Selasa, 07 Agustus 2012

Garda Antikorupsi Bagi Polisi


Garda Antikorupsi Bagi Polisi
Reza Indragiri Amriel ; Dosen Psikologi Forensik
REPUBLIKA, 07 Agustus 2012

Media mengabarkan, Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) berinisial DS akan digelandang KPK dengan sangkaan korupsi alat simulator bagi para pelamar surat izin mengendara. Sebelumnya, saya menganggap skandal korupsi yang menyeret seorang mantan kapolri ke dalam bui beberapa tahun silam sebagai kasus paling memalukan korps Tribrata. Tapi, kini saya merevisi anggapan tersebut.

Mantan kapolri ini dipidana korupsi setelah ia tak lagi menjabat pucuk pimpinan Polri, sedangkan DS--kelak jika ia terbukti melakukan korupsi-melancarkan aksi busuknya saat ia masih menjabat polisi aktif dan kini memimpin sebuah unit kerja yang sejatinya harus menjadi sentra penanaman budi pekerti. Kendati korupsi (jika terbukti) itu ia lakukan semasa menduduki posisi lain, namun karena sekarang ia menjadi pimpinan lembaga pendidikan maka Akpol pun berisiko terkena getahnya. Setidaknya risiko bisa terjadi pada sisi pencitraan.

Tamsil klasik ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ menjadi sangat tepat untuk mengiaskan atau bahkan untuk mencibir kemungkinan efek kelakuan DS terhadap dimensi kejiwaan para taruna Akpol. Rekam jejak kotor sang komandan laksana antitesis yang menghanguskan semua hal ideal-normatif yang niscaya bertebaran di seluruh diktat pelajaran para taruna.

Kabar ini kembali mengingatkan saya pada sejumlah riset yang menyimpulkan bahwa personel polisi sudah melakukan occupational deviance, termasuk korupsi, sejak mereka menjalani penugasan pertama pascalulus dari akademi kepolisian. Penjelasan tentang salah satu bahkan penyebab dominan korupsi polisi tersebut adalah agitasi para personel senior yang mendegradasi moral personel junior.

Bergerak lewat tekanan jiwa korsa yang kotor, korupsi berfungsi sebagai mekanisme sosialisasi antarpersonel, bahkan sebagai ‘prasyarat’ promosi karier itu sendiri. Sebagian personel idealis yang mencoba tetap istiqamah jelas akan tersisih, bahkan dianggap penyimpang (deviant), karena mereka tidak mendemonstrasikan ‘keterampilan sosialisasi’ yang telah ditradisikan.

Jiwa korsa yang sama itu pula yang melanggengkan code of silence sebagai kesepakatan untuk saling melindungi sejawat seprofesi yang melakukan penyimpangan. Personel-personel junior yang mulanya sebatas pasif menerima uang secara bertahap belajar untuk aktif memfungsikan otoritas yang mereka punya sebagai instrumen penangguk uang. Korupsi yang awalnya bisa jadi dilatari kebutuhan (corruption by need), kian berakar pada waktu-waktu berikutnya menjadi korupsi sebagai cerminan kerakusan (corruption by greed). Pada titik tersebut, kenaikan gaji berapa pun tidak akan berpengaruh positif terhadap upaya menurunkan, apalagi menghilangnya perilaku koruptif.

Lantas, bagaimana mengatasi penyimpangan korupsi personel polisi tersebut? Dari sekian banyak formula yang direkomendasikan oleh para ilmuwan dan praktisi, saya ingin menekankan peran strategis lembaga pendidikan kepolisian semacam Akpol.

Dengan asumsi bahwa nature pekerjaan polisi rentan terhadap korupsi, sudah seharusnya lembaga pendidikan (lemdik) mengangkat problem ini sebagai bahasan kuliah para taruna. Tujuannya adalah agar, beserta inisiatif-inisiatif antikorupsi lainnya, para taruna memiliki pengetahuan tentang sisi-sisi rawan yang perlu mereka antisipasi dalam rangka memutus proses regenerasi perilaku koruptif tersebut.

Gagasan semacam ini, kuat dugaan saya, tidak mudah untuk direalisasikan. Kendalanya, pertama, adalah resistensi psikologis. Bahasan tentang pemolisian yang memangsa (predatory policing), yakni korupsi dan brutalitas, adalah tema-tema aib yang apabila diajarkan akan laksana menampar diri sendiri.

Kedua, kekhawatiran akan efek kontraproduktif materi itu sendiri. Bahasan tentang perilaku korupsi personel polisi justru dapat mengedukasi para taruna tentang seluk-beluk masalah kronis-sistemik ini, sehingga kelak mampu mempercanggih modus-modus korupsi yang telah ada selama ini.

Kedua kendala tersebut bisa diatasi. Terhadap kendala pertama, lemdik dapat menghadirkan pengajar tamu. Sedangkan untuk mengatasi kendala kedua, seperti saya tuliskan di atas, muatan antikorupsi di Akpol perlu disinergikan dengan langkah-langkah pemberantasan korupsi di seluruh lini organisasi kepolisian.

Memasukkan materi ajar tentang korupsi personel polisi ke dalam kurikulum lemdik selaras dengan pemikiran saya selama ini bahwa unit lemdik dan unit sumber daya manusia adalah mesin ideal untuk mereformasi organisasi Polri. Pada lapis paling mendasar, cetusan ide itu hanya bisa diwujudkan apabila persepsi yang kadung melekat selama ini terhadap lemdik dapat diubah.

Lemdik perlu didesain menjadi lembaga prestisius yang berisikan para insan terbaik Tribrata sebagai tenaga pendidiknya. Penting ditegaskan, lembaga diklat kepolisian terlalu indah untuk disalahfungsikan sebagai tempat buangan bagi personel yang dianggap bermasalah, pun bukan ruang terapi bagi calon-calon pensiunan agar tidak menderita sindroma pascakuasa.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar