Kamis, 02 Agustus 2012

Janji Susilo Bambang Yudhoyono


Janji Susilo Bambang Yudhoyono
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma dan Dosen Luar Biasa
Universitas Ma-Chung, Malang
MEDIA INDONESIA, 02 Agustus 2012


GUS Mus (Mustofa Bisri), penyair asal Rembang, dengan mengutip perkataan Syekh Nawawi Banten (18141897 M), menyebut, “Semua perintah Allah bisa dikembalikan kepada dua hal: mengagungkan-Nya dan menyayangi makhluk-Nya.”

Pernyataan itu mengingatkan kita bahwa manusia di muka bumi ini menjalani dua peran besar yang berelasi dengan Tuhan dan sesama makhlukNya. Peran besar yang dijalani manusia ialah mengagungkanNya. Kalau peran besar itu bisa dijalankan, berbagai bentuk perubahan besar di muka bumi bisa diperolehnya. Masalahnya, sudah kapabelkah manusia mengagungkan-Nya?

Faktanya, manusia tidak mudah menjadi sang pengagung. Banyak di antara mereka yang memahami doktrin untuk mengagungkan-Nya seolah-olah gampang mewujudkannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kegagalan itu tampak terbaca pada diri pemimpin negara, yang sering merelasikan pola kepemimpinannya dengan doktrin keagamaan.

Salah satu doktrin keagamaan yang sering disampaikan atau dideklarasikan pemimpin adalah soal janji. Baik ketika memimpin maupun sedang bernafsu merebut jabatan tertinggi, seseorang sering kali mengobral janji, yang dengan janji tersebut rakyat diharapkan memercayai dan mendukungnya. Janji itu bahkan diaktanotariskan atau dibuat dalam rumusan perikat an moral yang dikenal dengan pakta integritas.

Logis seorang pemimpin mengucapkan dan menabur janji. Janji merupakan parameter bersungguh-sungguh/tidaknya seseorang memimpin dalam mengimplementasikan pola kepemimpinannya. Dari janji itu ia terikat pada apa yang diucapkan atau diprogramkan. Janji bisa membuat seseorang yang menyampaikannya memasuki jagat kesakralan kerakyatan dan kebangsaan yang menuntutnya untuk berusaha maksimal dalam mewujudkannya.

Sayangnya, janji itu tidak selalu bisa terbukti. Tak sedikit di antara elite yang berjanji gagal mewujudkannya atau tidak ada keinginan menyejarahkannya. Ia hanya berjanji supaya konstituen atau rakyat memercayainya. Ia sebatas memengaruhi dan menguasai wacana, opini, dan hak opsi masyarakat, bukan bermaksud memberi bukti empirisnya.

Kata Khoiron Al-Fatah (2010), janji itu piagam moral teristimewa, yang dalam wilayah suksesi atau pergantian pimpinan negara dapat meyakinkan publik atau membelokkannya. Janji tersebut semakin berisiko tinggi di lisan pemimpin negara. Ketika yang mengucapkan elite fundamental kekuasaan, pengaruhnya bisa sangat besar dan dahsyat.

Rakyat yang mendapatkan janji palsu atau sekadar diberi mimpi dari sang pemimpin, tapi tak diberi bukti atau tak ada kepastian kapan janji pemimpin bisa dinikmatinya, maka logis kalau merasa menjadi objek yang dikhianati, dipermainkan, atau diperlakukan sekadar sebagai kuda tunggangan kepentingan eksklusif pemimpin.

Salah satu pemimpin bangsa yang sedang ditagih janjinya sekarang ini ialah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya, pada kampanye Pemilu Presiden 2009, Yudhoyono berjanji membagikan 9,3 juta lahan telantar kepada rakyat jika terpilih lagi. Kemudian pada 2010, di Istana Bogor, Yudhoyono kembali menegaskan komitmennya pada pembaruan agraria.

Janji SBY itu tidak bisa dikategorikan sebagai janji sepele. Selain yang meng ucapkan adalah pucuk pimpinan pemerintahan, itu juga menyangkut objek vital bangsa ini. Lahan yang digunakan sebagai objek vital yang diperjanjikan secara politik merupakan kebutuhan mendasar, yang menentukan keberlanjutan dan kesejahteraan hidup warga. Ketika objek yang diperjanjikan itu ternyata tidak mampu dijadikan instrumen yang menyejahterakan, membahagiakan, dan memberikan keadilan kepada publik, tidak salah manakala di tengah masyarakat terjadi konflik hingga radikalisme sosial.

Gagal Mencegah

Konflik lahan seperti tak surut melanda negeri ini . Negara seperti tak berdaya bahkan gagal mencegah dan menyelesaikannya. Konflik lahan paling mutakhir terjadi antara warga Danau Lancang, Tapung Hulu, Kampar, Riau, dan PT Riau Agung Karya Abadi. Pada peristiwa Minggu (29/7), warga membakar 70 rumah karyawan dan kantor perusahaan.

Sebelumnya, konflik lahan terjadi antara warga Limbang Jaya, Tanjung Laut, Ogan Ilir, Sumatra Selatan, dan PT Perke bunan Nusantara VII Cinta Manis. Pada peristiwa Jumat (27/7) itu, bocah berusia 12 tahun Angga bin Darmawan tewas dan bin Darmawan tewas dan lima orang lainnya men derita luka-luka. Ironisnya, kedua peristiwa itu berlangsung kurang dari lima hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta aparat negara menyelesaikan konflik agraria secara adil, damai, dan tertib. (Editorial Media Indonesia, 30 Juli 2012).

Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, “Akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan.“ Semakin sering memberikan impian atau menabur janji tanpa bukti empiris, negara ini layak dikategorikan sebagai pembentuk akar radikalisme sosial. Pada elemen warga yang sering disuguhi tontonan perilaku dan kebijakan elitis yang `menyiksa kejiwaan', gampang terbentuk sikap ketidakpuasan.

Hernando de Soto juga menegaskan atau menguatkan bahwa ‘rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan’. Penyakit kecewa seperti merasa dikhianati pemimpin merupakan penyakit psikologis yang tidak ringan. Akibat kekecewaannya itu, ia bisa tergiring melakukan tindak an ilegal dan radikalisme.

Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) mengemukakan keberingasan atau pertikaian yang bercorak menumpahkan darah tersebut terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens dan meluas dalam masyarakat. Ketika perasaan tertekan mengakumulasi, berbagai jenis konfl ik dan perlawanan akan mudah tersulut dan terbentuk di mana-mana.

Keberingasan atau kejahatan kekerasan tidak akan begitu saja bisa terjadi di tengah masyarakat kecuali ada atmosfer frustrasi akut yang diderita seseorang atau sejumlah orang. Tekanan kejiwaan yang berlangsung lama karena tiadanya sarana (seperti lahan) untuk membangun kesejahteraan atau membebaskan kemiskin an, serta masih kentalnya penyakit ketidakadilan yang diciptakan negara, mendorongnya untuk menjadikan kekerasan atau konflik sebagai opsi.

Atas nama hak, mereka tidak takut pada gesekan atau konflik berdarah. Mereka sudah tidak kuat menghadapi kondisi yang sekian lama merampas atau menjauhkan dari atmosfer yang berpeluang menyejahterakan dan memperlakukan mereka sebagai bangsa beradab. Mereka menuntut pengakuan bahwa diri mereka masihlah bagian dari rakyat negeri ini yang secara egaliter wajib mendapatkan tempat terhormat dalam menikmati segala jenis sumber daya bangsa.

Itu menunjukkan kekerasan individual dan massal berpotensi terjadi dan bisa marak di mana-mana akibat perasaan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah (negara), atau adanya ketertekanan, perlakuan tidak adil, disparitas distribusi sumber pendapatan, praktik dehumanisasi atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara.

Sosok pemimpin seperti SBY merupakan representasi negara atau potret kinerja rezim, yang seharusnya selalu ingat dengan janji yang belum disejarahkannya. Janji yang belum dilaksanakan, antara lain dalam bentuk penyediaan lahan bagi para petani atau rakyat kecil, merupakan janji fundamental dan sakral yang bisa mengakibatkan timbulnya reaksi radikal.

Reaksi radikal dan ‘berdarah’ dalam kasus perebutan lahan merupakan cermin gugatan terhadap janji yang belum terealisasi. Opsi politik bernama janji kepada rakyat wajib diwujudkan sebagai bukti kesungguhan dalam mencegah dan meminimalisasi reaksi itu, kecuali pemerintah atau SBY memang tidak seberapa menganggap ada eskalasi bahaya yang mengancam keberlanjutan hidup dan harmoni negeri ini, di samping memenuhi janji merupakan wujud penahbisan spiritualitas dalam mengagungkan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar