Pemilu
Kada DKI: Etnisitas vs Integritas
Ade Saptono ; Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pancasila
MEDIA
INDONESIA, 02 Agustus 2012
SETELAH pergelaran politik pemilihan umum kepala daerah (pemilu
kada) wilayah DKI Jakarta digelar Rabu, 11 Juli 2012, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) DKI Jakarta resmi mengumumkan hasil akhir penghitungan suara bahwa
pasangan nomor urut 3, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok),
berhasil menempati posisi puncak dengan perolehan 1.847.157 suara. Posisi kedua
ditempati pasangan calon incumbent
Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dengan perolehan 1.476.648 suara.
Hasil penghitungan itu memunculkan dua calon gubernur DKI tersebut
yang masuk putaran kedua. Pemilu kada DKI putaran kedua yang menurut rencana
akan digelar pada Kamis, 20 September 2012, itu ditunggu-tunggu masyarakat
Jakarta mengingat akan menjadi pertarungan politik amat menarik tidak hanya
bagi warga Jakarta, tetapi juga warga daerah-daerah lain. Oleh karena itu,
tidak mustahil jika rentang waktu tersisa kurang 50 hari ini menjadi hari-hari
padat kegiatan, pendek waktu, dan detak pendulum jarum jam pun seolah berjalan
cepat bagi dua kubu calon.
Dalam pemanfaatan waktu satu setengah bulan ke depan tersebut,
beragam strategi politik berebut dan mendekat ke masa calon pasangan tersisih
lain untuk memperoleh tambahan jumlah suara diterapkan dan menjadi pandangan
lumrah sehari-hari. Bahkan tidak berhenti di situ saja yang dilakukan salah
satu tim sukses salah satu calon. Misalnya, melaporkan indikasi kecurangan
politik uang salah satu calon ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI.
Maksudnya mungkin benar, yaitu menegakkan aturan main, dan
agendanya mungkin agar salah satu calon yang disasar didiskualifi kasi atau
setidaknya pada putaran kedua suaranya diharap berkurang. Yang menjadikan
banyak orang geleng-geleng kepala ketika isu lain yang tidak kalah terbelakang
diaktifkan, yaitu sentimen primordial suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) disampaikan di tempat yang tidak semestinya dengan mengusung identitas
etnik atau agama calon tertentu sebagai yang pantas menjadi gubernur DKI,
sedangkan calon lain tidak pantas.
Kalaupun isu etnisitas itu yang dimunculkan misalnya, dengan
mendasarkan gambaran data dari BPS tahun 2000 bahwa penduduk Jakarta terdiri
dari 35,16% etnik Jawa, 27,65% etnik Betawi, 15% etnik Sunda, 5,53% etnik
Tionghoa, 3,61% Batak, 3,18% etnik Minangkabau, 1,62 etnik Melayu, 0,59% etnik
Bugis, 0,57% etnik Madura, 0,25% etnik Banten, 0,10% etnik Banjar, dan etnik
lainnya sebanyak 6,47%, siapa bakal calon sudah dapat diketahui sejak awal?
Fakta memang demikian, tetapi tentu isu etnisitas justru menjadi kurang
produktif di saat-saat bangsa Indonesia sedang membangun peradaban.
Sementara fakta lain juga menunjukkan bahwa kepala-kepala daerah
yang etnisitasnya berasal daerah setempat toh banyak juga yang terindikasi dan
tersandung tindak pidana korupsi. Buktinya, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan telah merampungkan 10 laporan hasil analisis (LHA) indikasi
korupsi gubernur dan 38 LHA indikasi korupsi sejumlah bupati/wali kota. Laporan
tersebut telah pula dilaporkan kepada penegak hukum, sebagian besar ke Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pengalaman adalah guru yang baik. Tidak selamanya menguntungkan
jika daerah itu harus diartikan sama dengan daerah etnik setempat. Pengalaman
daerah lain, misalnya. Ambil saja contoh fenomena korupsi di daerah-daerah yang
hampir selalu melibatkan kepala daerah sebagaimana telah disebut, yang notabene
dilakukan putra etnik asal daerah setempat apakah itu gubernur, bupati, atau
wali kota. Artinya, kepemimpinan bukanlah mengenai etnisitas, melainkan
integritas calon. Bahkan pandangan bahwa isu etnisitas jauh tidak manusiawi
bila dibandingkan dengan isu integritas sehingga integritas calon gubernur
menjadi penting untuk diperhatikan.
Isu yang disebut terakhir jauh lebih beradab, mendidik, manusiawi,
dan era kini amat pantas dijual ke publik sekelas Jakarta sekaligus pengalaman
pemilu kada DKI ini akan dijadikan pengalaman pada pilihan kepala daerah lain
di seluruh Nusantara. Publik haus akan isu mendidik dan manusiawi seperti itu.
Untuk itu, yang dibutuhkan publik bukanlah tampilan etnisitas atau religiositas
tertentu, melainkan tampilan integritas.
Secara politik itu mungkin dapat dimengerti, tetapi dalam konteks
peradaban semestinya dihindari tampilan identitas latar belakang asal calon,
misalnya dikotomi sipilTNI, Jawa-luar Jawa, pusatdaerah, dan sejenisnya.
Apalagi tampilan model-model pakaian daerah yang dikenakan, pilihan kata-kata
juru kampanye, penentuan kalimat-kalimat spanduk yang semuanya menggunakan
simbol-simbol tertentu sehingga mudah dibaca maksudnya akan mengarah ke etnik
calon tertentu dan asal daerah tertentu. Ketika politik etnisitas itu
dipuja-puja, tentu keberadaan entitas etnik mengalami penguatan, pengentalan,
pengotak-ngotakan, taruhannya ialah hubungan sosial antaretnik menjadi renggang
dan menjadi sumber ketegangan tersendiri. Bahkan, itu dapat saja berlanjut ke
arah situasi yang rentan akan konflik-konflik tak terduga dan mungkin saja akan
dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang tak bertanggung jawab untuk
kepentingan politik tertentu pula.
Namun dalam pemilu kada putaran kedua mendatang, praktik etnisitas
semacam itu sangat mungkin akan terganjal oleh semangat pemahaman integritas
calon gubernur sehingga dalam era otonomi kali ini, pemikiran bahwa daerah
diidentikkan dengan etnik tempatan merupakan pemikiran usang yang tidak perlu
diperbarui lagi. Artinya, isu etnisitas tidak akan menjadi komoditas politik
strategis lagi dalam upaya meraih suara dukungan sebanyak mungkin dari
konstituen. Jika kita berkomitmen memajukan suatu bangsa yang lebih maju
daripada sebelumnya, isu etnisitas perlu ditaruh di dalam bak sampah dan
sebaliknya, isu integritas diletakkan di depan dan kalau perlu ‘disumpahkan’
mengingat ia lebih menyentuh kualitas kemanusiaan calon untuk memajukan
peradaban bangsa dan lebih mempunyai nilai keberhasilan seorang kepala daerah
dalam memimpin suatu pemerintahan daerah.
Singkatnya, pada pemilu kada DKI seolah ada adu kekuatan etnisitas
vs integritas. Namun, kali ini kegiatan masif mengaktifkan isu etnisitas atau
religiositas amat tidak produktif dan bahkan menggambarkan keterbelakangan
berpikir. Hal itu selain tidak merujuk pada persyaratan Pasal 58 UU No 12 Tahun
2008 tentang Perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pasal 38 ayat (1) PP No 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 6
Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, juga dapat menciptakan situasi dan kondisi
rawan konflik horizontal dan menciderai peradaban kemanusiaan yang sedang kita
bangun bersama.
Untuk itu, yang layak dijual kepada publik, khususnya kepada warga
DKI yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 2012, ialah integritas institusional dan personal kedua calon agar
mereka dengan mudah menjatuhkan pilihan pada salah satu calon. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar