Polri Panik
Tjipta Lesmana ; Mantan Asisten Ombudsman Republik Indonesia,
Dosen Tamu Sespim dan Sespati Polri
SINAR HARAPAN, 08
Agustus 2012
Di depan sekitar 70 siswa SESPATI
Kepolisian RI–semua berpangkat Komisaris Besar Polisi–saya pernah
memperingatkan setiap perwira Polri untuk tidak korupsi. “Bodoh kalian jika
korupsi!” teriak saya, seraya menggebrak mimbar.
“Sadarkah Anda apa akibat tindakan
tercela korupsi? Bukan hanya karier Anda yang hancur, tapi aib terbesar yang
ditimbulkan oleh perbuatan korupsi adalah rusaknya citra instansi Polri.
Selain itu, yang juga merasa malu dan aib adalah istri dan anak-anak Anda,
orang tua, mertua, besan, menantu, keponakan, sepupu dan lain-lain. Semua
menanggung aib!”
Senin, 6 Agustus kemarin, di hadapan
1.376 perwira tinggi dan perwira menengah yang dikumpulkan di kampus
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), tidak jauh dari Markas Besar Polri,
Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo memperingatkan setiap perwiranya untuk
tidak berkorupsi. Siapa saja yang korupsi, pemimpin takkan segan-segan
menindak, karena telah mencemarkan nama baik Polri.
Instansi tercoreng dan aib. Apakah
itu pula sebabnya Polri terkesan melindungi atau menyembunyikan Inspektur
Jenderal Polisi Djoko Susilo, Kepala Korps Lalu Lintas Polri, perwira tinggi
yang diduga terlibat dalam kasus mark-up harga alat simulator yang dibeli
untuk keperluan permohonan Surat Izin Mengemudi (SIM)?
Kapolri merasa perlu memberikan
wejangan kepada 1.000 lebih perwira tinggi dan perwira menengah terkait kasus
yang diduga menimpa beberapa anak buahnya.
Kasus ini begitu menghebohkan, Polri
terkesan panik. Panik terakhir yang menghujam Markas Besar Polri di Jalan
Tronojoyo No 1 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (alm) memecat Jenderal
Bimantoro sebagai Kapolri, sekaligus mengangkat Komisaris Jenderal Polisi
Chaeruddin Ismail sebagai pejabat sementara Kapolri.
Ratusan jenderal dan perwira
menengah Polri tidak menerima keputusan presiden. Maka, untuk pertama kali
Polri dipimpin oleh dua Kapolri. Para jenderal dan perwira ”pro Bimantoro”
pun berkumpul di Markas Besar Polri sebagai simbol show of force untuk mendukung Bimantoro.
Pengumpulan 1.000 lebih perwira
Polri di PTIK tampaknya juga sebagai show
of force Polri untuk melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
kejadian tarik-menarik perkara simulator SIM. Usai pertemuan di PTIK, Kapolri
juga menggelar pertemuan dengan para sesepuh dan mantan Kapolri di tempat
yang sama.
Kapolri rupanya memerlukan “peluru”
yang cukup untuk menghadapi pemimpin KPK siang harinya, pertemuan yang kedua,
yang ternyata gagal digelar. Pada waktu yang bersamaan, di kantor KPK kawasan
Kuningan, Ketua KPK Abraham Samad juga menghimpun para staf intinya untuk
membahas pertemuan dengan Kapolri. Apa yang harus kita bawa ke pemimpin
Kapolri di Markas Besar Polri?
Inti permasalahan yang menimbulkan
konflik antara KPK dan Polri adalah siapa yang berwenang menangani kasus
simulator SIM? Kedua instansi saling mengklaim. KPK menggunakan Pasal 50 UU
No 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai dasar hukum pengambilalihan kasus ini.
Pasal itu secara gamblang
mengamanatkan bahwa kasus yang sudah ditangani KPK tidak boleh ditangani oleh
penegak hukum lain. Tapi, Polri–seperti ditegaskan oleh Kabareskrim Komisaris
Jenderal Sutarman–bersikeras kasus ini sudah ditangani Polri sebelum KPK
terjun.
Kalau pun argumentasi Polri benar,
KPK tetap bisa masuk. Perhatikan isi Pasal 8 Ayat (2) UU yang sama: “KPK
berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan”.
Pasal 9 mengatur alasan kenapa KPK
mengambil alih perkara korupsi kendati perkara tersebut sudah ditangani
penegak hukum lain. Menurut catatan kita, KPK menyelidiki kasus ini sejak
Januari 2012 dan menetapkan menjadi penyidikan pada 27 Juli yang lalu.
Sementara Polri baru melakukan penyelidikan pada Mei 2012 dan menetapkan
menjadi penyidikan pada 31 Juli.
Meski begitu, Polri berdalih sudah
ada MoU antara Polri dan KPK dalam menangani kasus yang melibatkan oknum
Polri.
MoU itu antara lain berisikan tata
cara penggeledahan dan pengambilan dokumen; KPK harus mengirim surat dua
minggu sebelumnya kepada Polri. Pertanyaannya: apa yang terjadi jika Polri
menghilangkan dokumen yang diperlukan KPK setelah menerima surat permohonan KPK?
Opini Publik
Semua pihak harus ingat bahwa MoU
tidak bisa dijadikan landasan hukum dalam menegakkan hukum. Jangan lupa,
sampai hari ini TAP MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Peundang-undangan masih berlaku.
Menurut TAP MPR tersebut, tata
urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah (1) UUD 1945,
(2) TAP MPR, (3) Undang-undang, (4) Peraturan Pemerintah Pengganti UU
(Perpu), (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan
Daerah. Tidak ada MoU dalam tata urusan peraturan perundang-undangan. Di mana
logika hukum MoU bisa mengalahkan Undang-Undang (No 30 Tahun 2002)?
Dua hari setelah KPK menggeledah
kantor Korps Lalu Lintas yang menggemparkan itu, Mabes Polri mengumumkan
penetapan empat tersangka, yaitu Brigjen Polisi Didik Purnomo (Wakil Kepala
Korps Lalu Lintas), AKBP TR, Kompol LGM, Budi Susanto, dan Sukoco Bambang.
Sebaliknya, yang dijadikan tersangka oleh KPK adalah Irjen Polisi Djoko
Susilo, Brigjen Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukoco Bambang.
Publik curiga apakah Polri hendak
melindungi Djoko Susilo. Kenapa perwira tinggi yang satu ini tidak dijadikan
tersangka oleh Polri? Sejak Maret 2012 DS sudah dipromosikan sebagai direktur
Akademi Kepolisian. Menurut pihak rekanan, sejumlah petinggi Polri menerima
komisi dari pembelian alat simulator.
Di tengah santernya berita tentang
keterpurukan integritas Polri, kasus simulator benar-benar tantangan berat
bagi pemimpin Polri untuk berani membersihkan instansinya dari
praktik-praktik kotor alias korupsi. Polri bisa saja bersikeras dalam posisi
yang benar sehingga hanya Polri yang berwenang menangani kasus ini seperti
yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra.
Tapi, Polri pada waktu bersamaan
harus berhadapan dengan opini masyarakat. Opini tercermin sekali dari
pemberitaan di media massa, tanggapan para akademikus, dan pakar hukum, juga
pemberitaan media sosial. Dari ribuan pesan di berita sosial yang kita baca,
90 persen lebih berpihak pada KPK.
Opini publik memang bukan fakta
hukum. Namun, di negara demokrasi, setiap pemimpin wajib mendengar baik-baik
opini publik yang berkembang. Di negara demokrasi, opini publik bahkan bisa
menjatuhkan sebuah regime.
Dalam hal ini, publik mempunyai
catatan sendiri tentang kasus-kasus korupsi yang ditengarai melibatkan
petinggi Polri yang “macet” atau yang penyelesaiannya mengecewakan
masyarakat.
Contohnya kasus rekening gendut,
suap Adrian Waroruntu senilai Rp 1,7 triliun yang menyeret seorang brigadir
jenderal polisi, pengadaan jaringan radio dan alat komunikasi Mabes Polri
tahun 2002 hingga 2005, kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan yang hanya
mengorbankan seorang komisaris polisi; semua itu sungguh menggoyahkan rasa
percaya masyarakat kepada Polri.
Di sisi lain kita semua harus
sepakat bahwa negara membutuhkan Polri; Polri yang kuat, bersih, dan
disegani. Oleh sebab itu, lepas dari hiruk-pikuk kasus simulator dan
kasus-kasus lain yang telanjur menimbulkan aib bagi Polri, masyarakat tetap
harus memberikan kesempatan kepada pemimpin Polri untuk terus melakukan
“bersih-bersih” ke dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar