Mencintai Polisi
Antikorupsi
Denny Indrayana ; Wakil
Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 07 Agustus
2012
Persoalan
yang akhir-akhir ini mencuat terkait penanganan dugaan korupsi simulator SIM
(surat izin mengemudi) bukanlah perdebatan hukum murni.
Aturan hukumnya sebenarnya
sudah sangat jelas. Siapa yang lebih berwenang menyelidiki jika suatu kasus
tindak pidana korupsi pada saat bersamaan ditangani lebih dari satu penegak
hukum, undang-undang (UU) dengan tegas memberikan kewenangan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegak hukum yang lain apakah kepolisian atau
kejaksaan harus legawa dan menyerahkan penanganan kasusnya kepada komisi
antikorupsi tersebut.
Apalagi KPK sudah lebih dulu melakukan penyelidikan ataupun penyidikan, penegak hukum yang lain tidak dapat meneruskan penanganan kasusnya. Kalaupun polisi atau jaksa telah lebih dulu menangani suatu kasus korupsi, KPK bahkan berwenang melakukan proses pengambilalihan atas penanganan kasus dugaan korupsi tersebut. UU memang mendesain KPK sebagai lembaga yang mempunyai otoritas lebih kuat dalam ikhtiar kita untuk memberantas korupsi. Dasar hukum yuridis di atas akan lebih kuat lagi dalam hal yang melakukan tindak pidana korupsi adalah aparat penegak hukum. UU KPK secara spesifik memberikan mandat penanganan kepada KPK jika pelakunya penegak hukum, di samping jika pelakunya penyelenggara negara. Aturan perundangan memang memberikan penanganan kasus tindak pidana korupsi kepada KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Namun, yang secara tegas mendapat mandat untuk menangani aparat penegak hukum hanyalah KPK. Agaknya pembuat UU mengantisipasi dua hal sekaligus yaitu dampak negatif penerapan esprit de corps yang keliru serta menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest). Sudah menjadi rahasia umum bahwa penanganan kasus korupsi, apalagi yang diduga melibatkan petinggi penegak hukum, sering berjalan tersendat. Pengaruh kekuasaan dan koneksi yang dimiliki sang oknum petinggi tersebut menyebabkan proses hukumnya sering tidak tuntas. Biasanya sanksi yang muncul tidak mengarah ke pidana, tapi hanya sanksi disiplin administratif. Atau, kalaupun ada sanksi pidananya, yang berhasil dijerat adalah pelaku lapangan, dengan hukuman yang tidak menjerakan. Apalagi, tidak jarang, kepada yang bersangkutan biasanya hanya diberikan jabatan untuk parkir sebentar selaku staf ahli, untuk kemudian setelah jangka waktu tertentu kembali diposisikan dalam kedudukan yang strategis lagi. Catatan sukses penegakan hukum antikorupsi kepada aparat penegak hukum yang saya ingat hanyalah ketika KPK memproses sendiri penyidiknya Suparman, yang akhirnya divonis hukuman penjara delapan tahun. Padahal, korupsi di bidang penegakan hukum (judicial corruption) sudah sangat merusak dan sampai pada tahap menjadi kanker ganas yang membajak rasa keadilan masyarakat. Karena itu, di luar political corruption, korupsi di bidang penegakan hukum adalah prioritas kerja yang harus menjadi perhatian ekstra KPK. Jika catatan KPK dalam memberantas political corruption, utamanya dengan menjerat para politisi Senayan sudah cukup berhasil, tidak demikian halnya dengan judicial corruption. Dari sisi statistik, hakim, jaksa, advokat, dan polisi yang dijerat KPK masih sangat minim. Untuk pelaku tipikor dari unsur kepolisian, KPK bahkan tidak punya kasus lain kecuali penyidik mereka sendiri yaitu Suparman sebagaimana dijelaskan di atas. Ketika pimpinan KPK jilid kedua akan masuk ke dalam dugaan kasus korupsi oleh perwira tinggi Polri, yang terjadi Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto justru dikriminalisasikan dan dikenal dengan fenomena “cicak” vs “buaya”. Saya, atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlibat aktif untuk mengadvokasi kasus itu, utamanya melalui Tim 8, yang merekomendasikan kasusnya tidak dibawa ke pengadilan, dan pada akhirnya berujung dengan deponeering oleh Jaksa Agung. Tentu saja, kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM yang sekarang ramai sebaiknya tidak menjadi “cicak” vs “buaya” jilid kedua. Institusi Polri terlalu besar untuk dikorbankan oleh perilaku beberapa oknumnya yang diduga korupsi. Justru karena kita sangat mencintai institusi Polri, kita ingin agar perilaku koruptif di kepolisian dapat segera dibersihkan walaupun mungkin terasa sakit dan meminjam tangan KPK. Saya menghormati Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang saya kenal punya semangat yang sama untuk melakukan penertiban dan pembersihan di dalam jajaran kepolisian. Apalagi, kepada Menkopolhukam, Presiden SBY sudah menyarankan agar penanganan kasus simulator ini dilakukan KPK. Menkopolhukam Djoko Suyanto bahkan menyatakan sangat memahami aturan perundangan yang ada, namun perlu menjaga agar kedua institusi penting KPK dan Polri tetap bersinergi serta tidak saling berhadapan. Namun, kalaupun jalan mediasi tidak tercapai, ruang yang tersedia untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum adalah dengan mengajukan sengketa kewenangan konstitusional antara lembaga negara (SKLN) ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi. Meskipun selalu akan muncul perdebatan apakah yang dipersengketakan merupakan sengketa konstitusional (objectum litis) dan subjeknya merupakan organ konstitusi (subjectum litis). Selama ini MK sangat ketat dalam menilai objek dan subjek sengketa tersebut sehingga banyak permohonan SKLN yang tidak diterima MK. Namun, putusan MK terakhir terkait SKLN divestasi saham Newmont, di mana MK memasukkan sengketa pembelian saham tersebut sebagai constitutional dispute. Padahal, perdebatan tentang perlu atau tidaknya persetujuan DPR adalah kewenangan yang diatur di dalam UU. Becermin dari putusan SKLN divestasi saham Newmont tersebut, sengketa kewenangan penanganan perkara simulator SIM seharusnya juga dapat diputuskan MK. Sekarang tinggal menunggu siapa yang akan membawa kasusnya ke MK, apakah Polri ataukah KPK. Saya pribadi sebenarnya tidak mendukung penuh penyelesaian melalui MK tersebut. Satu dan lain hal karena dalam putusan peradilan tetap akan ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan sehingga dampaknya atas relasi jangka panjang Polri dan KPK mungkin tetap tidak baik. Karena itu, mediasi dan dialog yang konstruktif—tidak konfrontatif— di antara KPK dan Polri tetap merupakan jalan yang terbaik. Mari kembali saja ke norma dasar, laksanakan saja aturan main yang sudah digariskan oleh UU dalam penanganan tindak pidana korupsi, khususnya yang secara jelas diatur dalam UU KPK. Mari kita hormati dan cintai institusi Polri dengan cara membersihkannya dari penyakit korupsi. Saya meyakini dan menaruh harapan, dalam melaksanakan tugasnya, KPK hanya menghukum oknum polisi dan tidak sampai merusak citra institusi Polri itu. Toh, sebagaimana diakui Ketua KPK Abraham Samad, yang merupakan pahlawan serta bersemangat luar biasa independen dalam penanganan kasus ini, adalah para penyidik KPK dari kepolisian, yang pastinya—sebagaimana kita—juga sangat mencintai Polri. Mari kita berjuang untuk Polri yang lebih antikorupsi. Mari kita berjuang untuk Indonesia yang lebih baik. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar