Gamelan Digital
Agus Bing ; Pelaku Seni
|
KOMPAS,
20 Desember 2015
Di Desa Lod
Tunduh, Ubud, menjelang subuh. I Wayan Yudane, komponis Bali yang lama
menetap dan berkarya di Selandia Baru, tiba-tiba membunyikan gamelan dari
komputer. Suara reong yang
dimainkan interlocking, dipadukan
suara gangse, jublag, tarompong,
dan gong yang rancak langsung
menuntun imajinasi hanyut dalam suasana kehidupan Bali yang unik.
Masyarakatnya
saban hari nyaris tak bisa dilepaskan dari ritus persembahan. Persis ”Negara
Teater”, kata Clifford Geertz. Ketika semua sibuk memikirkan urusan duniawi,
Bali tetap setia melakoni perannya sesuai skenario Ida Sang Hyang Widhi Wasa: bekerja, gelar upacara adat, menabuh
gamelan, membuat banten, menebarkan
aroma dupa, membaca mantra, serta ngayah:
berkorban untuk dewa.
”Gamelan ini karya komponis New
Zealand, Gareth Farr. Tidak dibuat manual, tetapi memakai komputer,” ujar Yudane, sontak membuyarkan
imajinasi yang asyik menikmati irama gending tradisi yang khas. Selanjutnya,
imajinasi seperti dipaksa masuk dunia simulakra. Dunia yang dipenuhi
reduplikasi obyek-obyek virtual, melahirkan kebudayaan simulasi, jauh
melampaui kenyataan (hyper-real).
Oleh karena itu, ketika mendengar gamelan digital, yang terbayang tidak lagi
kelincahan tangan penabuh ricikan atau eksotisme jagat Bali penuh daya
transendental. Namun, suatu dunia yang digerakkan sistem mikroprosesor,
microcips, memory bank, memakai kode-kode ”pengangkaan” (digital).
Diawali dari
sinilah perdebatan dimulai. Ada yang menganggap kehadiran gamelan digital
telah mereduksi kearifan lokal. Bukan hasil kreativitas seniman, melainkan
media komputer. Sementara itu, ada juga yang mengatakan, gamelan digital seni
abad ke-21. Punya sistem sendiri, disesuaikan napas zaman (zeit geist). Pendek kata, bagaikan
mengulang ketegangan dialektis antara Adorno dan Walter Benyamin. Perdebatan
ini pun telah memicu distingsi yang pro budaya tinggi dan pro budaya
industri. Gamelan digital diposisikan sebagai budaya industri: rendahan,
manipulatif, berorientasi pasar dan ekonomi. Sementara itu, gamelan
konvensional diposisikan sebagai budaya tinggi, adiluhung. Proses reproduksinya terikat adat, keyakinan. Selalu
melibatkan kesatuan kosmologis: manusia, alam, Tuhan.
Transformasi gamelan
Munculnya
gamelan digital adalah keniscayaan. Dipicu pikiran manusia yang selalu
berevolusi, menyebabkan lahirnya kebudayaan transformatif. Kebudayaan yang
tak stagnan, tetapi terus berkembang mengikuti putaran roda zaman. Baik
melalui proses akulturasi, difusi, evolusi, maupun revolusi. Oleh karena itu,
lahirnya gamelan digital adalah realitas logis dari perkembangan pikiran
manusia. Dari pikiran inilah lahir ide-ide baru tentang berbagai hal,
termasuk gamelan digital.
Jauh hari,
sebelum gamelan digital ada, masyarakat Nusantara—melalui daya pikirnya—telah
melakukan transformasi terhadap gamelan. Dibuktikan adanya relief Candi
Borobudur yang menceritakan, gamelan awalnya hanya terdiri atas beberapa
ricikan (baca James Brandon). Akan tetapi, ketika kesadaran masyarakat atas
eksistensi dirinya mulai muncul dan menuntut perubahan, gamelan abad ke-9
tersebut dikembangkan hingga melahirkan gamelan orkestra dan diwariskan
sebagai seni adiluhung. Perubahan gamelan abad ke-9 menjadi gamelan orkestra
ini pada akhirnya terus berlanjut. Ditandai adanya peralihan dari masyarakat
pra-industri menuju masyarakat industri sehingga mengubah teknologi
tradisional menjadi teknologi modern. Hal ini sekali lagi juga tak terlepas
dari pikiran manusia yang selalu bergerak progresif sehingga memicu lahirnya
kebudayaan baru, tak terkecuali gamelan elektronik dan gamelan kromatik.
Paling
mutakhir adalah gamelan yang direproduksi komputer. Eksistensinya tak dapat
dilepaskan dari electronic numerical integrator and computer (ENIAC).
Komputer pertama rancangan Dr John Mauchly dan J Presper Eckert pada 1946 ini
adalah cikal bakal lahirnya musical instrument digital interface (MIDI) serta
berbagai teknologi turunannya: cubase, logic-pro, fruity loop, sibelius,
nuendo, dan software kontakt dan lain-lain. Peranti lunak ini memiliki peran
penting atas lahirnya berbagai karya musik digital, termasuk gamelan Bali.
Kelahirannya juga dipicu akibat terjadinya transformasi, dari teknologi
manual ke teknologi elektronik, kemudian berubah menjadi teknologi komputer.
Jadi, musik
gamelan tak lahir dari langit, tetapi melalui transformasi dari satu tradisi
ke tradisi lainnya. Gamelan tradisional adalah tradisi masyarakat pra-modern.
Sangat alamiah karena bersandar pada kekuatan adikodrati. Gamelan kromatis
dan elektronik adalah tradisi masyarakat modern yang berpikir rasional,
konsumtif, individual, lebih mengedepankan nilai-nilai kebaruan. Sementara
itu, gamelan digital merupakan tradisi masyarakat pasca industri.
Kehidupannya
nyaris tidak bisa dijauhkan dari teknologi digital, termasuk Facebook,
Twitter, dan WhatsApp. Dengan demikian, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang:
dunia benar-benar dapat dilipat!
Meruntuhkan mitos tradisi
Ada fenomena
menarik yang bisa dicermati dari munculnya gamelan digital. Ternyata
kehadirannya tak hanya menegasikan konsep pemikiran kuno yang terikat ”narasi
besar”, tetapi juga menegasikan image mengenai kekuasaan adikodrati yang tabu
untuk dilanggar. Karena, sejak adanya MIDI komputer, setiap orang akhirnya
bisa menciptakan karya gamelan tanpa harus membakar dupa, menebar bunga, dan
membaca mantra-mantra. Mulai menulis notasi, menyusun melodi, membuat
aransemen, melakukan mixing hingga recording, semuanya bisa dikerjakan
sendiri hanya memakai ”laptop”. Ironisnya, para dewa juga tidak marah,
sekalipun proses reproduksi dilakukan di kamar tidur, ruang tamu, taman,
kampus, hotel, warung kopi, dan lain sebagainya.
Hal yang sama
pada dasarnya juga terjadi terhadap nilai-nilai estetis gamelan digital.
Akibat proses reproduksinya dikerjakan MIDI komputer, estetika gamelan
digital juga menegasikan nilai-nilai estetis gamelan tradisional. Hal ini
tidak terlepas dari suara gamelan yang dihasilkan, bukanlah suara asli—oleh
Jean Baudrillard disebut proper sign. Tapi suara artifisial, atau suara yang
tidak alami (buatan) akibat direkayasa komputer. Di dalam wacana estetika
posmodern, munculnya suara gamelan tersebut, identik dengan gaya pastiche,
yakni estetika yang sarat unsur-unsur imitasi, diambil dari budaya masa lalu
(gamelan tradisional) lalu dikomodifikasi dengan pendekatan budaya masa kini
(gamelan digital).
Kenyataan ini
jelas bertolak belakang dengan gaya estetika tradisional yang mengutamakan
orisinalitas. ”Sebaiknya berpikir positif saja,” kata Yudane. Lahirnya
gamelan digital, menurut dia, justru menjadikan gamelan tradisional makin
eksklusif dan tinggi nilainya. Karena pada saat yang palsu banyak diproduksi,
yang asli justru makin dicari.
Sejenak
suasana menjadi hening. Secangkir kopi panas dan sepiring jajan pasar mendinginkan
perdebatan.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar