Antisipasi Kenaikan Lanjutan Suku Bunga The Fed
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2015
Bank sentral
Amerika (The Fed) akhirnya menaikkan suku bunga secara bertahap, dimulai
dengan menaikkan sebesar 25 basis poin dari 0-0,25% menjadi 0,25- 0,50%.
Kebijakan ini ditempuh The Fed setelah rapat Federal Open Market Committee
(FOMC) yang digelar 15- 16 Desember 2015. Rapat FOMC ini memandang perbaikan
pasar tenaga kerja dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS)
saat ini menjadi momentum menaikkan suku bunga, meninggalkan zona suku bunga
murah ke era kebijakan ketat.
KenaikansukubungaTheFedtahun
2015 sepertinya tidak terlalu mengkhawatirkan seperti dugaan banyak kalangan,
khususnya risiko terjadinya capital-outflow secara besar-besaran. Namun,
langkah The Fed untuk menaikkan suku bunga tidak hanya berhenti pada tahun
ini saja. Direncanakan tahun 2016-2018, suku bunga The Fed akan dinaikkan
kembali secara bertahap sampai pada level optimum.
Inilah yang
perlu diantisipasi oleh Indonesia terkait dengan kebijakan moneter yang akan
ditempuh oleh The Fed di 2016. Kenaikan suku bunga ini menandakanera easy
money telah berakhir dan kebijakan ekonomi ketat mulai dilakukan. Kenaikan
suku bunga The Fed secara bertahap akan dilakukan hingga mencapai level normal
di kisaran 3,5% dengan kemungkinan sekenario 2016 (1,5%), 2017 (2,5%) dan
2018 (3,5%). Keputusan kenaikan suku bunga The Fed ini tentunya mengakhiri
ketidakpastian di pasar, baik global mupun regional.
Tiap-tiap
otoritas moneter dan fiskal di hampir semua kawasan mulai melakukan kalkukasi
strategis dalam mengantisipasi dampak dari tahapan kenaikan ini. Kebijakan
menaikkan suku bunga The Fed ini tentunya semakin memperluas gap dengan
kebijakan bunga di zona Eropa yang tengah menempuh pelonggaran kebijakan.
Pada awal
bulan ini bank sentral Eropa(ECB) kembali menurunkan suku bunga acuannya dari
minus 0,2% menjadi minus 0,3% dan mempertahankan program stimulus pasar
sebesar 60 miliar euro per bulan hingga 2017. Keputusan The Fed terhadap
kebijakan suku bunga acuannya dalam jangka pendek setidaknya telah meredam spekulasi
di pasar. Hal ini sekaligus memberikan ruang kepastian yang lebih bagi
pengelolaan sistem keuangan global, regional dan domestik.
Namun langkah
The Fed menaikkan suku bunga akan terus berlanjut di tahun 2016 dan hal ini
perlu diantisipasi. Terlebih saat ini, kondisi ekonomi Eropa, Tiongkok,
Jepang, dan Amerika Latin tidak terlalu menjanjikan. Sepertinya The Fed juga
sangat hati-hati dalam memutuskan kenaikan suku bunga. Ini membuat kenaikan
suku bunga pertama di tahun 2015 tidak menciptakan guncangan sangat besar di
pasar keuangan dunia.
Hal itu pula
yang tentunya diharapkan oleh banyak negara ketika The Fed akan melakukan
kenaikan lanjutan di sepanjang 2016. Bagi Indonesia, kondisi ini perlu terus
diikuti dengan penguatan fundamental ekonomi di tahun 2016. Penguatan fundamental
dapat dilakukan melalui empat faktor berikut; pertama, kebijakan nilai tukar
rupiah perlu mendapat perhatian besar bagi otoritas moneter mengingat
sepanjang2015, nilai tukar mengalami tekanan yang cukup dalam (terdepresiasi
sekitar 8-9% sepanjang Januari- November 2015).
Terdepresiasinya
nilai tukar rupiah ini mendorong pembengkakan sejumlah pembiayaan yang
menggunakan dolar AS di satu sisi sementara pendapatan yang diperoleh
menggunakan mata uang rupiah. Begitu pula dengan sejumlah industri yang banyak
menggunakan bahan baku impor. Ongkos produksi akan meningkat sementara
permintaan relatif melemah akibat terkurasnya daya beli masyarakat.
Di sisi lain,
depresiasi nilai tukar rupiah memberikan dampak positif bagi kegiatan ekspor.
Selain mendorong ekspor, kebijakan yang mendatangkan devisa seperti sektor
pariwisata perlu dioptimalkan. Selain itu, kebijakan menahan sisa hasil
devisa ekspor untuk beberapa waktu tertentu dapat dilakukan untuk meredam
tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Kedua,
kenaikan suku bunga lanjutan The Fed tentunya mendorong pembalikan arus modal
keluar mengingat sejumlah pembelian di pasar keuangan banyak didominasi oleh
asing, misalnya di pasar saham, asing menguasai sekitar 60% kepemilikan, dan
di pasar obligasi pemerintah di kisaran 40%. Eksposur kepemilikan asing di
pasar keuangan ini tentunya sangat rentanterhadap pemulihan ekonomi Amerika
Serikat. Ketika suku bunga The Fed naik, bisa diproyeksikan secara perlahan
asing akan mulai mengalihkan modalnya kembali ke Amerika Serikat.
Kondisi ini
tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga terjadidinegara- negara
berkembang lainnya. Pelarian modal di pasar keuangan dapat diantisipasi
melalui dorongan untuk memperluas kapasitas di sektor riil. Langkah yang
perlu dilakukan untuk meredam dampak ini salah satunya denganmendorongiklim
usaha yang business friendly termasuk upaya memangkas sejumlah regulasi
perizinan usaha yang tidak ramah investasi.
Ketiga, imbas
kenaikan The Fed juga berpotensi menekan fiskal negara-negara berkembang
khususnya bagi negara yang memiliki defisit fiskal yang besar. Pemerintah
Indonesia bebarapa waktu lalu menaikkan proyeksi defisit fiskal dari 2,7%
menjadi 2,9%. Hal ini dilakukan mengingat ruang fiskal pada tahun 2015
semakin terbatas sehingga Kementerian Keuangan mengambil kebijakan menaikkan
proyeksi defisit ke level 2,9%.
Dengan
naiknya proyeksi defisit ini, pemerintah berharap ruang fiskal masih dapat
mendorong sejumah agenda pembangunandi2015. Memang menjadi persoalan ketika
target penerimaan pajak sebagai tulang punggungAPBNtidakterpenuhi. Tercatat
hingga akhir November 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp841
triliun atau 65% dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294,2 triliun.
Proyeksi
realisasi penerimaan pajak hingga 31 desember 2015 diperkirakan hanya akan
mampu menyentuh angka Rp950 triliiun atau 73% dari target APBNP 2015. Dengan
realita ini tentunya pemerintah dapat mengalkulasi ulang proyeksi penerimaan
pajak 2016 yang ditargetkan dalam APBN 2016 sebesar Rp1.360,1 triliun.
Sementara
itu, saat ini dunia usaha Indonesia juga membutuhkan kebijakan perpajakan
yang lebih ramah agar dunia usaha dan penciptaan lapangan kerja terus
berkembang. Keempat, asumsi kehatihatian The Fed dalam memutuskan kenaikan
Fed Fund Rate (FFR) akan dilanjutkan pada 2016. Kita berharap bahwa kenaikan
lanjutan suku bunga di Amerika Serikat tidak akan memberikan guncangan besar
di pasar keuangan dunia seperti yang terjadi pekan lalu.
Mempertimbangkan
akan hal ini, perlu stimulus untuk menaikkan daya saing industri dan pelaku
usaha melalui penyesuaian suku bunga acuan BI. Tingkat suku bunga acuan Bank
Indonesia saat ini di level 7,5% dapat diturunkan ke level 6,0-7,0% di tahun
2016 untuk memberi ruang bagi ekspansi usaha-usaha dalam negeri (khususnya
UMKM). Penurunan suku bunga acuan ini dapat menekan suku bunga kredit
sehingga industri dalam negeri dapat tetap tumbuh.
Meskipun
dengan angka suku bunga di kisaran 6%, suku bunga kredit Indonesia masih
relatif tinggi di banding negara negara seperti Vietnam, Malaysia dan
Singapura. Keempat hal ini menurut pandangan saya perlu menjadi perhatian
pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla khususnya dalam menahan efek
perlambatan ekonomi global. Keempat faktor ini berimbas langsung pada upaya
penguatan daya beli masyarakat sekaligus mendorong penguatan ekonomi
domestik, tentunya di samping sejumlah pembangunan infrastuktur yang sedang
berjalan.
Kita berharap
paket ekonomi yang telah berjalan (1-7) dan yang akan dikeluarkan dapat
efektif di tingkat implementasi untuk semakin memperkuat fundamental ekonomi
nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global 2016. Koordinasi dan
sinkronisasi antara otoritas fiskal-moneter dan sektor riil menjadi titik
simpul yang penting untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan
nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar