Mewujudkan
Swasembada Kedelai
Rosyid Hidayat ; Anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat
SUARA MERDEKA, 08
Agustus 2012
PERSOALAN harga kedelai
kembali menyita perhatian publik. Harga kedelai impor yang selangit membuat
produsen tahu dan tempe menjerit, bahkan sebagian dari mereka mogok berproduksi
beberapa hari. Perajin tahu dan tempe menghadapi pilihan sulit. Bila
menaikkan harga jual, khawatir dagangannya tidak laku, begitu juga jika
mengurangi ukuran. Kedelai merupakan komoditas pertanian yang sangat
dibutuhkan di negeri ini. Apalagi, masyarakat Indonesia akrab dengan makanan
yang berbahan baku kedelai, seperti tahu dan tempe.
Diperkirakan 60% rakyat Indonesia tiap hari mengonsumsi tahu dan tempe. Hal itu mencerminkan besarnya ketergantungan masyarakat kita terhadap kedelai. Namun data Forum Tempe Indonesia (FTI) menyebutkan negara kita termasuk salah satu negara pengimpor besar kedelai. Dalam setahun kita sedikitnya mengimpor 1,4-1,6 juta ton dari kebutuhan nasional 2,2 juta ton. Sementara Indonesia baru bisa memproduksi 600-800 ribu ton per tahun. Banyak faktor yang menjadi penyebab, seperti peningkatan jumlah penduduk yang berimbas pada peningkatan permintaan kedelai, alih fungsi lahan pertanian, harga kedelai lokal yang tidak kompetitif, dan sulitnya membuka lahan baru untuk menanam kedelai. Kenaikan harga kedelai impor juga disinyalir akibat permainan segelintir importir. Dengan hanya dikuasai 4-5 importir, tentu mudah ’’memainkan’’ harga, dan realitas itu makin menguatkan adanya kartel. Hal itu tidak menafikan bahwa persoalan kedelai muncul dari sektor hulu hingga hilir. Beberapa tahun lalu harga kedelai juga menjadi perhatian publik. Namun waktu itu persoalannya menyangkut harga yang murah dan membuat petani tidak mau lagi menanam kedelai. Swasembada Kedelai Menyikapi kerap terjadinya krisis kedelai, ke depan semua pihak harus punya komitmen sama untuk mewujudkan swasembada kedelai sebagai solusi kebijakan. Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, sebagaimana dijanjikan oleh Menteri Suswono berkomitmen mewujudkan swasembada kedelai tahun 2014. Kementerian Pertanian dan BPN akan memanfaatkan lahan terlantar seluas 7,5 juta hektare untuk bertanam kedelai. Saat ini petani lebih tertarik menanam padi atau jagung karena harga kedelai lokal masih rendah. Idealnya harga kedelai 1,5 kali lipat harga beras. Bagaimana mungkin petani tertarik menanam kedelai kalau harga masih rendah. Bila harga kedelai di bawah Rp 8.000/ kg, berarti per hektare bila menghasilkan 1,5 ton, petani hanya memperoleh Rp 12 juta. Sebagai pembanding, harga gabah Rp 4.000/ kg. Kalau per hektare padi menghasilkan 5 ton gabah petani bisa mendapatkan Rp 20 juta. Produktivitas juga menjadi problem. Selama kita masih menggunakan nonhibrida (transgenik) maka produktivitas masih di bawah 1,5 ton. Sampai saat ini para pakar kita masih pro dan kontra, sementara pada saat bersamaan tiap hari kita mengonsumsi kedelai transgenik impor Masalah lain adalah tidak terintegrasi program sebagai operasi khusus kedelai, selain bantuan benih unggul yang digabung dengan rozobium dan penetralisasi tanah agar kadar pH tanah yang ditanami kedelai di atas 4. Pemerintah juga perlu mengatur tata guna lahan. Seandainya dari 7,3 juta hektare lahan yang ada, bisa dipakai bergantian dengan padi maka kita bisa memproduksi minimal 1,5 juta ton kedelai. Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah irigasi. Saat ini banyak saluran tersier rusak sehingga banyak petani menggunakan pompa air, yang dalam kacamata ekonomi menjadi tidak efisien. Sesungguhnya banyak lahan di Jawa Tengah yang potensial dikembangkan, dari Purworejo, Kebumen, sampai Banyumas. Pemerintah tinggal mendorong dan memberi insentif supaya petani mau menanam kedelai. Kebijakan pembebasan bea masuk impor kedelai justru merugikan petani lokal dan hanya menguntungkan segelintir orang. Semestinya pemerintah tetap mengenakan bea masuk, dan dana itu dikembalikan kepada petani lokal sebagai insentif, lewat beragam bentuk. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar