Mengukur
Otentisitas Revolusi Suriah
Muhammad Ja’far ; Pengasuh
www.timur-tengah.com
KORAN
TEMPO, 07 Agustus 2012
Bagaimana
mengukur otentisitas sebuah revolusi? Dibalik: bagaimana menakar
relativitasnya? Kondisi politik di Suriah berada dalam tarik-menarik polemik
ini. Tak mudah menetapkan parameter otentisitas sebuah revolusi. Apalagi jika
sudah masuk ranah politik praktis: tolok ukurnya semakin berbeda-beda.
Menyangkut kepentingan-kepentingan politik praktis yang sangat lentur garis
idealistiknya.
Dalam sebuah
revolusi, intervensi "dari luar" (asing) terjadi dalam segala level
dan beragam bentuknya. Baik intervensi oleh kelompok penyokong revolusi
maupun pendukung status quo. Sebab, hasil revolusi sebuah negara akan
mempengaruhi negara sekitarnya (regional) dan juga lingkup politik global.
Intervensi menjadi bentuk lain dari strategi menjaga stabilitas kepentingan
antarnegara.
Apa yang
disebut dengan revolusi Arab mengalami hal serupa. Sebab, masa depan
negara-negara yang berevolusi tidak hanya akan mengubah peta politik Timur
Tengah, tapi juga politik global. Revolusi Tunisia, Mesir, dan Yaman tak
sepenuhnya bersih dari intervensi. Pengaruh luar ada, meski laten. Namun
takaran intervensinya tetap pada taraf minimal dan implisit. Tak ada campur
tangan secara langsung. Hanya dalam bentuk dukungan moril politik hingga
politik diplomasi. Sampai level ini, intervensi asing berada di zona lumrah
dan batas wajar.
Namun, ketika
revolusi berembus ke Libya, karakteristik intervensi asing mengalami perubahan.
Pola intervensi sudah eksplisit dan maksimal: dalam bentuk intervensi militer
NATO. Intervensi militer itu menjauhkan revolusi dari ambang otentisitasnya.
Naturalitasnya terkontaminasi. Efeknya, kaburnya batas tentang makna
revolusi: aspirasi rakyat dalam negeri atau dorongan kepentingan pihak luar
negeri (asing)? Wajar jika muncul kecurigaan soal politik minyak di balik
"proyek intervensi percepatan revolusi Libya".
Kini, Suriah
berada pada pusaran diskursus serupa. Makna revolusi kehilangan otentisitasnya,
terjebak pada relativitas politik. Revolusi kehilangan otonominya--jika
memang masih layak disebut revolusi. Hanya menjadi medium pertarungan politik
regional dan global. Logika politik publik bingung: gejolak politik Suriah
itu ekspresi murni dari revolusi, atau ekspresi intervensi politik dari
beberapa negara yang berkepentingan?
Cina, Rusia,
Iran, dan Libanon dituduh sebagai pihak yang berupaya menghentikan gerak roda
revolusi. Sedangkan Amerika Serikat, negara Eropa, dan beberapa negara di
Timur Tengah (Arab Saudi, Qatar, dan Turki) sendiri terus mendorong
dilegalisasinya "intervensi pihak ketiga", baik intervensi secara
militeristik maupun intervensi dalam bentuk lain, dengan tujuan memperkuat
posisi politik dan kekuatan militer kelompok oposisi.
Bashar Assad,
Presiden Suriah, beberapa kali menegaskan bahwa kemelut politik dalam negeri
merupakan hasil kreasi interventif militer beberapa negara rivalnya. Seperti
Arab Saudi dan Qatar. Bahkan secara eksplisit Assad menuduh Turki menjalankan
politik diplomasi bermuka ganda: di atas meja perundingan menegaskan
pentingnya otentisitas revolusi, namun di bawah tanah menyokong gerakan
intervensi militeristik. Posisi Turki sebagai tetangga Suriah sangat penting,
sebagai pintu masuknya intervensi militer bawah tanah.
Tuduhan Assad
tak sepenuhnya ekspresi politik status quo atau apologia politik. Berbagai
perlawanan politik memang diekspresikan dalam bentuk aksi anarkistik: bom
bunuh diri dan aksi bercorak teroristik, yang bukan hanya mengarah pada
titik-titik kekuasaan Assad, tapi juga kepentingan sipil. Fakta inilah yang
membuat Assad berkesimpulan bahwa tindakan tersebut bukan murni dari kelompok
oposisi dalam negeri, melainkan intervensi militer "bawah tanah"
negara luar.
Kejatuhan
Assad memang menjadi keuntungan politik tersendiri bagi beberapa negara
rivalnya. Perubahan konstelasi politik Suriah akan memberikan perubahan besar
pada masa depan kiblat politik Timur Tengah. Saudi dan Qatar sangat
diuntungkan dengan kondisi ini. Dua negara itu akan lebih leluasa menanamkan
pengaruh dan memperkuat aliansi politiknya. Suriah, di bawah kepemimpinan
Assad, dikenal lebih dekat pada Iran dan Libanon, dua negara rival politik
Saudi dan Qatar.
Bagaimana
mengukur dan mengembalikan otentisitas revolusi Suriah? Ada batas minimum
untuk menjaga otentisitas sebuah revolusi. Sebagai sebuah fenomena politik,
revolusi tidak mentoleransi intervensi militer asing, atas dasar argumentasi
apa pun. Karena intervensi militer akan merusak karakteristik otentik dari
revolusi dan rentan menciptakan repetisi atas dasar argumentasi yang sama.
Intervensi
militer NATO ke Libya telah memberi preseden negatif tentang naturalitas
revolusi Arab. Dan pola itu dicoba untuk direpetisi pada konteks Suriah.
Intervensi militer dipersepsikan sebagai bagian dari proses mempercepat roda
revolusi. Padahal, hal itu dua varian yang tidak hanya berbeda, tapi bahkan
bisa bertolak belakang. Intervensi bukan revolusi. Sebaliknya: revolusi tak
berjalan di atas legitimasi intervensi.
Menurut saya,
jika intervensi militer negara luar ataupun badan internasional (NATO)
terulang di Suriah melalui legitimasi PBB, hal itu akan membuat makna
revolusi Arab ini masuk pada inti pusaran relativitasnya. Batas-batasnya akan
kabur. Efeknya sangat fatal terhadap konstelasi politik selanjutnya di Suriah
maupun regional Timur Tengah. Suriah rentan menjadi medan perang kepentingan
antarnegara, berbasis militeristik. Ujungnya, perang saudara.
Lebih dari
itu, intervensi militer terhadap Suriah akan melegitimasi repetisi pendekatan
serupa terhadap negara lain yang potensial diembus angin revolusi. Bahrain,
Yordania, dan Arab Saudi sendiri beberapa bulan terakhir juga digoyang angin
revolusi. Bagaimana kita bisa menentukan garis batas otentisitasnya, setelah
preseden di Libya dan mungkin juga di Suriah? Masih adakah argumentasi yang
obyektif tentang keputusan: apakah akan dilakukan intervensi militer atau
tidak?
Rasanya,
batas-batas itu tidak akan terlihat lagi. Revolusi pun akan kehilangan jati
diri otentiknya, ditelan relativitas kepentingan politik regional dan global.
Sekadar ilustrasi, Arab Saudi tentu tidak menginginkan terjadinya revolusi
Bahrain, karena akan melemahkan pengaruhnya di negara tersebut, vis a vis Iran. Efeknya juga pada aliansi
politik negara tersebut di tingkat global.
Bagaimanapun,
kita semua menginginkan terbangunnya sebuah konstelasi politik yang
demokratis di Timur Tengah. Namun pencapaian tujuan itu tentu harus dengan
tetap mematuhi prosedur formal-etisnya. Seberapa pun sulitnya menjaga
otentisitas revolusi, batasan terbawah harus disepakati untuk dihindari. Agar
revolusi tetap menjadi ekspresi rakyat, bukan intervensi asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar