Hakim, Monster
atau Penegak Keadilan?
Dominikus Dalu S ; Senior Asisten
Ombudsman pada Ombudsman RI
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Agustus 2012
PENANGKAPAN hakim ad hoc
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jawa Tengah, Kartini
Juliana Magdalena Marpaung dan rekannya, Heru Kusbandono, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak,
Kalimantan Barat, serta Sri Dartutik, seseorang yang diduga perantara dalam
pemberian suap oleh KPK, sungguh sangat ironis. Peristiwa yang terjadi tepat
setelah perayaan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2012 di halaman Pengadilan
Negeri (PN) Semarang itu menodai hari keramat bangsa ini oleh ulah hakim yang
tidak bermoral. Ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan
penanganan perkara tipikor dalam kasus pemeliharaan mobil dinas Sekretariat
DPRD Grobogan, Jawa Tengah.
Adapun barang bukti antara lain dua buah mobil yang saat ini
dititipkan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan uang senilai Rp150 juta.
Peristiwa penangkapan hakim nakal seperti yang terjadi di Semarang bukan hal
baru karena setiap tahun, MA memberikan sanksi ringan sampai pemecatan puluhan
hakim yang ketahuan menyalahgunakan jabatan.
Sebagai contoh, kasus delapan hakim nakal yang menjadi pemberitaan
media nasional. Dwi Djanuwanto, hakim pada PN Yogyakarta, meminta disediakan
penari telanjang oleh pengacara. Namun yang bersangkutan menolak mentah-mentah
dan merasa difitnah.
Kemudian Dainuri, hakim Mahkamah Syariah Tapak Tuan, Aceh, ketahuan
berbuat cabul dengan perempuan yang sedang beperkara dalam kasus perceraian.
Syarifuddin, hakim PN Jakarta Pusat, tertangkap tangan oleh KPK menerima
sejumlah uang dari kurator, Puguh Wirawan, bernilai ribuan dolar AS.
Syarifuddin ditangkap KPK di rumahnya. Endratno Rajamai, hakim PN Serui yang
ketahuan memeras Dewi Parasita sebanyak 66 kali dengan nilai sekitar Rp80 juta.
Imas Dianasari, hakim ad hoc
Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung, tertangkap tangan oleh KPK pada 30
Juni 2011 karena menerima sejumlah uang dari pihak beperkara sebanyak Rp200
juta.
Muhtadi Asnun, hakim PN Tangerang, telah divonis dua tahun penjara
pada 9 Desember 2010. Asnun terbukti menyalahgunakan jabatan saat mengadili
perkara Gayus Tambunan karena menerima sejumlah uang dari Gayus. Ibrahim, hakim
PTUN Jakarta, dihukum tiga tahun penjara karena menerima imbalan Rp300 juta
dalam perkara yang melibatkan pengusaha DL Sitorus. Ardiansyah Famiahgus Djafar, hakim PN Bitung,
dipecat karena menjadi calo calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia menerima
uang dari Riza Rahmawati sebanyak Rp90 juta dengan janji bisa menjadikan Riza
sebagai CPNS di lingkungan MA.
Dengan beragamnya praktik penyalahgunaan jabatan oleh hakim,
publik mempertanyakan mekanisme rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan dalam
tubuh internal pengadil an (MA).
Profesi Mulia
Profesi hakim sejatinya sudah ada sejak awal peradaban manusia. Pada
zaman Nabi Musa, para hakim dipilih di antara umat Israel (Keluaran 18: 25).
Namun, Nabi Musa dengan bijaksana mempersilakan umatnya memilih langsung hakim
bagi mereka (Ulangan 16: 18). Keputusan para hakim bersifat mutlak dan tidak
boleh ditentang umat (Ulangan 17: 12). Karena itu, mereka pun dituntut
menghakimi dengan adil (Keluaran 16: 19, 20).
Begitu pentingnya profesi hakim karena statusnya mulia di mata
masyarakat dapat pula disimak dari hadis riwayat Amru bin Ashra. Ia mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang
hakim memutuskan perkara dengan berijtihad, kemudian ia benar, ia mendapatkan
dua pahala. Dan apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad, lalu salah, ia
memperoleh satu pahala.“
Salah seorang hakim terkenal dalam sejarah China adalah Bao Zheng.
Ia merupakan hakim yang memutus perkara berdasarkan keadilan tanpa rasa takut.
Ia juga bijaksana karena mampu membedakan mana yang benar dan salah. Siapa pun,
walau termasuk kerabat dekat kaisar, harus dihukum bila terbukti bersalah
melakukan pelanggaran. Kisah hidup Bao sebagai hakim menginspirasi para hakim
sampai saat ini untuk sedapatnya berkarya seperti dia. Bagai mana dengan hakim
di Indonesia? Pada saat ini terdapat lebih dari 9.000 orang yang berprofesi
sebagai hakim, baik hakim karier maupun ad
hoc pada semua lingkungan peradilan.
Di antara ribuan hakim tersebut, masih terdapat hakim nakal yang
mempertaruhkan kehormatan untuk tujuan di luar sumpah jabatan dan kode etik
hakim yang harus dijunjungnya. Walaupun, masih banyak pula hakim baik yang
tetap hidup sederhana dengan menjaga keluhuran martabat mereka.
Hakim Berbudi Luhur
Beberapa persoalan harus segera dibenahi MA agar dapat
meminimalkan ruang gerak hakim nakal. Pertama, sistem rekrutmen hakim (karier
maupun nonkarier) yang lebih transparan dan akuntabel, mengingat sampai saat
ini hal tersebut masih dilakukan MA.
Sistem
seperti itu memberikan peluang penyalahgunaan atau KKN.
Ke depan, perlu dirancang sistem rekrutmen yang melibatkan pihak independen
seperti jasa konsultan. KPK sudah melakukan rekrutmen dengan menggandeng
perusahaan multinasional yang memiliki kredibilitas sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan. Walaupun hasil akhir penentuan calon hakim tetap oleh
MA, itu hendaknya melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya sehingga rekam
jejak calon bersangkutan dapat diketahui secara jelas.
Kedua, membuka akses seluas-luasnya kepada Komisi Yudisial, KPK,
Ombudsman, dan publik untuk membantu mengawasi sepak terjang para hakim. Hal
itu sudah dilakukan seperti dalam penangkapan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang. MA sesungguhnya memberikan
andil informasi kepada KPK karena rekam jejak hakim bersangkutan yang sering
terlibat membebaskan terdakwa kasus korupsi. Hal itu menunjukkan iktikad baik
MA untuk mengawasi hakim nakal.
Ketiga, membangun sistem whistleblower
(peniup peluit) sebagai peringatan dini jika tercium penyimpangan oleh oknum
hakim nakal dari dalam kalangan pengadilan sendiri. Itu hal yang sudah lumrah
dipraktikkan pada semua instansi yang ingin perubahan dan perbaikan.
Keempat, sudah tidak pada tempatnya kebijakan `membuang' hakim
bermasalah atau karena tidak disenangi ke daerah terpencil sebagai bentuk
hukuman. Hal buruk peninggalan rezim Orde Baru itulah yang masih dipraktikkan
berbagai instansi hingga sekarang. Bukankah daerah terpencil tersebut masih
bagian dari wilayah NKRI yang berhak pula dilayani para hakim baik dan
berkualitas dalam rangka memperoleh keadilan yang sama dengan daerah mana pun
di Indonesia? Sudah sepatutnya hakim bermasalah diberi pembinaan, termasuk
penerapan hukuman berlipat ganda dari hukuman yang berlaku pada penyelenggara
negara umumnya, apalagi bila terlibat korupsi.
Kelima, perampingan beberapa pengadilan khusus seperti pengadilan
tipikor, pengadilan TUN, PHI, pengadilan niaga di beberapa daerah agar
mempermudah pengawasan. Misalnya, hanya dibentuk di kota besar atau kota
tertentu secara regional yang merupakan gabungan dari beberapa provinsi karena
letak geografisnya berdekatan.
Di samping itu, hal tersebut untuk menghindari hakim menganggur
karena beberapa pengadilan tersebut tidak jarang hanya menangani tidak lebih
dari 10 perkara per tahun.
Akhirnya untuk semua penegak hukum, khususnya para hakim, agar mencamkan
pendapat Geery Spence, seorang advokat senior Amerika Serikat, yang mengatakan,
“Sebelum menjadi ahli hukum profesional termasuk menjadi hakim, jadilah manusia
berbudi luhur (evolved person)
terlebih dulu. Kalau tidak, hanya akan menjadi monster daripada malaikat
penolong.“
Apakah para hakim kita akan menjadi malaikat penolong bagi negeri
ini untuk menegakan keadilan atau menjadi monster? Jawabannya hanya pada para
hakim itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar