Menghadapi Tahun Depan secara Lebih Cerah
Agustine Dwiputri ; Penulis Kolom “PSIKOLOGI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
27 Desember 2015
Setahun telah
hampir berlalu, banyak peristiwa hidup yang kita jalani. Ada banyak kesedihan
dan pengalaman berduka yang telah kita peroleh. Tulisan ini bermaksud fokus
pada cara memaknai dan melalui masa-masa sulit agar dapat menghadapi masa
depan dengan lebih ringan.
Di dalam buku
A time to Grieve, Carol Staudacher
(1994) memaparkan berbagai pandangan dan proses dari pengalaman para
penyintas (survivor) yang telah
berhasil memulihkan rasa berdukanya akibat kehilangan orang-orang yang
dicintainya. Meski latar belakang para penyintas berbeda-beda dan cara
ditinggalkan orang yang mereka sayangi juga beragam, mereka semua mempunyai
satu pengalaman yang sama, yaitu perasaan kehilangan mendalam setelah
kematian orang yang mereka cintai. Dijelaskan lebih lanjut oleh Staudacher,
bahwa berduka adalah proses melepaskan, menemukan, dan menyembuhkan. Hal ini
tak bisa dilakukan hanya dengan menggunakan pikiran. Otak (pikiran) harus
mengikuti hati (perasaan) dengan suatu jarak yang menunjukkan adanya
penghormatan atau penghargaan.
Berikut
beberapa cuplikan dari bukunya yang menurut saya penting untuk kita renungkan
bersama.
Cemas akan masa depan
Melalui
kedukaan kita sering melihat hari-hari yang ada di depan kita sebagai sesuatu
yang mencemaskan, ada suatu tembok tebal menghadapi masa depan yang harus
dilewati agar bisa terus melanjutkan perjalanan hidup. Padahal, sebenarnya
tidak demikian karena ternyata masa depan adalah serangkaian peluang yang
datang suatu hari pada suatu waktu.
Seorang
wanita penyintas mengatakan, ”Saya menemukan cara terbaik untuk mencerahkan
pandangan saya tentang hidup dengan melakukan hal ini. Pertama, saya membuat
upaya sadar untuk melakukan sesuatu bagi diri sendiri setiap hari. Ini
biasanya berupa hal kecil yang benar-benar hanya untuk kesenangan saya
sendiri. Suatu hari saya akan membeli susu cokelat di kafe toko buku dan
membaca buku selama satu jam. Malam berikutnya saya akan mandi berendam
sambil mendengarkan musik, atau membeli seikat bunga untuk diri sendiri, atau
menelepon teman yang sudah lama tak ketemu. Atau apa saja.”
Kemudian dia
juga membuat tujuan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. ”Kami penyintas
perlu ingat bahwa ada orang lain yang juga tengah terluka/bersedih. Tidak
perlu pemikiran genius untuk mencari tahu suatu hal yang dapat Anda lakukan
untuk membuat hari lebih baik bagi orang lain. Semua itu tidak perlu menghabiskan
banyak waktu atau uang.” Kemudian dia menjelaskan bahwa dia menggunakan
perilaku berhadiah ini untuk dirinya sendiri dan orang di sekitarnya agar
dirinya terguncang lepas dari perasaan putus asa dan kesedihan. ”Sebelum
menyadari itu, saya secara dramatis telah mengubah nada hidup saya.”
Dengan
terlibat dalam tindakan-tindakan kecil untuk menghargai diri sendiri dan
orang lain, kita dapat mengganti perasaan cemas atau putus asa yang kita
rasakan dengan suatu imbalan pribadi dan kompetensi.
Berharap ada kesempatan lagi
Ketika kita
melalui kedukaan yang terburuk dan berhenti sejenak untuk melihat kembali
kehidupan di mana kita telah berbagi dengan orang tercinta, kita mungkin
masih menemukan diri kita merasa menyesal untuk sesuatu yang belum sempat
dilakukan bersama atau menyesal untuk tidak membuat sebuah langkah yang
diinginkan. Misalnya, untuk tidak mengambil liburan bersama-sama, untuk tidak
mengalami masa menjadi orangtua, untuk tidak menghadiri acara olahraga atau
konser musik yang disenanginya, atau untuk tidak mengambil bagian lebih aktif
dalam kehidupan saudara kita. Ini adalah suatu jenis refleksi menyakitkan
yang paling melibatkan penyintas dari masa ke masa.
Memiliki
penyesalan hingga tingkat tertentu dapat dimengerti, tetapi mengapa kita
tidak membuat pilihan untuk melihat kembali kehidupan dengan intensitas yang
sama pada keberhasilan, pertemuan berharga, atau saat-saat menyenangkan
lainnya? Mengapa tidak menyeimbangkan hal-hal positif terhadap kesempatan
yang dirasa hilang tadi? Mengapa tidak mengakui bahwa tidak ada kehidupan
siapa pun yang dapat berlangsung terus menyenangkan atau selalu menyedihkan?
Tidak berarti dalam kehidupan semua kesempatan hilang, seperti halnya tidak
ada kehidupan di mana semuanya hanya berisi prestasi dan kesenangan.
Kesedihan bisa mengajarkan banyak
Pada awal
proses berduka, kita hanya berpikir tentang melalui masa-masa itu, bertahan
terhadap kehilangan orang yang kita cintai dan keluar dari pengalaman
tersebut tanpa menyerah atau menjadi gila. Kita tidak berpikir bahwa
kesedihan dapat mengajarkan sesuatu. Kita tidak tahu ataupun peduli bahwa hal
itu secara diam-diam akan mendidik kita, membuat kita belajar banyak. Tetapi
ternyata kemudian hal itu terjadi.
Satu hal
paling penting yang kita pelajari adalah bahwa kita memiliki berbagai sumber
daya dalam diri kita yang kita tidak ketahui sebelumnya. Sumber daya ini,
begitu terbuka akan terus membantu kita sepenuhnya sepanjang sisa hidup kita.
Para
penyintas juga mengembangkan suatu kearifan unik yang datang hanya sebagai
akibat dari kehilangan. ”Kami mengenali ini baik pada saat berbicara dengan
kelompok pendukung, ketika bertemu dalam situasi sosial, atau ketika
sama-sama bekerja.” Kita merasa sulit untuk mengartikan kearifan para
penyintas ini kecuali dengan mengatakan bahwa itu ada hubungannya dengan
menilai esensi kehidupan, memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang tujuan
hidup. Dan sekali didapat, ini adalah pengetahuan yang tidak ingin dibuang
sampai kapan pun.
Dari beberapa
suara para penyintas di atas, mungkin kita bisa memperoleh kekuatan,
mengumpulkan harapan, menemukan keberanian untuk mengekspresikan pikiran,
perasaan, kegigihan melalui pelepasan kedukaan yang tengah berlangsung, dan
bahkan menemukan kebebasan dari rasa nyeri secara emosional.
Selamat melanjutkan perjalanan
hidup dan Selamat Tahun Baru 2016! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar