Senin, 06 Agustus 2012

Koalisi Politik Setengah Hati


Koalisi Politik Setengah Hati
Andreas Yoga Prasetyo ; Litbang Kompas
KOMPAS, 30 Juli 2012


Koalisi partai politik dinilai oleh publik mampu mendongkrak perolehan suara dalam pemilihan kepala daerah. Sebagian publik bahkan menjadikan pola koalisi sebagai referensi untuk menentukan pilihannya. Namun, koalisi antarparpol tidak menjamin terciptanya stabilitas politik dan pemenuhan kepentingan masyarakat.

Penilaian itu terangkum dalam jajak pendapat Kompas, 25-27 Juli 2012, yang menggali opini publik terkait fenomena koalisi partai politik dalam pilkada. Potensi efektivitas koalisi yang dilakukan partai-partai politik terlihat dari besarnya apresiasi publik yang melihat peta koalisi parpol pendukung kandidat sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan. 
Lebih dari separuh responden (56,1 persen) menyatakan masih mempertimbangkan latar belakang koalisi partai pendukung calon kepala daerah sebelum menentukan pilihan.

Manfaat lain yang dilihat publik dari kerja sama antarpartai adalah peluang meningkatnya perolehan suara bagi calon kepala daerah yang diusung. Dalam konteks ini, koalisi parpol dinilai publik dapat mengamankan kemenangan calon kepala daerah di ajang pilkada. Tingginya raihan suara hasil koalisi terlihat dalam sejumlah pilkada seperti di Kabupaten Purbalingga (2005), Kota Tanjung Pinang (2007), Kabupaten Tulungagung (2008), Banyuasin (2008), Ogan Komering Ulu Timur (2010), dan Kabupaten Karimun (2011). Rata-rata perolehan suara di enam pilkada itu mencapai lebih dari 80 persen.

Fenomena ini dapat dimaknai sebagai simbolisasi hadirnya ikatan parpol di benak publik. Pilihan masyarakat untuk mendukung pasangan kandidat kepala daerah di pilkada semata-mata bukan ditentukan oleh figur kandidat, tetapi juga dipengaruhi oleh preferensi pilihan partai politiknya.

Besarnya potensi koalisi ini ditangkap sebagian besar partai politik dan diterjemahkan menjadi strategi kerja sama di pilkada. Hal ini terlihat dari tingginya frekuensi kerja sama antarparpol untuk mengusung kandidat kepala daerah. Sepanjang 2005-2006 terdapat 133 dari lebih 207 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Koalisi parpol semakin marak pada 2010, sedikitnya terdapat 140 kerja sama antarpartai dari 174 lebih pilkada kabupaten/kota.

Transaksional

Munculnya koalisi parpol, menurut Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, tak lepas dari pluralisme masyarakat Indonesia secara politik sehingga sulit ditemukan kelompok dominan secara politik. Faktor lainnya adalah sistem pemilu Indonesia yang menganut sistem proporsional.

Sistem ini cenderung menghasilkan banyak partai dan tidak satu partai pun yang mampu meraih kemenangan mayoritas. Karena tidak ada partai yang dominan, pada akhirnya cenderung digunakan demokrasi model konsensus, salah satunya melalui koalisi.

Namun dalam perjalanannya, dinamika politik nasional juga mencatat bangunan koalisi itu selama ini belum efektif. Hal itu terjadi pada Koalisi Kebangsaan yang dijalin Partai Golkar dan PDI-P pada pemilu 2004. Koalisi berakhir seiring pilihan Partai Golkar bergabung di barisan pemerintahan. Polemik juga terdengar di koalisi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua atau Sekretariat Gabungan (Setgab). Gesekan dan perbedaan sikap terus muncul ketika Setgab dihadapkan pada sejumlah kasus, seperti skandal Bank Century dan pembentukan pansus mafia pajak.

Riuhnya polemik dan konflik terkait koalisi turut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap figur koalisi itu sendiri. Jika ditelusuri lebih mendalam, buruknya citra koalisi di benak publik tidak terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap makna koalisi. Istilah koalisi menurut lebih separuh responden (57,5 persen) berkonotasi hal-hal yang transaksional, yakni tawar-menawar kekuasaan, bahkan transaksi uang antarparpol.

Orientasi transaksional ini tidak bisa menjamin koalisi parpol dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan dipenuhinya kepentingan masyarakat pascapilkada. Hasil survei ini mengungkapkan penilaian publik tentang hal tersebut.

Satu dari tiga responden survei menyatakan, agenda koalisi tak menjamin terciptanya stabilitas politik. Bahkan, sebanyak 66,9 persen responden menyatakan, koalisi tak memberi banyak ruang bagi terserapnya aspirasi masyarakat. Lebih lanjut, tiga perempat bagian responden (79,3 persen) melihat pola koalisi masih bergerak dalam tataran memenuhi kepentingan elite, khususnya menggapai kursi kekuasaan.

Koalisi Rapuh

Orientasi transaksional sangat jelas tergambar dalam sejumlah koalisi yang bercorak pragmatis, seperti dalam praktik koalisi parpol yang lintas ideologi. Mayoritas responden (67,3 persen) menilai, pola koalisi parpol yang berbeda visi dan ideologi lebih didasari keinginan meraih kekuasaan semata. Pola koalisi itu dikhawatirkan kontra produktif terhadap pengelolaan daerah dan mengancam stabilisasi politik daerah.

Kasus pecah kongsi sejumlah pasangan kepala daerah merupakan contoh konkret. Mengutip data Kementerian Dalam Negeri, dari 753 pasangan kepala daerah terpilih sejak 2005 hingga akhir 2011, sebanyak 732 pasangan pecah kongsi. Selain itu, ideologisasi politik yang cenderung melemah juga mendorong fenomena ”loncat pagar” kader parpol.

Bukan Sesaat

Sebagian besar responden (80,8 persen) berharap koalisi parpol di pilkada tidak hanya berlangsung sesaat ketika berlangsung pilkada, tetapi terjaga hingga berakhirnya masa jabatan kepala daerah yang telah dipilih.

Tujuan akhir dari proses koalisi bukan hanya berhenti pada pemenangan suara dan stabilisasi pemerintahan, tetapi juga tercapainya kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar