Dalam Cengkeraman Borjuasi
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
10 Desember 2015
Aksi gebrak meja
terjadi dalam sidang kasus Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan, 30
November lalu. Konon itu dilakukan oleh anggota dari fraksi yang membela
Novanto. Ada wartawan bertanya, itu pertanda apa? Berpaling pada Lasswell
(1902-1978), politik memang soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
Maka, dalam sidang politik, meski namanya "mahkamah etik", orang
bisa saja mengabaikan etika demi pragmatisme. Lagi pula, membela kader adalah
obligasi mendasar partai politik.
Bagi kita, yang
penting apakah MKD konsisten dengan ekspektasi publik. Kita bisa optimistis
sekaligus skeptis dalam hal ini. Optimistis bahwa MKD bekerja profesional
karena adanya tekanan publik yang besar dan komitmen dari partai-partai
pemerintah. Skeptis karena oposisi terus mempersoalkan legal standing yang
tidak menyentuh substansi persoalan. Lantas, ujungnya akan seperti apa?
Untuk menebak ujungnya,
kita perlu memahami modus operandi kasus ini. Apa yang dilakukan oleh Novanto
adalah praktik lumrah dalam demokrasi yang rapuh. Ada sejumlah faktor yang
membentuknya. Pertama, kerapuhan sistemik dari institusi hukum. Penegakan
hukum yang rapuh melahirkan permisivitas dalam banyak dimensi. Konteks ini
memberi peluang bagi "orang-orang kuat" (Abinales & Amoroso, 2005) atau "para bos" (Sidel, 1999) untuk mengejar keuntungan
ekonomi dan politik.
Kedua, praktik
demokrasi liberal yang mahal. Tesis kaum liberal yang menempatkan kemapanan
ekonomi sebagai syarat bagi pembangunan politik menyebabkan politik makin
mahal. Karena itu, logis kritik yang diajukan kaum Marxian, termasuk kaum
anarkis, bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi borjuasi, demokrasi orang kaya.
Hegemoni kaum borjuis adalah kemestian yang tak terhindarkan.
Situasi ini tak hanya
menjadikan politik sebagai privilese orang kaya, tetapi juga memaksa orang
politik umumnya untuk mengejar uang. Hal ini bertalian dengan faktor ketiga,
yaitu krisis sumber keuangan pada parpol. Parpol, seperti kita ketahui,
menjadikan kader sebagai sapi perahan. Untuk biaya politik yang mahal, kader
seperti dipaksa melacak sumber uang sebanyak-banyaknya. Korupsi politik
muncul dalam kontinum ini. Maka dari itu, korupsi politik selalu berjemaah,
bahkan lintas partai, seperti dalam kasus Hambalang.
Bisa dipastikan sebab
personal dalam korupsi politik tak begitu berpengaruh secara signifikan
meskipun Profesor Domènec Melé (2014) dari Universitas Navarra, Spanyol,
mengatakan bahwa selain konstruksi budaya, faktor kelembagaan dan organisasi
serta kerakusan personal juga sebab penting dalam korupsi politik. Kita tak
menyangkal kerakusan personal dan kekeringan naluri moral individu, tetapi
korupsi bukan pidana biasa yang cukup dipahami dengan pendekatan kriminologi
klasik.
Lingkaran setan
Kepentingan yang
kompleks, sistem yang rapuh, dan borjuasi yang rakus membentuk lingkaran
setan yang rumit sehingga pemberantasan korupsi politik sering kali berhasil
secara kuantitatif saja. Secara kualitatif, korupsi politik sukar diberantas.
Bambang Soesatyo dari
Fraksi Golkar bahkan mengatakan, membuka seluruh rekaman 120 menit itu
mengerikan. Banyak nama besar lain terseret. Pun kalau Novanto bertindak
soliter dalam kasus ini, dalam kasus lain belum tentu.
Dalam demokrasi
borjuasi, parpol bukan sekat yang membatasi orang untuk berkonspirasi. Maka,
kalau ada elite politik yang selalu bebas dari jeratan banyak kasus hukum,
bukan karena ia malaikat, melainkan karena banyak tangan akan ikut diborgol.
"Solidaritas" yang kuat di kalangan koruptor bahkan mengalahkan
solidaritas konvensional, seperti ikatan agama, suku, etnik, dan kedaerahan.
Dalam konteks
"solidaritas" ini, kita pantas skeptis dengan pengungkapan tuntas
kasus Novanto. Sah saja kita percaya MKD, tetapi di atas langit masih ada
langit. Politik borjuasi selalu bekerja dengan logika acak dan susah dilacak.
Persidangan MKD bisa bebas intervensi, tetapi manusia-manusia politik yang
ikut dalam persidangan tak hidup dalam De
Civitate Dei, Kota Tuhan-nya Santo Agustinus (354-430). Dengan dalil
"menjaga keseimbangan negara", para koruptor bisa dengan mudah
menyelamatkan diri.
Meskipun demikian,
antisipasi penting dilakukan. Pertama, publik mesti konsisten dalam mengawal
kasus ini. Media massa dan kelas menengah harus berperan maksimal sebagai
representasi dari keseluruhan rakyat.
Kedua, perlu ada
kemauan politik dari pihak pelapor, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Sudirman Said, untuk membuka kasus ini. Rekaman utuh mesti
diserahkan kepada MKD dan institusi hukum. Artinya, ini bukan masalah etika
semata, melainkan juga pidana. Ada penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana
pencatutan nama yang, seperti diungkap Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia, dikaitkan dengan Pasal 53 KUHP atau Pasal 12
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Ketiga, dibutuhkan
kemauan moral dari pihak Freeport untuk membuka kotak persoalan secara
obyektif. Apakah perpanjangan kontrak selama ini melewati proses serupa?
Apakah ada tekanan dari penguasa politik dalam pelaksanaan bisnis Freeport
di Indonesia selama ini? Keberanian
Freeport adalah pemecah gunung es. Perusahaan-perusahaan lain yang mengalami
hal serupa akan punya keberanian membuka aib. Perlahan-lahan penataan bangsa
ini akan berjalan. Revolusi mental bisa terwujud di segala lini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar