Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI;
Presidium Nasional KAHMI; Wakil
Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2015
Tahun 2015 sarat gaduh. Dibuka dengan episode Polri versus KPK
jilid II dan ditutup dengan mundurnya Ketua DPR akibat skandal ”Papa Minta
Saham”.
Semua kegaduhan itu menjadi bagian tak terpisah dari proses
konsolidasi pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Selain faktor kegaduhan akibat ulah sejumlah figur atau tokoh,
tahun ini pun sarat masalah atau tantangan. Ketidakpastian global menyebabkan
pertumbuhan ekonomi nasional mengalami perlambatan.
Posisi rupiah pun mengalami tekanan di hadapan sejumlah valuta
utama dunia. Terhitung sejak awal 2015 hingga pekan kedua September,
depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah mencapai 15,87
persen. Selain itu, ada dua faktor lokal yang ikut menekan ekonomi dalam
negeri.
Pertama, masih rendahnya harga komoditas unggulan Indonesia di
pasar internasional. Kedua, kegagalan pemerintah memaksimalkan faktor
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai motor pertumbuhan, yang
ditandai dengan lambannya penyerapan anggaran sepanjang 2015. Bahkan, hampir
semua pemerintah daerah juga gagal memaksimalkan anggaran. Hingga akhir 2015,
sekitar Rp270 triliun anggaran pembangunan daerah hanya bisa diendapkan di
sejumlah bank karena banyak pejabat daerah takut mengeksekusi proyek-proyek
pembangunan yang anggarannya telah disetujui.
Peristiwa lain yang harus masuk dalam catatan penting tahun ini
adalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Kerugian negara akibat musibah ini
ditaksir Rp200 triliun lebih. Menurut Pusat Data dan Informasi Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), luas area kebakaran hutan dan lahan sepanjang
tahun 2015 mencapai 2.089.911 hektar. Rangkaian masalah itu memunculkan
sejumlah ekses yang tentu saja menghadirkan ketidaknyamanan bagi sebagian
besar rakyat Indonesia.
Masyarakat harus menghadapi beberapa kali gejolak harga
kebutuhan pokok, karena ketersediaan beras hingga daging ayam dan daging sapi
bermasalah.
Depresiasi rupiah yang berkelanjutan pun membuat masyarakat
pesimis karena dihantui krisis ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK) terjadi pada sejumlah subsektor usaha manufaktur akibat melemahnya
konsumsi atau permintaan dalam negeri.
Itulah beberapa catatan penting yang patut digarisbawahi
pemerintah sebelum menapaki awal tahun 2016. Sangat penting bagi Presiden
Joko Widodo untuk meyakinkan rakyat bahwa konsolidasi pemerintahannya sudah
selesai, agar 2016 dan tahun-tahun selanjutnya bisa berkonsentrasi penuh
mengelola semua aspek dari agenda pembangunan nasional.
Menguji
Presiden
Presiden sudah mengawali pemerintahannya dengan langkah cukup
mantap, ketika memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada pekan
kedua November 2014. Keputusan strategis ini ibarat modal awal
pemerintahannya untuk mengarungi 2015 yang sarat tantangan itu. Sayang,
segala sesuatunya tidak berjalan mulus karena proses konsolidasi pemerintahan
Jokowi penuh rintangan.
Gangguan terhadap proses konsolidasi itu muncul pada Januari
2015, dipicu oleh persoalan siapa yang akan ditunjuk Presiden untuk menjabat
Kepala Polri (Kapolri). Sosok perwira pilihan Presiden, Komisaris Jenderal
Polisi Budi Gunawan (BG), langsung dimentahkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dalam hitungan jam
setelah Presiden mengumumkan nama BG sebagai calon Kapolri, Ketua KPK (saat
itu) Abraham Samad ”mengganggu” Presiden dengan mengumumkan BG sebagai
tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar.
Akibatnya, Presiden harus menghadapi tekanan dari dua arah yang
saling berlawanan. Publik pun bisa merasakan betapa tidak mudahnya presiden
mengonsolidasi pemerintahannya.
Komunitas pendukung Jokowi, termasuk sejumlah politisi, mendesak
presiden mempertahankan pilihannya dan melantik BG. Dari arah lain, presiden
justru didesak membatalkan pencalonan BG. Eskalasi kegaduhan pun menjadi tak
terhindarkan ketika elite PDIP melakukan serangan balik terhadap Abraham
Samad, memanfaatkan apa yang disebut sebagai laporan publik yang tertuang
dalam sebuah artikel berjudul ”Rumah Kaca Abraham Samad”. Artikel ini memuat
tuduhan kepada Samad karena menjadikan KPK sebagai alat lobi politik untuk
mencalonkan diri sebagai cawapres 2014.
Berangkat dari artikel itu, Pelaksana Tugas Sekjen PDI
Perjuangan Hasto Kristyanto memberi perincian tentang manuver politik Samad
menuju Pemilu Presiden 2014. Menurut Hasto, Samad melakukan enam kali
pertemuan dengan petinggi PDI Perjuangan. Bahkan Samad juga menemui mantan
Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono dan mantan Deputi Tim Transisi
Andi Widjajanto.
Samad akhirnya dinonaktifkan dari jabatannya. Karena diduga
menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua KPK, Samad kemudian memenuhi
panggilan pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri sebagai
tersangka. Kasus Samad dilaporkan Direktur Eksekutif KPK Watch Yusuf Sahide.
Tidak berhenti sampai di situ, Samad pun harus merespons masalah lain, karena
dia dilaporkan telah melakukan pemalsuan dokumen kependudukan. dengan
tersangka awal seorang perempuan bernama Feriyani Lim.
Persoalan yang dihadapi KPK tidak berhenti di Abraham Samad.
Polisi juga menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto untuk perkara
rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam perkara Pemilukada
2010.
Tim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di sebuah jalan
raya di Depok pada Jumat, 23 Januari 2015. Saat itu, wajah KPK benar-benar
tampak babak belur. Setelah penangkapan Bambang, pimpinan KPK lainnya juga
dilaporkan ke pihak berwajib oleh beberapa orang. Benar-benar gaduh dan
tegang.
Efektivitas kepemimpinan Presiden Jokowi saat itu benar-benar
diuji, bahkan mengalami ujian berat. Hal itu terjadi bertepatan dengan
peringatan 100 hari kepemimpinannya, Imbauan bernada perintah presiden untuk
tidak menahan pimpinan KPK tidak sertamerta ditaati. Seolah ada kekuatan lain
di negara ini yang lebih berkuasa dari Presiden RI. Situasi serupa juga
terlihat oleh publik ketika presiden harus menyikapi konflik internal yang
melanda Partai Golkar dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Kehendak Presiden agar Kementerian Hukum dan HAM bersikap
objektif-proporsional tidak ditaati. Dalam kasus Golkar, kementerian Hukum
dan HAM malah tergesa-gesa mengakui kepengurusan hasil Munas Ancol, tanpa
mempertimbangkan dokumen keabsahan Munas Ancol. Begitu juga pada kasus PPP.
Akibatnya jagat perpolitikan nasional pun ikut menabuh gaduh.
Dampak
Nomenklatur
Dari rangkaian kegaduhan itu, terlihat bahwa tidak semua
pembantu Presiden menunjukan loyalitas tunggal kepada Presiden. Sebaliknya,
dalam proses mengonsolidasi kekuasaannya, Presiden Jokowi terpaksa harus
merasakan ada pembantu atau menteri yang menunjukkan loyalitas ganda, loyal
kepada Presiden dan loyal juga kepada pimpinan partai politik dari mana sang
menteri berasal.
Jika saja para pejabat tinggi negara itu hanya loyal kepada
Presiden, kegaduhan sepanjang 2015 ini bisa diminimalisasi. Akan tetapi aspek
loyalitas itu masih menjadi persoalan. Pasca reshuffle kabinet, giliran para
menteri berbuat gaduh dengan bertengkar di ruang publik. Respek beberapa
menteri terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi terbilang minim.
Publik tentu masih ingat ketika seorang menteri dengan lantang
menantang wakil presiden berdebat terbuka. Atau, menteri malah mengecam
program prioritas kelistrikan yang telah ditetapkan presiden. Nomenklatur
kementerian/ lembaga (K/L) yang bertele-tele juga mengganggu konsolidasi
pemerintahan Jokowi. Dampaknya sangat serius terhadap efektivitas koordinasi
pemerintah pusat dengan daerah.
Konsolidasi sejumlah K/L dirasakan sangat lambat setelah
penggabungan maupun pemecahan instansi. Kelambanan lebih disebabkan oleh
sulitnya pengisian jabatan. Kevakuman sementara itu tentu saja memberi
pengaruh cukup signifikan terhadap aspek penyerapan anggaran. Komunikasi
pusat dan daerah pun bisa terhenti sementara sambil menunggu rampungnya konsolidasi
K/L.
Di tengah ragam rintangan dan masalah, presiden terus
membangkitkan optimisme publik. Presiden memastikan pembangunan nasional
tidak lagi Jawa sentris, melainkan Indonesia sentris. Dia berupaya
merealisasikan proyek pembangunan infrastruktur strategis di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi hingga Papua berupa ruas jalan tol dan jalur kereta api.
Untuk meyakinkan dunia usaha dan investor asing, Presiden juga terus
mengupayakan terwujudnya iklim berusaha yang kondusif.
Sejak awal September 2015 hingga jelang akhir tahun 2015,
Presiden sudah menerbitkan delapan paket deregulasi kebijakan ekonomi.
Tujuannya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi,
debirokratisasi, penegakan hukum dan kepastian usaha.
Untuk menguatkan keyakinan semua elemen masyarakat, pemerintah
berencana menurunkan harga BBM pada awal tahun 2016, mengikuti tren turunnya
harga minyak dunia. Kalau tidak ada kegaduhan lagi, kebijakan BBM awal 2016
itu bisa menjadi stimulus yang menggerakkan roda perekonomian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar