Menjaga Optimisme Pascasuku Bunga AS
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Desember 2015
THE Federal
Reserve atau Bank Sentral AS akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan
sebesar 0,25%. Ini merupakan kenaikan pertama bagi suku bunga AS sejak 2006
silam. Langkah The Fed itu kemudian menyebabkan pergeseran pada kisaran
tingkat suku bunga pinjaman semalam AS, yakni menjadi 0,25% hingga 0,50%.
Kebijakan
kenaikan suku bunga The Fed tentu bisa menyebabkan guncangan terhadap
perekonomian global dan dapat meningkatkan tekanan bagi Inggris agar ikut
menaikkan suku bunga. Akhirnya negara-negara berkembang akan mengikuti
langkah yang sama untuk mempertahannya modal-modal global agar tak
beterbangan keluar.
Dilema lainya ialah kenaikan suku bunga acuan yang
berarti biaya pinjaman akan semakin mahal untuk negara berkembang. Padahal,
beberapa waktu belakangan, emerging
market mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan harap-harap cemas
akibat ancaman capital outflight.
Bahkan ada
kecemasan kenaikan suku bunga The Fed akan semakin memperparah perlambatan
ekonomi negara berkembang. Sebab, tingginya suku bunga di AS akan semakin
memperkukuh posisi mata uang dolar. Sebagaimana diketahui, mata uang dolar
dipergunakan di banyak negara dan perusahaan dan dipastikan akan menciptakan
efek bola salju kepada negara yang menggunakannya dan kepada instrumen
investasi yang berbasiskan mata uang ‘Negeri Paman Sam’ tersebut.
Selain itu,
efek strong dollar akan menekan
harga minyak dunia yang kemudian ikut memperparah harga komoditas-komoditas
andalan ekspor negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Lihat saja harga
CPO, batu bara, karet, dan nikel, misalnya, yang terus tergerus penguatan dolar
dan pelandaian permintaan global. Terpangkasnya harga komoditas-komoditas ini
kemudian menyunat pemasukan negara dari sisi pajak komoditas ekspor, seperti
yang dialami sektor perpajakan Indonesia akhir tahun ini.
Tak hanya
sampai di situ, Bank sentral AS (The Fed) juga akan terus memantau data inflasi
dan lapangan kerja untuk menentukan waktu kenaikan suku bunga lanjutan yang
kemudian akan dilangsungkan beberapa kali sepanjang 2016 dan 2017. Pernyataan
itu disampaikan Gubernur The Fed Janet Yellen tidak lama setelah menaikkan
suku bunga a cuan 0,25% basis poin. Setelah pengumuman penaikan suku bunga,
sejumlah bank besar di ‘Negara Paman Sam’ juga ikut menaikkan suku bunga
dasar kredit dari 3,25% menjadi 3,50%.
Kenaikan suku
bunga The Fed semakin memperlebar perbedaan arah kebijakan dengan kawasan
Eropa dan Tiongkok. Seperti diketahui, saat ini Eropa tengah
mengimplementasikan kebijakan pelonggaran moneter. Pada awal bulan ini,
misalnya, Bank Sentral Eropa memangkas tingkat suku bunga deposito dari minus
0,2% menjadi minus 0,3%.
Bank sentral
Eropa juga mempertahankan program stimulus senilai 60 miliar pound sterling
dan berkemungkinan akan memperluasnya jika kondisi keadaan semakin tak
terkendali. Begitu pula dengan Tiongkok yang sudah enam kali memangkas suku
bunga sejak Juni tahun lalu dan menginjeksikan likuiditas berlimpah ke dalam
pasar keuangan untuk mempertahankan nilai yuan dan menghindari ancaman
pelarian modal ke luar negeri.
Dengan
beberapa pertimbangan tersebut, dari sisi non-Amerika, The Fed bisa saja
dianggap kurang mengkhawatirkan tingkat pertumbuhan ekonomi global yang telah
berkali-kali dipangkas, baik oleh Bank Dunia maupun oleh IMF. Namun, kita
juga patut memperhatikan apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusan bulat
para pengambil kebijakan di dalam FOMC tersebut.
Setidaknya
ada beberapa hal fundamental yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan itu.
Dari pernyataan komite pasar terbuka The Fed bisa dilihat bahwa hal-hal
seperti pemulihan di pasar tenaga kerja pada 2015, yaitu optimisme akan
meningkatnya inflasi AS dalam jangka menengah ke level target 2%. Tingkat
inflasi AS sebenarnya belum menyentuh level yang diidamkan The Fed, tingkat
pengangguran untuk Oktober dan Desember sudah sangat memuaskan, bahkan untuk
Oktober sudah mencapai angka 5%, yang kemudian dianggap sebagai modal awal
terbentuknya inflasi pada waktu-waktu mendatang.
Dengan
demikian, wajar kiranya jika inflasi menjadi titik catatan tersendiri bagi
The Fed. Mereka bahkan berjanji akan terus mengawasi tingkat inflasi dan
tenaga kerja untuk memutuskan kapan kenaikan suku bunga selanjutnya dapat
diterapkan. Pimpinan The Fed Janet Yellen mengatakan komite sangat optimistis
perekonomian AS akan terus membaik sehingga kenaikan suku bunga selanjutnya
tinggal menunggu waktu. Namun, bagaimanapun, perkembangan ekonomi AS untuk
waktu-waktu mendatang tentu akan tetap menjadi pedoman bagi para pengambil
kebijakan The Fed apakah kenaikan akan berlangsung secepatnya atau malah
ditunda lagi sampai waktu yang tak ditentukan.
Karena sebagaimana
diakui Yellen sendiri, kelemahan ekonomi AS masih ada di pasar tenaga kerja,
terutama soal pertumbuhan tingkat upah, yang akan menghalangi terbentuknya
tingkat inflasi moderat sebagai prasyarat kenaikan suku bunga. Namun, dia
juga mengingatkan, jika The Fed terus menunda kenaikan suku bunga, itu dapat
memaksa pemberlakuan pengetatan kebijakan yang terlalu cepat sehingga memicu
resesi yang lain.
Proyeksi The
Fed dalam jangka menengah untuk suku bunga ialah sebesar 1,5% pada 2016 dan
2,5% pada 2017. Untuk level suku bunga normal di kisaran 3,5% hingga 2018
atau hingga perekonomian AS semakin solid, The Fed tampaknya belum mempunyai
proyeksi sama sekali. Hal itu sangat bisa dipahami karena sejatinya ekonomi
AS masih tergolong cukup mengecewakan sehingga pilihan yang tersisa ialah
menaikkan suku bunga dengan sangat berlahan dan bertahap sesuai dengan
progres positif yang terbentuk dalam perekonomian nasional AS.
Nilai tukar
rupiah dibuka menguat tipis 0,04% atau 6 poin ke level Rp14.065 setelah kenaikan
suku bunga The Fed (17/12). Sehari sebelumnya, rupiah ditutup melemah 25 poin
atau 0,18% ke Rp14.071 per dolar AS pada perdagangan Rabu (16/12). Investor
pasar valas tampaknya sedang bersiap menghadapi potensi depresiasi dolar yang
biasanya terjadi pascakenaikan suku bunga The Fed. Secara historis, dolar
selalu terdepresiasi setelah menguat tajam seusai siklus pengetatan moneter
di AS pada 2004, 1999, dan 1994.
Indeks harga
saham gabungan (IHSG) langsung melonjak 1,31% di pembukaan, menguat 58,67 poin
ke level 4.542,12 pada Kamis (17/12). Penguatan terjadi sejalan dengan
pergerak an bursa saham global dan regional Asia setelah keputusan The Fed.
Sementara itu, sehari sebelumnya, pada Rabu (16/12/), IHSG ditutup menguat
1,68% atau naik 74,28 poin ke level 4.483,45.
Sinyal
positif pada pasar keuangan ini harus diimbangi dengan kinerja ekonomi riil
untuk mempertahankan kepercayaan pasar terhadap Indonesia. Buruknya catatan
neraca perdagangan untuk November harus menjadi catatan pemerintah untuk
memulai tahun depan. Selain itu, lebarnya shortfall
penerimaan pajak akhir tahun ini juga harus segera dicarikan solusi agar
tidak terulang di tahun mendatang yang kemudian malah mengganggu rencana
pembangunan strategis pemerintah, terutama untuk sektor infrastruktur yang
telah diprioritaskan agar proyeksi pertumbuhan bisa tetap dijaga dan
perlambatan lebih lanjut bisa dicegah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar