Membangun
Politik Maritim Indonesia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
30 Desember 2015
Di bawah Presiden Joko Widodo, politik maritim Indonesia mulai
mencari bentuk dalam berbagai program penting. Upaya dilakukan melalui
pembenahan jaringan logistik nasional memakai kapal laut sampai pemberantasan
illegal, unreported, and unregulated penangkapan ikan.
Pada 2015, konsentrasi politik maritim Presiden Jokowi
dipusatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memeriksa
ribuan kapal ikan yang beroperasi di Indonesia. Sampai September 2015,
setidaknya 98 kapal ikan asing berkategori illegal, unreported, and
unregulated (IUU) ditenggelamkan atau diledakkan di laut.
Ke luar, pemerintahan Presiden Jokowi mulai mendorong berbagai
forum kerja sama maritim internasional dalam konteks kerja sama perikanan,
keamanan non-tradisional, ataupun menghadapi klaim tumpang tindih kedaulatan
di Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang berkembang menjadi isu regional karena
rebutan pengaruh negara-negara besar.
Secara bersamaan, Presiden Jokowi dalam KTT Asia Timur (EAS) di
Kuala Lumpur, Malaysia, memperoleh dukungan politik penuh diadopsinya
Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation. Melalui dukungan ini,
Indonesia berharap terbentuknya pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi
maritim, konektivitas maritim, kerja sama di antara institusi riset
kemaritiman, dan mengatasi berbagai permasalahan terkait ancaman lintas batas
kedaulatan laut.
Politik maritim bagi Indonesia menjadi penting dalam beberapa
hal. Pertama, dimulainya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 pada 1 Januari 2016,
memberi peluang bagi Indonesia untuk menata, mengelola, serta mengembangkan
konektivitas perdagangan barang dan jasa maritim di Asia Tenggara.
Sebagai kekuatan ketujuh entitas ekonomi terbesar dunia, ASEAN
dengan penduduk lebih dari 600 juta orang dan produk domestik bruto (GDP) 2,4
triliun dollar AS menjadi pasar sangat menggiurkan dalam dinamika
regionalisme dan multilateralisme. Wilayah ASEAN memiliki ketersediaan
lapangan kerja terbesar dunia tanpa masalah lanjut usia sebagai bonus
demografi yang tak dimiliki negara kawasan lain.
Kedua, politik maritim Presiden Jokowi yang dirumuskan dalam
strategi Poros Maritim Dunia memberikan peluang menjadi pelopor dalam
dinamika kesetimbangan mengelola persaingan negara-negara besar dalam konteks
lingkup pengaruh kekuasaan di kawasan Asia pada umumnya.
Dominasi strategis negara-negara besar (AS, Tiongkok, India,
Jepang, dan Rusia) memerlukan konektivitas maritim yang secara alamiah
tersedia di wilayah Indonesia, menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra
India. Peran konektivitas maritim yang tidak berpihak (tanpa aliansi dan
non-blok) menjadi penting sebagai prasyarat penting menghindari konflik
terbuka dalam diplomasi kapal perang (gunboat
diplomacy).
Ketiga, melalui politik maritim dalam visi Presiden Jokowi,
Indonesia bisa menjadi penyumbang penting membentuk arsitektur keamanan
maritim sebagai tulang punggung ekonomi, perdagangan, dan sosial-budaya,
tidak hanya bagi kepentingan regional, tetapi juga dalam skala global.
Strategi Poros Maritim Dunia penting sebagai pengimbang dinamis
menghadapi inisiatif yidai yilu (satu sabuk satu jalan, OBOR) ataupun gagasan
Jepang mendorong Inisiatif Nakasone menata arsitektur keamanan Asia
menggunakan samudra dan lautan sebagai pijakan terciptanya stabilitas dan
perdamaian.
Situasi panas di LTS akibat klaim tumpang tindih kedaulatan
antara Tiongkok dan empat negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Brunei, dan
Vietnam) mendorong perlombaan kekuatan angkatan laut, termasuk penggunaan
diplomasi kapal perang oleh negara di dalam dan luar kawasan. Situasi ini
mendorong Jepang membentuk Organisasi Keamanan Maritim di Asia Timur (OMSEA)
mempromosikan keamanan maritim kawasan.
Di sisi lain, kesepakatan politik KTT EAS tentang kerja sama
maritim seharusnya menjadi pijakan penting bersama tanpa harus masuk ke dalam
bentukan baru mekanisme kerja sama seperti yang diusulkan Jepang.
Kita berharap, gagasan strategi Poros Maritim Dunia menjadi
acuan penting kerja sama maritim regional dan global, memengaruhi sejumlah
negara di dalam dan luar kawasan untuk mulai menghimpun kerja sama maritim
dan wilayah laut di Asia sebagai non-militer, mengikuti asas zona damai,
bebas, dan netral (ZOPFAN) yang selama ini menjadi acuan ASEAN.
Hanya melalui kesepakatan bersama, penataan lingkup pengaruh
kawasan maritim Asia bisa ditata arsitektur keamanan bagi kepentingan
bersama, khususnya ancaman keamanan non-tradisional, seperti IUU, pembajakan
kapal laut, dan pengelolaan lingkungan hidup kelautan. Sinkronisasi berbagai
kebijakan menjadi penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga semua
negara yang sepakat menjadikan politik maritim sebagai acuan baru menciptakan
stabilitas dan perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar