Pertanian
Organik
sebagai
Pertanian yang Berkelanjutan
Agus Pakpahan ; Ekonom
Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
KORAN TEMPO, 08 Agustus
2012
Mengamati
perkembangan pangan dan komoditas pertanian akhir-akhir ini, khususnya
perkembangan dalam harganya yang dicirikan oleh tren yang meningkat, yang
merupakan kebalikan tren harga-harga komoditas pangan dan pertanian selama
kurang-lebih setengah abad terakhir abad ke-20, sangatlah menarik. Apalagi
kalau kita mengingat bahwa sebagian besar rumah tangga di negara-negara
berkembang, khususnya Indonesia, lebih dari setengah pengeluaran pangannya
dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, tidak seperti pangsa
pengeluaran pangan rumah tangga di negara maju, yang proporsinya kurang dari
10 persen. Karena itu, bukan hanya kita harus meningkatkan pendapatan rumah
tangga secara keseluruhan, tetapi yang lebih penting dan mendesak lagi adalah
mencari jalan atau cara untuk bisa menekan biaya produksi pertanian tanpa
mengorbankan produktivitasnya.
Kultur yang berkembang
pada saat ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat
ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan harga
energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat. Selain itu,
ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal dari luar sistem
pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak berkembang secara organik,
yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil kerja yang berproses di dalam
tubuh pertanian, melainkan yang bergantung pada faktor eksternal. Lebih jauh
lagi, pertanian Indonesia selama ini menggantungkan 100 persen kebutuhan
unsur fosfat (P) dan potasium (K) melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai
impor pupuk Indonesia meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4
miliar pada 2010 (BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada
nilai ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari
hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48 juta.
Selain mahal,
pertanian yang berbasis pada faktor eksternal di atas memberi banyak dampak
negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas,
polusi air, dan kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan
secara implisit bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria
keberlanjutan, baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.
Pertanian
organik dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan
perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik ekosistem
alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi sebagai faktor
lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi dari sistem pertanian
tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau gen yang mengatur pola
hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari dalam tubuh itu sendiri.
Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok kehidupan itu sendiri. Tentu saja
faktor lingkungan turut menentukan sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau
variasi hasil, serta hal lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik
tersebut secara keseluruhan.
Khudori (Koran
Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian, menyebutkan bahwa sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta
hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik
< 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen),
dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah
dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan
sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat
yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat
kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem pertanian yang
diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan
pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.
Kondisi yang
disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic. Sayang sekali,
dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi permasalahan atau
kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya
pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang akhirnya
berdampak negatif terhadap implementasinya.
Pemahaman yang
perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah pertanian
modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian yang
didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang,
walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi. Pertanian organik
dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro organisme sebagai unsur
organik dan lingkungannya, seperti tanah dan faktor cuaca dalam kaitannya
dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak pada suatu wilayah yang telah
dirancang sebelumnya sebagai kawasan pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah
hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun
peternakan yang sebagian besar input-nya
adalah unsur kehidupan (mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan
organik yang telah diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang
dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau
bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang besar,
misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala bilangan
megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkembang
pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.
Konsep keterpaduan komoditas,
wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada suatu wilayah dengan skala
ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang diintegrasikan oleh suatu badan
usaha, misalnya yang saya namakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan
institusi operasionalisasi pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam
tulisan ini. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana
diuraikan adalah landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar