Mahkamah
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 19 Desember 2015
Sebuah mahkamah bersidang
berhari-hari dengan seru. Tontonan menarik di televisi bagi yang bosan dengan
sinetron dari India. Namanya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Tugasnya
memeriksa apakah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto menyalahi
etika ketika bertemu dengan Direktur Utama PT Freeport yang disertai seorang
juragan minyak.
Ini mahkamah yang lucu. Puncak
lucunya ketika mengakhiri sidang tanpa keputusan. Apakah Setya Novanto
dihukum ringan, sedang, atau berat, sesuai dengan kriteria hukuman yang ada,
tak jelas disebut. Memang, ketika 17 anggota MKD memberikan "keputusan
pribadi", ada 10 orang menyatakan Setya patut diberi hukuman sedang, sementara
tujuh lainnya mengganjar hukuman berat. Selain tak memutuskan apa-apa, MKD
malah membacakan surat pengunduran diri Setya sebagai Ketua DPR, padahal MKD
hanya mendapatkan tembusan.
Prof. Mahfud Md., mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi, heran dengan ulah MKD ini. Kata dia, dampaknya nanti
adalah Setya Novanto tak pernah secara formal dinyatakan bersalah. Setya
mundur bukan karena keputusan MKD tetapi "kesadarannya" sendiri.
Apa kata Ketua MKD, Surahman Hidayat? Dia berkukuh bahwa Novanto sudah
menyalahi etika, terbukti semua anggota menyatakan begitu. Namun sidang MKD
tidak diteruskan karena keburu ada surat pengunduran diri.
Pakar hukum bertanya, untuk apa
bersidang kalau tak membuat keputusan? Sementara itu, Surahman berpegang pada
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang di pasal 127 berbunyi: Pengaduan
pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu: a.
meninggal dunia; b. telah mengundurkan diri; atau c. telah ditarik
keanggotaannya oleh partai politik. Karena Novanto sudah mengundurkan diri,
meski saat-saat terakhir, sidang tak bisa diteruskan.
Berdebat soal ini tentu percuma.
Sejak dari perundang-undangan, MKD itu "tidak normal". Tingkat
kesalahan etika ada tiga: ringan, sedang, dan berat. Tapi pelanggaran berat
harus dilanjutkan dengan membentuk panel, melibatkan empat orang di luar DPR
dan tiga anggota MKD. Hasil panel ini dibawa ke sidang paripurna dan panel
bisa menganulir keputusan MKD. Celah ini yang ditempuh pendukung Novanto
sehingga mendadak sontak "menghukum berat". Lucu, anggota MKD yang
tadinya meragukan rekaman itu asli dan menolak menyebut Setya melanggar
etika, malah sang pelapor disebut tak beretika, tiba-tiba balik menghukum
berat.
Manuver MKD vulgar sejak awal.
Mereka memakai "busana hakim" dan mengumumkan di awal sidang mereka
harus dipanggil "yang mulia"—sebutan formal untuk hakim-hakim di
pengadilan negeri. Tapi ulah mereka jauh dari hakim. Para "yang
mulia" tak segan-segan bertengkar di dalam sidang, mana ada hakim
seperti itu. Bahkan tiga "yang mulia" menemui seorang saksi yang
terkait dalam perkara. Mereka melecehkan kemuliaannya. Anehnya, pada saat
sidang terakhir untuk menjatuhkan vonis—meskipun vonisnya tidak jadi
ada—sebutan "yang mulia" hilang. Bahkan baju yang "diduga
meniru hakim" pun tak dikenakan lagi.
Inilah mahkamah sesuka hati.
Sesama hakim saling mengadukan. Akbar Faisal diadukan Ridwan Bae, pengaduan
diterima pimpinan DPR, lalu Akbar dinonaktifkan menjelang memberi keputusan.
Adapun Akbar yang mengadukan Ridwan Bae tak direspons pimpinan DPR. Lucunya,
usai sidang MKD, Ridwan mencabut pengaduan itu.
Pertanyaan tersisa, apakah wawasan
MKD mencerminkan parlemen keseluruhan? Kalau urusan sidang mengadili etika
begini saja tak dipahami, bagaimana DPR bisa menghasilkan undang-undang untuk
bangsa ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar