Minggu, 05 Agustus 2012

Injeksi Kekerasan


Injeksi Kekerasan
Hery Firmansyah ; Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
REPUBLIKA, 04 Agustus 2012


Bulan yang penuh dengan kasih sayang dan keberkahan ini entah mengapa kemudian dihiasi dengan berita-berita kekerasan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri tepatnya di Myanmar teman-teman Muslim etnis Rohingya mendapatkan perlakuan yang sungguh tidak manusiawi oleh junta militer yang berkuasa. Hal yang sangat membuat miris adalah tragedi pembantaian kemanusiaan ini mendapat respons yang lambat dan tidak sebombastis semisal kasus penembakan James Eagan Holmes pada saat pemutaran film perdana Batman.

Apakah puluhan nyawa yang dicabut oleh Holmes tidak sama nilainya dengan ratusan nyawa etnis Rohingya? Pembelajaran dari ini semua adalah terkadang kita harus melihat sebuah kenyataan dari sebuah penafsiran yang dangkal dan berstandar ganda (double standard).

Mengutuk aksi kekerasan bukan karena berlandaskan sisi subjektif semata, dengan hanya melihat sisi korban yang mewakili suatu agama tertentu, karena tentu hal ini akhirnya hanya akan kembali menghidupkan perang kosmik. Dalam konteks ini pelaku beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan dengan mencabut nyawa orang lain adalah ekses lain yang ditimbulkan dari sebuah skenario Tuhan semata.

Kita mungkin terlalu naif jika hanya melihat fakta yang jauh dari pelupuk mata kita, karena di negara ini kekerasan masih ada. Setidaknya kasus bentrok para petani dengan aparat keamanan di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, menghasilkan fakta yang tak terbantahkan seorang anak berusia 13 tahun tewas. Fakta baru mungkin belum dapat diungkap lebih jauh, karena aparat keamanan membantah keras bahwa ada tembakan yang menewaskan korban tersebut.

Untuk meredam gejolak amarah yang akan mengakibatkan kekerasan yang lebih meluas, maka pihak Polri merasa perlu menerjunkan tim pencari fakta (TPF) untuk mengusut tuntas kejadian tersebut. Namun, kekecewaan yang timbul adalah TPF tadi hampir selalu gagal memutus rantai kekerasan, bahkan untuk suatu daerah yang sama terulang kembali kejadian yang sama.

Pola usang ini sebenarnya tak terlalu dipersoalkan karena dengan metoda apa pun yang ditempuh, setidaknya dapat menemukan sebuah kebenaran dari setiap goresan kekerasan yang terjadi di negara ini, namun hasilnya berakhir dengan begitu kontraproduktif. Kekerasan seakan tidak pernah terpisahkan dalam penyelesaian perselisihan yang erat kait annya dengan hajat hidup orang banyak, baik di tanah pertambangan, sektor kelapa sawit, bahkan penghapusan terminal bayangan sekalipun, pelakunya? Bukan hanya aparat keamanan, tapi juga masyarakat yang mengatasnamakan kelompok yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Dilema mungkin saja hadir di tengah kerinduan masyarakat akan hukum yang tegas dan ini dapat menjadi senjata pamungkas aparat keamanan untuk mewujudkan bentuk perlindungan hukum dengan muntahan peluru senjata otomatis. Dilema lain muncul ketika tindakan tegas aparat disitir oleh provokator untuk leluasa bergerak memuluskan aksinya. Pertanyaan yang kemudian mengerucut adalah bagaimana kemudian memutus rantai kekerasan semacam ini?

Sangat sulit tentunya untuk dapat memberikan jawaban yang layak karena perbedaan sudut pandang dan mungkin saja kepentingan yang tercipta dalam memberikan tanggapan tentunya akan sangat memengaruhi, apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja? Tentunya kita akan menjawab dengan tegas tidak.

Menyikapi dari titik awal keberpihak an kepada kebenaran dan kepentingan negara di atas segalanya tentu akan menjadikan siapa pun, baik aparat keamanan maupun masyarakat berada pada bingkai penyikapan yang bijak yang tidak akan melakukan suatu hal yang merugikan bagi kehidupan orang lain. Kondisi ideal ini mungkin sulit untuk ditemukan bahkan dibentuk dengan mudah, karena sikap semacam itu akan terbentuk jika kehadiran hormat (respect) antarsesama sudah tumbuh di antara kita.

Di luar itu, untuk dapat meminimalisasi kuatnya dorongan nafsu melakukan kekerasan adalah perlunya menghadirkan kualitas aparat keamanan yang diterjunkan dengan kemampuan diplomasi baik, menghindarkan kuantitas personel yang masih berusia belia. Budaya jemput bola untuk mendatangi kerumunan massa yang sedang terbakar amarah dengan penuh rasa kekeluargaan yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi dalam wilayah hukum yang dikuasakan kepadanya, tentunya akan memberikan ruang komunikasi yang baik.

Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih dewasa dalam menyikapi informasi yang belum tentu benar adanya. Tidak jarang mereka yang ikut terlibat aksi yang akhirnya mengarah pada kekerasan itu sekadar ikut-ikutan. Padahal, sejumlah sanksi pidana menunggu mereka. Hal ini harus dipahami karena fenomena yang tertangkap di lapangan masih banyak orang yang berpikir --dikarenakan pengetahuan hukum yang belum cukup-bahwa jika aksi massa dilakukan maka seolah aksi tersebut menjadi legal atau sah saja di mata hukum.

Stigmatisasi hukum semacam ini harus dijawab oleh aparat dengan penanganan hukum yang profesional. Siapa pun yang terbukti bersalah harus dihukum setimpal. Jika kita cermat membaca, maraknya aksi kekerasan dimunculkan oleh sikap apatis dan permisif aparat keamanan, yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memancing gangguan ketertiban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar