Selasa, 22 Desember 2015

Menebak Akhir atau Awal Turbulensi

Menebak Akhir atau Awal Turbulensi

Dahlan Iskan  ;  Mantan CEO Jawa Pos
                                                    JAWA POS, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ADA teori bahwa untuk bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi, harus bisa melewati turbulensi. Adakah berbagai turbulensi yang terjadi selama tahun 2015 menandakan bahwa kita akan naik kelas di tahun 2016?

Ataukah masih akan terjadi berbagai turbulensi susulan?

Radio bisnis Pas FM minggu lalu menampilkan dua ekonom yang bisa menggambarkan dua sudut pandang. Yang satu ekonom INDEF Dr Enny Sri Hartati. Satunya lagi Dr Purbaya Yudhi Sadewa yang dikenal berada dalam lingkungan dekat istana.

Saya yang tampil bersama mereka mengenal keduanya. Terutama Purbaya yang dulu pernah di Danareksa, salah satu BUMN bidang keuangan.

Enny menunjukkan betapa buruknya ekonomi kita di tahun 2015. Pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat, pertumbuhan ekonomi menurun, bahkan kualitas pertumbuhannya pun menurun.

Penyaluran kredit menurun, bahkan kredit kecil menurun drastis. Dari Rp 35 triliun tahun 2014 tinggal Rp 5 triliun tahun 2015. Neraca perdagangan negatif dan angkanya bisa mengindikasikan lemahnya posisi rupiah di mata dolar.

Yang paling dia sesalkan adalah: terjadinya deindustrialisasi selama 2015. Susah payah kita membangun industri untuk bisa meningkatkan daya saing di ASEAN, kini terjadi lagi arus balik meninggalkan industri. Angka pendaftaran investasi memang naik, tapi, katanya, yang merealisasikannya hanya 50 persennya.

Enny menampilkan angka-angka yang lengkap dan terperinci untuk mendukung pendapatnya itu.

Sejelek itukah kita?

”Saat ini arah ekonomi sudah berbalik. Sudah kembali naik,” ujar Purbaya. ”Ini karena Bapak Presiden (Jokowi) mau mendengarkan masukan saya,” guraunya.

Waktu itu Purbaya memang menjabat deputi pengelolaan isu strategis kepala staf kepresidenan. Tapi, sejak kepala stafnya berganti dari Luhut Pandjaitan ke Teten Masduki, doktor dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat, itu mengundurkan diri. ”Agar bisa bicara bebas,” katanya.

Saat menjabat di lingkungan istana pun, Purbaya mengaku tidak segan ngomong apa adanya kepada presiden. Termasuk kritik yang paling pedas.

”Kalau garis ini sampai melewati ini,” katanya sambil menunjukkan grafik yang terus menurun, ”Bapak Presiden bisa jatuh.”

Purbaya lantas menunjukkan grafik saat Pak Harto jatuh dan ketika Gus Dur jatuh dari jabatan presiden. Waktu Purbaya bicara dengan Presiden Jokowi, pertengahan tahun tadi, gambaran grafiknya mirip-mirip itu.

”Untung Pak Presiden segera ambil langkah. Rupanya perlu ditakut-takuti,” ujarnya dengan nada bergurau.

Grafik ekonomi yang segawat itu juga terjadi tahun 2009. Saat Pak SBY menjadi presiden. Tapi, Pak SBY langsung ambil langkah untuk membalikkannya. Dan berhasil gemilang.

Jadi, kata Purbaya, tiga bulan terakhir ini sebenarnya ekonomi sudah menunjukkan arah yang membaik. Memang, jelas dia, masih harus waspada. Kalau lengah masih akan berbahaya di bulan Maret nanti.

Jadi, kita bisa berharap tahun depan ekonomi membaik. Sedikit. Bukan meroket. Setidaknya tidak akan seburuk 2015: tahun yang penuh turbulensi. Ekonomi maupun politik.

Adakah kasus ”papa minta saham” ini akhir dari turbulensi? Atau awal dari turbulensi yang lebih besar?

Kalaupun turbulensi politik masih berlanjut, pengaruhnya pada ekonomi tidak akan banyak. Pelaku ekonomi sudah kian kebal dari guncangan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar