Energi,
Kemitraan Global, dan Kita
Sudirman Said ; Menteri ESDM
|
KOMPAS,
30 Desember 2015
Tahun pertama Kabinet Kerja patutlah dicatat sebagai tahun
Indonesia melebarkan sayap pergaulan dunianya di kancah energi. Setelah terlengar sejak 2009, Indonesia
kembali siuman, reaktivasi, sebagai anggota penuh Organisasi Negara
Pengekspor Minyak (OPEC). Bersama Tiongkok dan Thailand, Indonesia jadi
negara perdana yang bergabung sebagai anggota mitra Badan Energi
Internasional (IEA) dalam pertemuan Menteri Energi IEA, 17-18 November 2015
di Paris. Di IEA, badan yang berdiri dalam kerangka Organisasi untuk Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan itu, Indonesia berkepentingan terutama untuk
mengembangkan kemitraan dalam membangun energi bersih dan energi baru
terbarukan (EBT). Artinya, Indonesia kini telah dan tengah menyemplung ke
dalam dua komunitas-produsen energi dunia: energi fosil minyak dan gas
bumiserta EBT.
Banyak keuntungan yang bisa diraih. Menjadi anggota IEA makin
membuka akses kita terhadap teknologi permigasan termutakhir, mengingat
sebagian besar anggota IEA negara maju. Di Konferensi Para Pihak Ke-21
Perubahan Iklim di Paris, bersama 19 negara yang menguasai 80 persen lebih
pengembangan dan investasi energi bersih, Indonesia mendeklarasikan Mission
Innovation. Negara yang bersepakat menjalankan misi revolusioner pengembangan
energi bersih melalui kemitraan pemerintah dan swasta itu, antara lain, AS,
Tiongkok, India, Perancis, Jerman, Brasil, Jepang, Korea Selatan, Australia,
dan Arab Saudi.
Indonesia pun aktif merumuskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
yang ditetapkan pada Sidang Umum PBB di New York, September 2015. Di Agenda
2030 itu Indonesia berkepentingan khususnya untuk menerjemahkan dan
menurunkan tujuan pembangunan energi untuk semua ke dalam agenda nasional.
Kemitraan multilateral diimbangi dengan kemitraan bilateral.
Dengan AS, memanfaatkan kunjungan Presiden Joko Widodo ke sana pada November
2015, Indonesia bermitra di bidang energi. Peningkatan kerja sama bisnis
energi juga dilakukan dengan Timur Tengah. Di sektor energi bersih Indonesia
menggalang kemitraan bilateral dengan Denmark, Finlandia, dan Swedia.
Peran aktif di pelbagai forum energi internasional dilakukan
untuk mendukung percepatan perwujudan ketahanan energi bangsa dengan
mengambil manfaat maksimum dari kerja sama global, baik antarpemerintah
maupun kerja sama bisnis.
Rencana lima tahun ke depan dalam membangun ketercukupan energi
cukup menantang. Indonesia membangun 53.000 megawatt (MW) listrik dalam kurun
70 tahun, tetapi hanya dalam lima tahun ke depan Indonesia akan membangun
35.000 MW. Indonesia selama 40 tahun terakhir hanya bisa mempromosikan energi
terbarukan sebesar 6 persen. Namun, dalam 10 tahun mendatang, bertekad
mewujudkan tambahan minimum 17 persen energi terbarukan untuk capai target
energi terbarukan minimum 23 persen.
Mewujudkan 35.000 MW dalam lima tahun beserta tambahan 17 persen
EBT dalam 10 tahun adalah hal yang hampir mustahil. Ini bisa terwujud hanya
jika ada langkah luar biasa, ada ikhtiar revolusioner. Salah satunya adalah
berpartisipasi aktif di forum internasional. Itu dilakukan sejalan dengan
aksi lain di dalam negeri: memperkuat kelembagaan nasional pengembangan
energi maupun melibatkan segenap komponen bangsa dalam mendorong pemanfaatan
energi.
Revolusi pembangunan harus sejalan dan memiliki gaung yang
setingkat dalam multilevel (lokal, nasional, internasional) serta
terintegrasi secara horizontal dengan melibatkan multiaktor. Sejak presiden
pertama, Bung Karno, semangat dan partisipasi Indonesia secara aktif di dunia
internasional selalu didorong. Semua itu ditempatkan dalam konteks membangun
kedaulatan bangsa dan memperkuat kemandirian rakyat.
Merevolusi
diri
Berdaulat itu merevolusi diri. Inilah yang sedang kita lakukan
dalam membangun kedaulatan energi saat ini. Pertama, untuk merevolusi energi
nasional, Indonesia harus berjejaring lebih aktif dengan komunitas
internasional. Meski importir neto minyak, Indonesia memutuskan mereaktivasi
keanggotaan di OPEC. Dasar pertimbangannya adalah menjadi bagian aktif dari
komunitas pengekspor dan pasar minyak. Kita ingin duduk sejajar dengan negara
pengekspor membicarakan kebijakan minyak global. Bukan semata pasif sebagai
penonton atau pembeli. Kita ingin memiliki akses lebih atas informasi, turut
menentukan arah kebijakan pengelolaan minyak dunia, termasuk menentukan harga
dan pasarnya.
Kita ingin lebih berdaya dalam negosiasi langsung dengan para
pengekspor minyak sehingga bisa mendapat harga lebih murah ketimbang jika
mendapatkannya dari pihak ketiga atau melalui sejumlah perantara, pemburu
rente, seperti selama ini.
Percepatan pengembangan energi nasional butuh dukungan investasi
internasional. Dari 35.000 MW yang diusahakan, PLN hanya akan mengembangkan
5.000 MW. Selebihnya diharapkan dari investor. Konsekuensinya, pintu
investasi Indonesia harus dibuka. Indonesia harus lebih aktif menjajakan
peluang investasi energinya melalui forum internasional agar nilai tawar
Indonesia ketika bernegosiasi dengan berbagai negara atau investor lebih
terdongkrak.
Kedua, pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan adanya
keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan
butuh peran teknologi yang besar. Rencana besar Indonesia mendiversifikasi
energi jadi minimum 23 persen dari energi terbarukan pada 2025 butuh
masifikasi alih teknologi dari negara maju.
Keterlibatan Indonesia dalam prakarsa, seperti IEA maupun
Mission Innovation membuka peluang akses teknologi energi bersih yang lebih
murah, membangun industri energi bersih nasional, serta mengalirkan investasi
energi bersih yang mendukung ketahanan energi bangsa.
Target kita meningkatkan rasio elektrifikasi, dari 85 menuju 100
persen, butuh kemitraan dan dukungan internasional. Teknologi EBT yang bisa
diakses murah oleh rakyat di daerah terpencil akan meningkatkan akses dan
penguasaan mereka terhadap listrik dan energi yang sebisa mungkin dikelola
secara lokal juga.
Kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam penguasaan
teknologi di sektor energi harus terus ditingkatkan agar makin kompetitif
secara global. Pusat keunggulan untuk energi bersih yang kini tengah
dikembangkan di Bali adalah platform bagi ikhtiar penguasaan dan pengembangan
teknologi energi secara bertahap—di dalam negeri dulu, lantas berlanjut ke
kawasan regional, dan seluruh dunia —yang dijalankan putra-putri terbaik
Indonesia.
Ketiga, tren global menunjukkan bahwa energi terbarukan akan
segera jadi bahan bakar utama dunia. Data IEA menunjukkan energi terbarukan
akan memanfaatkan hampir 60 persen dari total 5 triliun dollar AS investasi
pembangkit listrik baru di dunia dalam 10 tahun ke depan, terutama didorong
oleh AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.Secara global kapasitas pembangkit
listrik berbasis energi terbarukan menyumbang 1.828 gigawatt (GW) pada 2014,
dibandingkan 1.500 GW yang berbasis gas dan 1.880 GW berbasis batubara.
Jumlah tenaga kerja yang terserap dari pengembangan energi
terbarukan meningkat 18 persen tahun lalu, 200.000 di antaranya berpindah
dari sektor minyak dan gas dalam setahun terakhir. Bahkan negara penghasil
energi fosil, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab saat ini mengembangkan
energi terbarukan secara besar-besaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar