas
sekali bahwa anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan
Nasional itu amat kecil dibandingkan dengan jumlah yang diurus, rata-rata 25
juta jiwa murid SD-PT. Dengan postur anggaran yang seperti itu, apakah kita
bisa berharap banyak pada janji pemerintah untuk mematok biaya kuliah per tahun
hanya Rp 2 juta saja? Jumlah PT BHMN saja ada tujuh, rata-rata anggaran belanja
mereka setiap tahun berkisar Rp 1-3 triliun (tergantung
universitas/institutnya). Bila pemerintah mematok anggaran untuk BOM itu hanya
Rp 5-6 triliun saja, secara otomatis dana tersebut akan habis terserap di PT
BHMN, sedangkan PTN lainnya tinggal menerima sisanya saja. Wajar bila kemudian
kita pesimistis terhadap niat baik pemerintah.
Pesimisme itu menguat terkait
dengan tuntutan terhadap PTN/PT BHMN untuk meningkatkan kualitasnya, bahkan
didorong untuk memiliki level internasional (world class university).
Untuk mencapai tuntutan world
class internasional, hanya mungkin dilakukan bila disokong oleh pendanaan
yang besar. Dana itu bisa berasal dari pemerintah atau masyarakat atau bahkan
dua-duanya. Bila pemerintah mematok jumlah maksimal yang harus dibayarkan oleh
mahasiswa, konsekuensi logisnya adalah menyediakan dana yang cukup untuk
dialokasi ke PTN/PT BHMN.
Jujur saja, sebagai orang yang
selama ini berjuang untuk peningkatan aksesibilitas masuk ke PTN/PT BHMN, saya
mendukung penuh niat baik pemerintah tersebut. Meskipun demikian, saya juga
perlu memberi catatan kritis agar kebijakan tersebut tidak menjadi pepesan
kosong saja, tapi betul-betul terimplementasi secara konkret tanpa mengorbankan
mutu PTN/PT BHMN. Jangan sampai niat baik pemerintah tersebut berdampak
merosotnya mutu PTN/PT BHMN. Agar kualitas perguruan tinggi negeri/PT BHMN
tetap terjaga, peningkatan anggaran pendidikan tinggi mutlak diperlukan. Alihkan subsidi untuk energi ke pendidikan,
kesehatan, dan transportasi umum. ●
Terimakasih Bapak, mohom ijin save page ini untuk saya baca2 dirumah.... Sungguh ulasan yang lengkap.
BalasHapus