Rivalitas
atau Penegakan Hukum?
Indriyanto Senoadji ; Guru Besar
Hukum Pidana,
Pengajar
Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
KOMPAS,
07 Agustus 2012
Polemik antarpihak penegak
hukum bukan merupakan wacana baru. Hongkong, Italia, Rusia, dan sejumlah negara
lain mengalami hal serupa manakala terjadi pembaruan hukum yang diikuti dengan
perubahan legislasi atas kewenangan lembaga penegak hukum.
Di Indonesia, beberapa waktu
lalu, proses hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung
(MA), KPK dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), KPK dengan Kejaksaan Agung,
KPK dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun KPK dengan
DPR dianggap sebagai rivalitas kelembagaan. Padahal, setiap lembaga memiliki
intensitas masalah masing-masing.
Pengamat hukum dan politik
pun ikut berargumen yang kadang justru membuat bingung publik sehingga antara
euforia dan fobia penegakan hukum menjadi rancu.
Saat ini yang sedang ramai
adalah penyidikan KPK terhadap Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Korlantas Polri). Kepala Korlantas terkait kasus simulator
SIM atas dugaan penyalahgunaan wewenang, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tipikor.
Persoalannya, apakah pengungkapan
kasus ini masuk rivalitas antarpenegak hukum atau lebih merupakan eksistensi
kuat penegakan hukum?
Sama di Depan Hukum
Pertama, pendekatan
rivalitas institusi sangat mengemuka dalam kasus ini. Pengungkapan kasus
dianggap sebagai rivalitas dan usaha melumpuhkan integritas penegak hukum
Polri. Padahal, tindakan penyidikan, baik oleh kepolisian maupun KPK, adalah
hal yang wajar dalam proses hukum, sama halnya dengan proses hukum penyidikan
KPK terhadap lembaga negara Polri.
Semua proses hukum dilandasi
prinsip negara hukum, yaitu adanya kesamaan di hadapan hukum. Tidak ada
imunitas hukum atas pribadi, swasta, ataupun
personalitas kelembagaan negara.
Aturan mengenai
penyalahgunaan pada Pasal 3 UU Tipikor dalam ranah hukum pidana ini sebenarnya
merupakan perluasan dengan mengadopsi pemahaman yang ada dalam ranah polemik
hukum administrasi negara. Pasal 3 sebenarnya berlaku bagi penyelenggaraan
negara termasuk penegak hukum, seperti jaksa, polisi, dan KPK.
Ketentuan tersebut tidak
saja merupakan kontrol terhadap perlindungan hak asasi manusia (saksi, korban,
tersangka), tetapi mengikat pula dari tindakan penegak hukum yang sewenang-
wenang ataupun yang melampaui wewenang, tidak terkecuali KPK dan Polri.
Kedua, pendekatan
disharmonisasi dihindari dalam mengungkap kasus ini. Kita memahami bahwa
sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK
memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan luar biasa atau extraordinary power yang tidak dimiliki
institusi lain.
Maka menjadi wajar apabila
masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan yang luar
biasa dari KPK. Dengan wewenang KPK yang luar biasa, diharapkan pula segala
bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat menjadi satu bagian dalam tatanan
pemberantasan korupsi.
Namun, wewenang luar biasa
yang dimiliki KPK harus diselaraskan dengan tata cara norma legislasi mengingat
kedua lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan esensial sebagai institusi
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Dengan wewenang luar biasa, Pasal
2 dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai norma hukum memberikan kontrol terhadap
penggunaan wewenang dari penegak hukum yang dapat saja merugikan masyarakat,
saksi/korban, dan tersangka.
Kewenangan
Penyalahgunaan wewenang
berarti penegak hukum memiliki kewenangan tetapi menggunakannya secara
menyimpang atau tidak memiliki kewenangan tetapi bertindak seolah punya
wewenang dan menggunakannya dengan melanggar prosedur meskipun tujuan tercapai.
Makna penyalahgunaan wewenang inilah yang menjadi parameter ada tidaknya dugaan
pelanggaran oleh Kepala Korlantas.
Dengan demikian, seharusnya
pengamat dan aktivis bersikap bijak dengan memberikan kesempatan kepada KPK
untuk melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang diduga menyalahgunakan
wewenang, termasuk Polri.
Ketiga, pendekatan
dislabelisasi merupakan bagian yang harus ditiadakan dalam penegakan hukum.
Dari sisi ini, untuk menghindari labelisasi KPK dari pencitraan kelembagaan,
sebaiknya tindakan KPK diselaraskan dengan tata cara norma prosedur tetap di
antara KPK dengan Polri maupun penegak hukum lain, terutama dalam melaksanakan
upaya paksa. Hal ini mengingat KPK dan Polri adalah lembaga penegak hukum yang
memiliki hubungan esensial sebagai institusi penegak hukum dari sistem
peradilan pidana.
Harus diingat bahwa Pasal 2
dan Pasal 3 UU Tipikor ini berlaku tidak saja terhadap KPK, tetapi juga pada
kejaksaan dan Polri atau aparatur negara lain yang menyalahgunakan wewenang
dalam menjalankan tugas.
Keempat, bila memang terjadi
rivalitas dan disharmonisasi di antara lembaga penegak hukum, seperti KPK,
Polri, dan kejaksaan, ini semata tercipta karena sistem regulasi diskriminasi
kewenangan yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, perlu
adanya suatu balance and equal power yang tidak diskriminatif untuk semua
penegak hukum demi kebangkitan citra penegak hukum yang tidak subordinatif.
Perbedaan pendapat di
kalangan pengamat hukum dan aktivis, akademisi dan praktisi, baik yang pro
maupun kontra mengenai penyidikan kasus simulator SIM oleh KPK, haruslah
dianggap sebagai wacana demokratisasi yang menghargai perbedaan opini.
Alangkah bijaknya bila Polri
bisa memahami kewenangan KPK tidak dalam konsep kekuasaan dan pencitraan
lembaga, karena opini yang demikian akan menimbulkan kekuasaan otoriter yang
permisif seolah KPK, Polri, dan kejaksaan merupakan lembaga yang kebal
penegakan hukum. Semua ini untuk menghindari anggapan apa yang dilakukan KPK
sekarang sebagai politik balas dendam KPK atas kasus cicak versus buaya dulu.
Proses hukum seharusnya
dihargai agar dogma penegakan hukum dari judge made law menjadi pilar penentu
kebenaran tidaknya proses hukum KPK terhadap Polri. Sikap bijak telah
ditunjukan lembaga negara yang pernah diproses KPK, seperti Mahkamah Agung,
DPR, dan Kejaksaan Agung. Maka, sebaiknya resistensi pemeriksaan kasus
simulator SIM ini disingkirkan agar tidak menimbulkan kesan lembaga Polri tidak
transparan dan tidak apresiasi terhadap penegakan hukum.
Publik
pun berharap KPK menangani kasus ini karena integritasnya, bukan semata
pencitraan pemberantasan korupsi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar