Rabu, 08 Agustus 2012

KPK Tersandera MOU


KPK Tersandera MOU
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)  
SINDO, 08 Agustus 2012


Dalam kasus simulator mengemudi (SM) KPK telah menetapkan tersangka DS, seorang jenderal polisi. Aksi KPK ini telah menimbulkan ketegangan antara Polri dan KPK, khususnya ketika KPK melakukan penggeledahan di Kantor Korsatlantas.

Timbul pro dan kontra dalam masyarakat lembaga mana yang lebih berwenang. Sebagian besar masyarakat dan para ahli hukum merujuk pada UU KPK yang telah memberikan kewenangan kepada KPK. Faktanya benar bahwa KPK telah melakukan penyelidikan/penyidikan lebih dulu dari Kepolisian (Bareskrim Mabes Polri) dan Bareskrim tidak membantah hal tersebut.

Ketegangan tersebut juga pro dan kontra tidak perlu terjadi jika kita dengan jernih dan objektif mendalami kasus ini khususnya dari landasan kedua institusi itu bekerja yaitu UU KPK, KUHAP, dan UU Kepolisian RI, dan Kesepakatan Kerja Sama untuk optimalisasi pemberantasan korupsi (KB) tanggal 29 Maret 2012. Rujukan KB adalah tujuh UU termasuk UU KPK dan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Polri dan UU Kejaksaan; dua PP dan satu inpres.

KPK bersikukuh dengan UU KPK, sedangkan Polri juga bersikukuh dengan KB yang juga telah ditandatangani oleh pimpinan KPK (Abraham Samad), Jaksa Agung, dan Kapolri pada 29 Maret 2012. Dampak dari kebersikukuhan ini terhadap penanganan barang bukti yang dalam penguasaan baik KPK maupun Polri dan disepakati akan berbagi informasi dan barang bukti. Kasus simulator bukan sekadar masalah hukum tentang siapa berwenang terhadap apa atau siapa yang lebih dulu memiliki kewenangan terutama pascapemberlakuan MoU (memorandum of understanding) tiga pihak pada Maret 2012.

Dalam MoU telah disepakati beberapa butir kesepakatan. Pertama, melaksanakan pengendalian bersama (joint-investigation) yang tidak dikenal dalam UU KPK. Kedua, melaksanakan koordinasi dan supervisi bersama-sama terhadap kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat, dalam UU KPK kewenangan tersebut hanya ada pada KPK. Ketiga, penetapan siapa lebih dulu menangani korupsi tidak lagi dilandaskan pada siapa yang lebih dulu melakukan penyelidikan, tetapi juga didasarkan atas kesepakatan jika salah satu pihak keberatan.

Keempat, wewenang pengalihan kasus korupsi tidak hanya dapat dilakukan KPK terhadap Polri atau kejaksaan, tetapi juga dapat dilakukan kepolisian dan kejaksaan, sedangkan ada perbedaan besar antara pengertian “pengambilalihan” (versi UU KPK) dan “pengalihan”(versi MoU). Kelima, saling beritahu kepada atasan instansi penegak hukum jika ada pengawai/anggota yang melakukan tipikor. Keenam, batas waktu pemberitahuan penyidikan dari kepolisian atau kejaksaan, 14 hari kerja (dalam UU KPK) diubah menjadi paling lama tiga bulan sehingga tersisa waktu 16 hari kerja tanpa ada koordinasi dan supervisi dari KPK terhadap kepolisian atau kejaksaan.

Ketujuh, konsep supervisi terhadap institusi (Polri dan Kejaksaan dalam UU KPK) disubstitusi dengan konsep supervisi terhadap kasus korupsi (dalam MoU). Ketujuh butir kesepakatan tersebut telah menciptakan beberapa kondisi. Pertama, wewenang koordinasi dan supervisi tidak lagi hanya wewenang KPK, apalagi fungsi “trigger mechanism”. Kedua, ketiga institusi tersebut sama-sama memiliki wewenang pencegahan dan pengembalian keuangan negara dan kewenangan melindungi “peniup peluit” dan “tersangka” yang kooperatif.

Ketiga, kewenangan KPK setara dengan kepolisian dan kejaksaan kecuali penyadapan pembicaraan dan SP3 dan pemblokiran rekening. Sekalipun MoU dari aspek hukum bukan hukum (UU) dan tidak setara, tetapi MoU merupakan “gentlemen agreement”: yang mengandung muatan moral dan juga kewajiban moral (moral obligation) yang harus ditaati ketiga Institusi tersebut. Ini sesuai adagium hukum perjanjian bahwa setiap perjanjian merupakan undang-undang terhadap para pihak yang menyepakati perjanjian tersebut.

Atas dasar itulah, MoU telah “menyandera” pimpinan KPK untuk saling berkoordinasi dalam setiap langkah hukum apa pun yang akan dilaksanakan KPK termasuk penggeledahan terhadap dua institusi tersebut, begitu pula sebaliknya. Tidak ada lagi celah hukum dengan MoU tersebut bagi KPK untuk dapat bertindak cepat dan segera terhadap dugaan korupsi di kedua institusi tersebut. Jika KPK bersikukuh menangani kasus simulator, begitu pula Polri, terjadilah sengketa kewenangan dan harus kembali duduk bersama mengkaji kembali MoU untuk menemukan solusi bersama.

Kejaksaan Agung tidak dapat berdiam diri dalam kasus ini terutama setelah ada pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Mabes Polri kepada Kejaksaan Agung. Wakil Jaksa Agung Darmono sudah benar menegaskan tidak ada mekanisme penolakan SPDP sesuai KUHAP, melainkan hanya melanjutkan atau tidak melanjutkan berdasarkan petunjuk teknis dari jaksa peneliti.

Kejaksaan Agung sebagai salah satu pihak dalam MoU seyogianya proaktif membahas SPDP ini dengan Polri dan KPK sebagai para pihak dalam MoU tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya sebelum berkas perkara dilimpahkan oleh Mabes Polri untuk mencegah konflik semakin berlanjut antara KPK dan Polri. Pembatalan MoU tidak dapat dilakukan KPK secara serta-merta dengan alasan bertentangan dengan UU KPK kecuali salah satu pihak mengundurkan diri dari kesepakatan bersama tersebut.

Selama tidak ada pembatalan atau pencabutan oleh para pihak, selama itu MoU tetap mengikat para pihak. Atas dasar uraian tersebut, polemik tentang siapa yang memiliki wewenang (lebih dulu) dalam kasus simulator menjadi tidak relevan lagi baik bagi KPK dan Polri.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar