Sabtu, 04 Agustus 2012

LPTK Mandul, UKG Pemborosan

LPTK Mandul, UKG Pemborosan
( Wawancara )
HAR Tilaar ; Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
SUARA KARYA, 04 Agustus 2012


Untuk Indonesia yang daya jangkau internetnya belum sampai pelosok negeri, perhelatan Uji Kompetensi Guru (UKG) secara online ditanggapi Prof Dr HAR Tilaar, Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sebagai tindakan yang lebay alias berlebihan. tak heran, belum sampai tiga jam UKG online digelar, Senin (30/8) pagi, ratusan ribu guru langsung "menjerit" akibat gagal akses.

Menurut suami pengusaha kosmetik Martha Tilaar ini, jika pemerintah ingin melakukan pemetaan kualitas guru, hal itu bisa dilakukan tanpa perlu lewat ujian secara online. Karena, jelas, upaya itu hanya akan menghambur-hamburkan uang negara, mengingat hampir sebagian besar guru Indonesia belum internet minded.

"Jika merujuk pada Undang-Undang (UU) No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UKG yang dilaksanakan pemerintah ini menyalahi UU," kata Prof Dr HAR Tilaar dalam perbincangan dengan wartawan Harian Umum Suara Karya, Tri Wahyuni dan fotografer Annisa Maya di kediamannya yang asri di Jakarta, Rabu (1/8).

Pria kelahiran Tondano, Sulawesi Utara, 16 Juni 1932 ini mengulik Bab 4 dalam UU No 14 Tahun 2005 yang mengatur tentang kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi. Bahwa secara tegas dinyatakan bahwa semua pekerjaan itu dilakukan oleh perguruan tinggi bernama LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Bukan oleh sebuah badan bentukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seperti yang ada saat ini.

"Ada 12 perguruan tinggi LPTK negeri yang jadi "mandul" karena tidak tahu harus melangkah ke mana," ujar doktor lulusan Universitas Bloomington, AS itu.
Dua belas perguruan tinggi eks IKIP yang tahun 2000 lalu beralih status menjadi universitas, menurut alumnus Universitas Indonesia itu, terlihat mulai kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pencetak dan pengelola guru. Mereka "mandul" karena selalu "kedodoran" sebagai universitas, sementara Fakultas Kependidikannya jalan di tempat.

"Saatnya memperkuat kembali keberadaan 12 perguruan tinggi LPTK negeri. Masing-masing LPTK bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu guru yang ada di wilayahnya, termasuk guru baru yang akan ditempatkan di daerah itu. Jika ada guru yang tak berkualitas di daerah itu, pemerintah tinggal minta pertanggungjawaban LPTK setempat," ucap Prof Tilaar menandaskan.

Komentar Bapak soal pelaksanaan UKG yang terkesan "amburadul" karena terjadi gagal akses?

Kejadian semacam itu tidak heran jika melihat kondisi Indonesia yang sebenarnya belum termasuk masyarakat melek teknologi. Jangan bandingkan semua daerah sama dengan Jakarta. Banyak guru kita di pelosok, yang bahkan belum pernah menyentuh komputer. UKG itu cuma pemborosan dan menghambur-hamburkan uang negara.

Tetapi, lewat UKG Online, menurut Mendikbud, akan ketahuan peta kemampuan guru Indonesia?

Untuk mengetahui kemampuan guru yang bagus sebenarnya tidak perlu lewat UKG. Tetapi, bagaimana melakukan pembinaan guru berkelanjutan. Karena, persoalan minimnya guru berkualitas itu berpangkal pada lemahnya pembinaan guru saat ini. Itu yang terpenting. Melakukan pembinaan saja tidak, bagaimana menilai hasil UKG?

Dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas dinyatakan bahwa kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi dilakukan oleh perguruan tinggi LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan) milik pemerintah. Saya lihat sekarang pengelolaannya diserahkan ke badan yang dibentuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengurusi guru.

Selain itu, kompetensi apa yang diujikan juga tidak jelas. Dalam UU No 14/2005 disebutkan ada 4 jenis kompetensi, yaitu paedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Jenis kompetensi apa yang diujikan di UKG pun tak jelas. Apa yang ingin dicapai pemerintah, jika landasan dari UKG juga tak jelas?

Tetapi, persoalannya, LPTK yang ada sekarang tak sekuat dulu, mengingat 12 LPTK negeri yang ada statusnya sudah berubah menjadi universitas?

Memang disayangkan, 12 LPTK negeri eks-IKIP yang sejak tahun 2000 lalu mengubah statusnya menjadi universitas terkesan "mandul" dalam pengembangan ilmu kependidikannya. Sedangkan program studi di luar pendidikan juga terkesan kedodoran dalam mengejar kualitas PTN non-IKIP.

Tak ada cara lain, selain mereorganisasi dan restrukturisasi LPTK yang ada. Jika kondisi ini dibiarkan terus, dampaknya terhadap anak didik. Karena, jika dari keilmuan, alumnus eks-IKIP memang mumpuni, tetapi dari kemampuan mengajar sungguh menyedihkan. Karena, tidak ditunjang ilmu-ilmu pendidikan terbaru. Akibatnya, ketika para guru mengajar, suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku.

Artinya, guru yang ada sekarang ini hanya kuat di kemampuan akademik, tetapi miskin dalam teknik mengajar?

Benar. Karena, universitas eks-IKIP sibuk mengejar keilmuannya sebagai universitas, sementara ilmu kependidikannya terabaikan. Maka, tak heran, jika pengajaran di sekolah cenderung rutin dan belum mengarahkan siswa-siswa pada tindakan yang bersifat reflektif.

Pengajaran yang sebatas kognitif, belum menyentuh penentuan sikap dan komitmen dalam melakukan tindakan. Jika pendidikan dimaknai rangkaian tindakan para guru, maka guru harusnya bisa menjadi teladan bagi siswanya, dan tidak sekadar menjadi tukang mengajar.

Padahal, justru keteladanan guru penting untuk membentuk karakter siswa, tak hanya soal kecerdasan?

Berbicara soal guru, tak ada salahnya kita tengok negara Finlandia yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik di sana justru mendaftar LPTK.

Guru di Filandia tidak mengajar dengan metode ceramah, komando atau menjejali siswa dengan tugas-tugas. Karena, terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan.

Kalau mendapat pekerjaan rumah (PR), siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswanya. Karena, kritikan akan membuat siswa malu, yang pada akhirnya justru menghambat anak untuk belajar.

Lantas, apakah sebaiknya pelaksanaan UKG Online harus dihentikan?

Sekali lagi, UKG sudah menjadi proyek yang tidak bisa dihentikan begitu saja, karena dananya sudah keluar.

Tetapi, di masa depan, harus ada upaya yang lebih terstruktur. Karena, kelemahan dalam pembelajaran semacam itu tak bisa diatasi hanya dengan melihat hasil UKG, setelah itu hanya menjadi hiasan di meja para pejabat.

Sudah saatnya pemerintah memperkuat kembali keberadaan LPTK dari universitas eks-IKIP sebagai wadah pembinaan guru mulai dari pencetakan hingga evaluasi dan monitoring. LPTK juga perlu menetapkan standar-standar tinggi untuk lulusannya agar anak-anak bangsa ini diajarkan oleh para guru yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar