Catatan Akhir Tahun (Politik)
Aribowo ; Dosen FISIP Unair Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Desember 2015
TULISAN ini merupakan analisis
dari penggabungan peristiwa politik, sikap dan perilaku politik rezim Jokowi,
tingkah laku elite politik di DPR dan parpol, gerakan perlawanan rakyat,
serta media massa selama 2015. Analisis politik ini bertumpu pada peristiwa
serta data sosial, ekonomi, dan budaya. Pertanyaannya dalam kilas balik 2015
ini menjadi agak khusus: Apa makna perjalanan rezim Jokowi selama 2015?
Untuk menelisik ”wajah” rezim
Jokowi, kita bisa bertumpu pada beberapa fenomena politik besar selama 2015.
Pertama, selama 2015, kita disuguhi pergumulan antara kekuatan DPR dan rezim
Jokowi. Pergumulan dan pergelutan dua kekuatan itu sangat bervariasi: Ada
pola depan panggung dan belakang panggung, manuver kelompok (faksi) politisi
dari dalam istana maupun luar istana, friksi antarpolitisi, serta keperluan
pencitraan yang kuat sekali.
Rivalitas DPR (Senayan) dengan
rezim Jokowi sebenarnya terjadi sejak Jokowi menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) pada 2014.
Kegaduhan berikutnya terjadi saat
Jokowi memberhentikan jenderal Polri, Sutarman, dari jabatan Kapolri. Di
tengah macam-macam isu, Jokowi dengan cepat mengusulkan Komjen Budi Gunawan
(BG) sebagai calon Kapolri baru. Konon, BG ”titipan” Ketum DPP PDIP Megawati.
Tapi, BG kemudian ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK. Abraham Samad, ketua KPK, bersama Wakil Ketua KPK
Bambang Widjojanto dengan gagah berani menetapkan BG sebagai tersangka atas
dugaan transaksi mencurigakan dari pejabat negara.
Perlawanan BG (baca: Polri)
terhadap KPK dilancarkan melalui jalan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Dan menang. BG pun bebas dari status tersangka KPK. Opini
masyarakat dan politisi terbelah dua: Satu kelompok meminta BG dilantik
sebagai Kapolri baru, di sisi lain banyak kalangan masyarakat dan relawan
Jokowi yang minta BG tidak dilantik.
Jokowi akhirnya mengikuti desakan
para relawan: tidak melantik BG sebagai Kapolri baru, melainkan Komjen Badrodin
Haiti. Jokowi ”membiarkan” BG sebagai Wakapolri (16/4/2015).
Seiring berjalannya waktu,
rivalitas Senayan dengan rezim Jokowi semakin sengit menginjak Desember 2015.
Kasus rekaman percakapan dalam pertemuan antara Setya Novanto (ketua DPR),
Riza Chalid, dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang
dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said
ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR merupakan upaya rezim Jokowi untuk
”membongkar” kelompok lawan politik di DPR yang notabene sangat berkaitan
dengan bisnis besar yang kelak mendukung rezim Jokowi.
Dalam kasus rekaman ”papa minta
saham”, tampak Jokowi dan Jusuf Kalla ”bersatu” untuk membongkar pencatutan
nama presiden serta wakil presiden. Mereka juga ingin melawan komprador
politisi dan pebisnis lama. Sementara itu, dalam pansus kasus Pelindo II,
justru politisi PDIP secara vulgar menghantam Jusuf Kalla.
Pertanyaan besarnya: Apakah
serangan politisi PDIP di Senayan itu merupakan ”titipan” Jokowi untuk menyodok
JK? Apakah serangan politisi PDIP kepada Jokowi untuk memutus mata rantai JK
di politik istana dan bisnis nasional? Ataukah ada keretakan kuat antara
Megawati dan Rini Soemarno?
Atau, apakah Rini telah berjalan
sendiri sehingga kurang ” ngopeni” politisi PDIP? Apa pun motivasinya, di
balik rekomendasi pansus Pelindo II itu jelas ada ”permufakatan” politik
untuk menyudutkan Jokowi ke dalam situasi dilematis.
Jika benar DPR akan membentuk
pansus Freeport dan nanti mengeluarkan rekomendasi pengusiran Amerika Serikat
(AS) dari Papua, hampir pasti terjadi kegaduhan politik lagi. Di sana, ada
masa depan Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pola
manajemen raksasa internasional yang tidak segampang membalikkan telapak
tangan. Artinya, pansus Pelindo II serta Freeport (kelak) akan semakin
memperumit pola konflik politik Senayan dan Jokowi di satu sisi, juga
menghadapi perpecahan di internal istana Jokowi di sisi lain. Tahun 2016 akan
mulai gaduh lagi seperti akhir tahun 2015.
Kedua, sepanjang 2015, rezim
Jokowi berusaha menata wajahnya sebagai rezim ”negara hadir di tengah
masyarakat” (NHTM). Ada dua jalan menuju NHTM, yaitu represif dan persuasif
legal-formal. Selama 2015, lebih banyak kesan represif dari wajah NHTM. Tangan represif NHTM adalah
polisi. Polisi digunakan sebagai apparatus
repressive. Tangan represif itu dimulai dari ”mengatur dan menjinakkan”
KPK, ”mengobrak-abrik” kantor R.J. Lino, sampai mengeluarkan surat edaran
(SE) Kapolri soal hate speech.
Ketiga, intervensi rezim ke parpol
oposisi dan organisasi sosial (PSSI). Sepanjang 2015, kita menyaksikan bahwa
konflik parpol sangat intensif. Partai Golkar dan PPP pecah karena masalah
internal.
Sikap rezim Jokowi jelas: memihak
kelompok yang prorezim. Selain itu, rezim Jokowi menarik PAN masuk ke gerbong
pemerintah. Masuknya PAN memastikan adanya reshuffle jilid II tahun depan.
Sejauh ini, perlawanan masyarakat
yang paling kuat terhadap rezim Jokowi datang dari kelompok buruh. Tahun
depan mungkin kelompok buruh akan terus melawan PP No 78 Tahun 2015 mengenai
pengupahan.
Keempat, kita boleh lega karena
proses pilkada serentak pada 9 Desember lalu berjalan baik, kecuali penetapan
hasil pilkada yang menimbulkan konflik luas dan kerusuhan. Artinya, rakyat
Indonesia secara politis lebih dewasa daripada elite politiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar