Kota Ramah Air
Nirwono Joga ; Ketua Gerakan Indonesia Menghijau
|
SINAR
HARAPAN, 25 Agustus 2012
Musim kemarau telah tiba. Berbagai kota
mengalami kesulitan air bersih, sementara ketersediaan air baku dari berbagai
sumber semakin menipis. Sementara di musim hujan, kota justru kebanjiran. Jadi,
jelas ada yang salah dalam pengelolaan air di kota.
Kota-kota kita memang telah lama mengingkari
fitrah air. Sumber mata air di pegunungan dibiarkan mengering, karena hutan
lindung di sekitar mata air telah berubah menjadi permukiman dan ladang
pertanian.
Sungai masih dijadikan tempat buang hajat,
limbah cair, dan padat, serta sampah. Danau, situ, atau waduk tidak dipelihara
sehingga mendangkal penuh endapan lumpur, ledakan gulma, dan enceng gondok.
Tumpukan sampah dibiarkan sampai danau mengering siap diserobot menjadi
permukiman liar atau diambil alih pengembang. Kawasan tepi pantai tak kalah nestapa.
Kebijakan Biru
Pemerintah kota harus menjalankan kebijakan
politik strategis untuk menjamin ketersediaan air bersih.
Pemerintah dapat bersama warga bergotong
royong membenahi saluran air kota secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi
limbah yang masuk ke sungai dan kualitas air meningkat pesat, menata tepian
sempadan sungai, serta memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) kota untuk
memperluas daerah resapan dan tangkapan air.
Pemerintah didukung pihak swasta dan dibantu
komunitas hijau mengajak warga di bantaran sungai untuk secara sukarela digeser
(bukan digusur) dari permukiman tepi sungai atau tepian danau/waduk ke kawasan
hunian terpadu ramah lingkungan tidak jauh dari lokasi sekarang.
Pemerintah daerah seyogianya mengusahakan
lahan untuk permukiman baru, pihak swasta membangun kawasan terpadu hijau,
pemerintah pusat menghijaukan dan menata bantaran sungai, serta komunitas hijau
mendampingi warga sejak perencanaan, perancangan, pengawas pelaksanaan, hingga
pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaan kawasan.
Kota didukung pengelolaan dan manajemen air,
serta memiliki kemauan menyerap dan menerapkan teknologi hijau.
Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat
harus berani menanamkan investasi besar untuk membangun sistem pengolahan dan
penampungan air yang didukung program riset dan pengembangan sektor air, untuk
mengatasi keterbatasan sumber daya air dan meningkatnya kebutuhan air bersih.
Pemerintah kota menerapkan teknologi
pengolahan air terbaru untuk meningkatkan kapasitas produksi air bersih,
seperti membangun pusat pengeolahan air limbah dan pusat pengolahan
berteknologi (seperti desalinasi air laut) yang menghasilkan air bersih baru.
Pengolahan air yang berkelanjutan menjadi
salah satu dari delapan indikator kota hijau dunia. Delapan indikator kota
hijau meliputi perencanaan dan perancangan yang berwawasan lingkungan (green planning and design), menyediakan
ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari total luas kota sebagai paru-paru
kota dan daerah resapan air (green open
space), membangun jaringan transportasi berbasis transportasi massal,
pedestrian dan jalur sepeda (green
transportation), pengelolaan air ramah lingkungan (green water), pengelolaan dan pengolahan sampah menyeluruh (green waste), penerapan standardisasi
bangunan hijau (green building),
pengembangan energi terbarukan (green
energy), dan pelibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga
pengelolaan (green community).
Terkait hal itu, berbagai kota di kawasan
Benua Amerika (Amerika Serikat, Kanada, Amerika Selatan), Eropa, dan Asia,
berlomba membuat inovasi dan kreasi untuk mengembangkan kota ramah air.
Prinsipnya dengan konsep dasar ekodrainase
dan zero run off, yakni air yang
jatuh di suatu kawasan harus diserapkan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah
sehingga tidak ada air yang terbuang, sekaligus mengendalikan banjir,
mengantisipasi krisis air bersih, mempermudah aksesibiltas air baku dan
sanitasi, serta menyejahterakan kehidupan warga.
Program Pro Air
Di Calgary, Kanada, program “30-in-30” (2003)
berupaya mengurangi konsumsi air 30 persen dalam 30 tahun ke depan (2033)
melalui pemasangan jaringan pipa air bersih yang dilengkapi dengan meteran air
canggih.
Di Amerika Serikat, Phoenix mengolah air
limbah secara alami di kawasan ruang terbuka hijau alami. Washington DC
memperkenalkan program “Skip The Bag,
Save the River” untuk mengurangi sampah dan memperbaiki kualitas air.
Houston, sejak 2006, menggunakan alat pengolah air bersih bertenaga surya
sehingga menghemat energi 28 persen dan biaya kimia (pembersih air) 78 persen.
Di Amerika Selatan, Porto Alegre menggelar Right Water Program (2005) dengan pemberian
akses bersih secara resmi ke perkampungan dengan nilai “jual” sosial 40 persen
lebih murah dari harga normal.
Buenos Aires memasang meteran air untuk
mengurangi konsumsi air hingga 40 persen (2012). Sao Paolo mengerahkan
inspektur air untuk mengecek kebocoran air (pencurian air) dan memonitor
penggunaan air bersih. Hal sama dilakukan di Monterrey dan berhasil mengurangi
kebocoran air bersih dari 32 persen (1998) menjadi 21 persen (2008).
Di Eropa, Amsterdam, yang sadar bahwa secara
geografis mereka berada di bawah permukaan air laut sehingga air tawar menjadi
sangat mahal, memaksa pemerintah memelihara air dengan baik dan menggalakkan
budaya hemat air. Energi terbarukan digunakan untuk mengolah air sekaligus
untuk menghasilkan energi juga.
Lisbon, mulai 2013, seluruh jalan raya
dibersihkan dan ruang terbuka hijau kota disirami air dari daur ulang. Sofia
mengolah air secara terpadu untuk berbagai keperluan kota.
Tallinn mengembangkan “biomanipulating”, yakni meningkatkan kualitas air di sumber air bersih
sekaligus meningkatkan keanekaragaman ikan dan menyeimbangkan kesehatan
ekologis danau sumber air bersih. Warsawa membangun pengolahan limbah cair
menjadi biogas (pemanas bangunan) dan pupuk bagi pertanian.
Konsumsi air kota-kota di Asia 277 liter/orang/hari
tidak berbeda jauh dengan kota-kota di Amerika Latin 264 liter/orang/hari dan
Eropa 288 liter/orang/hari, namun infrastruktur jaringan air yang buruk membuat
kualitas air kurang baik dan aksesibilitas air bersih terbatas.
Singapura, sebagai pengecualian, berhasil
mengembangkan produk “NEWater” (as good
as new), mendaur ulang air bekas
menjadi air layak minum, yang telah menyuplai konsumsi air bersih kota sebesar
30 persen (2010).
Nanjing menaikkan pajak air bersih hingga 12
persen untuk menghemat konsumsi air. Beijing memasang meteran air pada bangunan
rumah dan komersial untuk mengurangi kebocoran penyaluran air dan memantau
penggunaan air lebih bijak.
Hong Kong memperbaiki atau memindahkan
jaringan pipa air bersih agar lebih efisien, meminimalkan kebocoran, menjamin
distribusi air bersih, sepanjang 3.000 kilometer dari 7.700 kilometer (2015).
New Delhi tengah memperbaiki jaringan pipa
air bersih dan memasang peralatan modern agar lebih efisien, meminimalkan
kebocoran, dan menjamin distribusi air bersih.
Yokohama, sejak 1987, bersama Inggris
mendidik tenaga ahli di bidang pengolahan air bersih, dan 20 tahun kemudian
(2007), 2.000 tenaga ahli dari 35 negara sudah berpartisipasi, dan turut
membantu pengolahan air bersih di berbagai kota di Asia.
Bagaimana dengan kota-kota di
Indonesia? Rasanya sudah saatnya kota-kota kita menjadi kota ramah air. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar