Senin, 21 Desember 2015

Masih Bersama Ekonomi Utang

Masih Bersama Ekonomi Utang

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi-Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                             SINAR  HARAPAN, 17 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal III tahun ini tampaknya semakin berisiko. Pasalnya, rasio pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang serta pembayaran bunga atas utang jangka pendek atau debt service ratio (DSR) triwulan naik menjadi 60,40 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan DSR triwulan II/2015 yang tercatat 59,90 persen. Sementara itu, DSR tahunan pada triwulan III/2015 tercatat 57,47; naik dari posisinya di triwulan sebelumnya yang terhitung 53,42 persen.

Menurut sebagian besar analis, kondisi utang saat ini memang menggambarkan kemampuan membayar utang RI yang kian melemah. Pasalnya, rasio beban utang yang ditanggung Indonesia ternyata dua kali lipat dari batas wajar yang ditentukan International Monetary Fund (IMF). Batas wajar DSR yang ditentukan IMF berkisar 30-33 persen.

Mau tak mau, tekanan depresiasi rupiah dan kinerja ekspor yang kian melemah akan menjadi double hit pressure atas pembayaran ULN. Kenaikan DSR hingga 60,45 persen memiliki arti, penerimaan ekspor barang, jasa, dan transfer pendapatan akan  habis untuk membayar ULN. Jika ekspor terus melambat, ini tentu membahayakan.

Bahayanya lagi, dalam kondisi yang bersamaan, realisasi penerimaan pajak  masih sangat rendah. Tentu kedua hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dalam mencari pinjaman guna menutup defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, membesarnya DSR akan memberikan sentimen negatif bagi investor.

Kekhawatiran atas default hutang dan ketakutan atas semakin memburuknya ekonomi domestik tentu menjadi pertimbangan utama investor dalam memutar uangnya di dalam negeri. Ditambah pula, instabilitas mata uang rupiah akan memperparah tingkat bahaya ekonomi domestik karena akan langsung menekan industri yang berbasiskan barang impor beserta harga-harganya.

Jika diselisik secara detail, berdasarkan laporan statistik ULN Bank Indonesia (BI), posisi ULN Indonesia triwulan III/2015 turun US$ 2,1 miliar menjadi US$ 302,4 miliar dibandingkan utang luar negeri kuartal II/2015. Pelambatan pergerakan utang ini didorong menurunya ULN swasta senilai US$ 1,7 miliar, terutama ULN dari sektor bank. Sementara itu, ULN sektor publik juga tercatat turun US$ 0,4 miliar, terutama ULN dari pemerintah.

Pada triwulan III/2015, pangsa ULN sektor swasta masih lebih tinggi dibandingkan sektor publik. ULN swasta tercatat 55,6 persen atau sebanyak US$ 168,2 miliar. Sementara itu, pangsa ULN sektor publik mencapai 44,4 persen atau US$ 134,2 miliar. Pada triwulan III, BI juga melaporkan perlambatan pertumbuhan utang RI dibandingkan triwulan sebelumnya; dari 6,2 persen (yoy) menjadi 2,7 persen (yoy).

Tak bisa dimungkiri, perlambatan ULN Indonesia, terutama dari pihak swasta, merupakan imbas depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama September 2015. Meski ekonomi mulai membaik pada kuartal III, swasta masih menahan posisi ULN. 

Selain faktor depresiasi mata uang, perlambatan ULN swasta terjadi seiring pelonggaran moneter BI yang menurunkan giro wajib minimum (GWM) dari 8 persen menjadi 7,5 persen. Kebijakan ini diperkirakan membuat swasta melakukan pinjaman di dalam negeri karena likuiditas perbankan mulai meningkat.

Jika dicermati dari sisi BI, perkembangan ULN pada triwulan III/2015 dianggap masih cukup sehat. Setidaknya demikian yang pernah disampaikan  Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, beberapa waktu lalu. Namun demikian, sebagaimana yang juga dikhawatirkan Tirta Segara, meningkatnya risiko ULN terhadap perekonomian (produk domestik bruto/PDB) layak diwaspadai jika rupiah semakin tak terkendali.

Optimisme

Dari sisi mata uang rupiah, ternyata belum ada kepastian karena masih terombang-ambing berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain. Selain faktor ancaman melandainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia, membaiknya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis awal bulan November lalu benar-benar menjadi ujian bagi rupiah menjelang Desember ini. 

Pasalnya, gembar-gembor rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus berhmbus. Optimisme bukan saja terlontar dari para petinggi The Fed yang masuk dalam komite pengambil kebijakan, melainkan juga oleh para ekonom dan pelaku pasar. Mereka mewanti-wanti ancaman ekonomi domestik AS yang akan mengalami overheating jika suku bunga tidak juga dinaikan.

Jadi, penguatan sementara mata uang rupiah sejak akhir September lebih disebabkan sentimen teknikal yang juga bersifat sementara. Karena jika dilihat dari persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada di bawah bayang-bayang yang mengkhawatirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed, perlambatan ekonomi Tiongkok yang kian mencemaskan, dan tertekannya harga komoditas ekspor andalan Indonesia akibat melandainya harga minyak dunia.

Ketiga bayang-bayang gelap ini berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan pengetatan moneter AS akan menambah otot dolar terhadap semua mata uang rivalnya dan menekan harga minyak dunia. Nah, harga minyak dunia yang kian melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia. Ini serta-merta memangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas nonmigas.

Demikian pula dengan perlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau ini mengancam stabilitas neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok karena memburuknya prospek permintaan atas komoditas nonmigas dari Negeri Tirai Bambu. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, Tiongkok adalah negara mitra dagang kedua terbesar Indonesia untuk komoditas nonmigas, setelah AS. Kondisi ini serta-merta meregangkan otot rupiah, menjulangkan nilai mata uang Negeri Paman Sam, dan mempertebal ancaman capital outflow yang pada ujungnya meningkatkan level risiko ULN terhadap PDB (depth ratio to PDB).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar