Kamis, 31 Desember 2015

Membangun Politik Maritim Indonesia

Membangun Politik Maritim Indonesia

  Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di bawah Presiden Joko Widodo, politik maritim Indonesia mulai mencari bentuk dalam berbagai program penting. Upaya dilakukan melalui pembenahan jaringan logistik nasional memakai kapal laut sampai pemberantasan illegal, unreported, and unregulated penangkapan ikan.

Pada 2015, konsentrasi politik maritim Presiden Jokowi dipusatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memeriksa ribuan kapal ikan yang beroperasi di Indonesia. Sampai September 2015, setidaknya 98 kapal ikan asing berkategori illegal, unreported, and unregulated (IUU) ditenggelamkan atau diledakkan di laut.

Ke luar, pemerintahan Presiden Jokowi mulai mendorong berbagai forum kerja sama maritim internasional dalam konteks kerja sama perikanan, keamanan non-tradisional, ataupun menghadapi klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang berkembang menjadi isu regional karena rebutan pengaruh negara-negara besar.

Secara bersamaan, Presiden Jokowi dalam KTT Asia Timur (EAS) di Kuala Lumpur, Malaysia, memperoleh dukungan politik penuh diadopsinya Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation. Melalui dukungan ini, Indonesia berharap terbentuknya pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi maritim, konektivitas maritim, kerja sama di antara institusi riset kemaritiman, dan mengatasi berbagai permasalahan terkait ancaman lintas batas kedaulatan laut.

Politik maritim bagi Indonesia menjadi penting dalam beberapa hal. Pertama, dimulainya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 pada 1 Januari 2016, memberi peluang bagi Indonesia untuk menata, mengelola, serta mengembangkan konektivitas perdagangan barang dan jasa maritim di Asia Tenggara.

Sebagai kekuatan ketujuh entitas ekonomi terbesar dunia, ASEAN dengan penduduk lebih dari 600 juta orang dan produk domestik bruto (GDP) 2,4 triliun dollar AS menjadi pasar sangat menggiurkan dalam dinamika regionalisme dan multilateralisme. Wilayah ASEAN memiliki ketersediaan lapangan kerja terbesar dunia tanpa masalah lanjut usia sebagai bonus demografi yang tak dimiliki negara kawasan lain.

Kedua, politik maritim Presiden Jokowi yang dirumuskan dalam strategi Poros Maritim Dunia memberikan peluang menjadi pelopor dalam dinamika kesetimbangan mengelola persaingan negara-negara besar dalam konteks lingkup pengaruh kekuasaan di kawasan Asia pada umumnya.

Dominasi strategis negara-negara besar (AS, Tiongkok, India, Jepang, dan Rusia) memerlukan konektivitas maritim yang secara alamiah tersedia di wilayah Indonesia, menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra India. Peran konektivitas maritim yang tidak berpihak (tanpa aliansi dan non-blok) menjadi penting sebagai prasyarat penting menghindari konflik terbuka dalam diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy).

Ketiga, melalui politik maritim dalam visi Presiden Jokowi, Indonesia bisa menjadi penyumbang penting membentuk arsitektur keamanan maritim sebagai tulang punggung ekonomi, perdagangan, dan sosial-budaya, tidak hanya bagi kepentingan regional, tetapi juga dalam skala global.

Strategi Poros Maritim Dunia penting sebagai pengimbang dinamis menghadapi inisiatif yidai yilu (satu sabuk satu jalan, OBOR) ataupun gagasan Jepang mendorong Inisiatif Nakasone menata arsitektur keamanan Asia menggunakan samudra dan lautan sebagai pijakan terciptanya stabilitas dan perdamaian.

Situasi panas di LTS akibat klaim tumpang tindih kedaulatan antara Tiongkok dan empat negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Brunei, dan Vietnam) mendorong perlombaan kekuatan angkatan laut, termasuk penggunaan diplomasi kapal perang oleh negara di dalam dan luar kawasan. Situasi ini mendorong Jepang membentuk Organisasi Keamanan Maritim di Asia Timur (OMSEA) mempromosikan keamanan maritim kawasan.

Di sisi lain, kesepakatan politik KTT EAS tentang kerja sama maritim seharusnya menjadi pijakan penting bersama tanpa harus masuk ke dalam bentukan baru mekanisme kerja sama seperti yang diusulkan Jepang.

Kita berharap, gagasan strategi Poros Maritim Dunia menjadi acuan penting kerja sama maritim regional dan global, memengaruhi sejumlah negara di dalam dan luar kawasan untuk mulai menghimpun kerja sama maritim dan wilayah laut di Asia sebagai non-militer, mengikuti asas zona damai, bebas, dan netral (ZOPFAN) yang selama ini menjadi acuan ASEAN.

Hanya melalui kesepakatan bersama, penataan lingkup pengaruh kawasan maritim Asia bisa ditata arsitektur keamanan bagi kepentingan bersama, khususnya ancaman keamanan non-tradisional, seperti IUU, pembajakan kapal laut, dan pengelolaan lingkungan hidup kelautan. Sinkronisasi berbagai kebijakan menjadi penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga semua negara yang sepakat menjadikan politik maritim sebagai acuan baru menciptakan stabilitas dan perdamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar